Masyarakat Adat dalam Lingkaran Setan Akumulasi Kapital: Refleksi Hari Masyarkat Adat Nasional

Penulis / Columnist
Masyarakat Adat dalam Lingkaran Setan Akumulasi Kapital: Refleksi Hari Masyarkat Adat Nasional 14/03/2025 151 view Politik Ilustrasi suku Baduy (REUTERS/Beawiharta) via CNN Indonesia

Hari Masyarakat Adat Nasional adalah pengingat keras bahwa kemerdekaan Indonesia masih bersandar pada ilusi. Di balik gegap gempita pembangunan dan klaim-klaim kemajuan, masyarakat adat terus menjadi korban dari mesin kapitalisme yang menggerus relasi produksi komunal mereka. Sejak kolonialisme Belanda memperkenalkan sistem kepemilikan tanah privat, masyarakat adat telah dipaksa masuk ke dalam logika ekonomi yang mengubah hutan, sungai, dan gunung—yang bagi mereka adalah entitas hidup yang sakral—menjadi angka-angka dalam neraca keuangan korporasi. Proses ini bukan sekadar perampasan ruang hidup, melainkan penghancuran total terhadap tatanan sosial-ekologis yang telah berabad-abad menjadi fondasi keberlanjutan hidup mereka. Negara pascakolonial, alih-alih membalikkan warisan ini, malah menjadi aktor utama dalam melanjutkan akumulasi primitif melalui UU Minerba, Perhutanan Sosial yang ambigu, atau proyek strategis seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) yang mengorbankan ribuan hektar tanah adat demi kepentingan oligarki.

Masyarakat adat bukanlah romantisme masa lalu yang harus diawetkan, melainkan komunitas yang hidup dalam dialektika material dengan alam. Kearifan seperti Hutan Larangan di Sunda atau sistem sasi di Maluku adalah manifestasi konkret dari hubungan produksi yang tidak mengeksploitasi alam hingga ke akar. Sistem ini bertolak belakang dengan logika kapitalisme yang mengubah segala sesuatu—termasuk manusia—menjadi komoditas. Ketika tambang batu bara menggerus Kalimantan atau sawit menghabisi Sumatera, yang terjadi bukan hanya kerusakan ekologis, tetapi juga pemiskinan struktural: masyarakat adat yang semula mandiri secara subsisten dipaksa menjadi buruh harian di tanah sendiri atau migran urban yang terlempar ke pasar tenaga kerja murah. Negara, dengan dalih “pembangunan”, menjadi algojo yang melegalkan kekerasan ini melalui regulasi-regulasi yang disusun untuk melayani akumulasi kapital.

Konflik lahan yang terus berulang—seperti kasus Kendeng, Wadas, atau Suku Anak Dalam—adalah bukti nyata bahwa hukum di Indonesia masih menjadi alat kelas penguasa. Meski Mahkamah Konstitusi mengakui hutan adat pada 2012, implementasinya terhambat birokrasi yang sengaja dibuat rumit, sementara izin usaha tambang atau perkebunan dikeluarkan secepat kilat. Dalam kasus ini, terungkap kontradiksi: negara yang lahir dari revolusi melawan kolonialisme justru mereproduksi struktur kekuasaan kolonial dengan wajah baru. Masyarakat adat dipaksa membuktikan eksistensi mereka melalui dokumen-dokumen yang tidak pernah menjadi bagian dari tradisi mereka, sementara korporasi cukup menyuap pejabat untuk mendapatkan legitimasi.

Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bendungan, atau kawasan industri bukanlah netral. Proyek-proyek ini adalah instrumen untuk memperluas pasar kapitalis ke wilayah pedalaman, mengubah tanah adat menjadi zona ekonomi yang tunduk pada logika profit. Ketika masyarakat adat menolak, mereka dicap “anti-pembangunan” atau “penghambat kemajuan”—sebuah narasi yang sengaja dikonstruksi untuk mengaburkan fakta bahwa pembangunan tersebut hanya menguntungkan segelintir elit. Padahal, krisis iklim yang kian parah membuktikan bahwa model pembangunan ekstraktif ini adalah bunuh diri kolektif. Masyarakat adat, dengan praktik agroekologi dan pengelolaan hutan berbasis komunitas, justru menawarkan alternatif nyata yang selaras dengan hukum alam.

Klaim pemerintah tentang perlindungan hak masyarakat adat adalah kemunafikan terselubung. Program seperti TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) atau sertifikasi tanah adat hanyalah upaya mengintegrasikan mereka ke dalam sistem kapitalistik dengan menjadikan tanah sebagai aset yang bisa diperjualbelikan. Ini bertentangan dengan filosofi masyarakat adat yang memandang tanah sebagai ibu yang tidak boleh dikomodifikasi. Solusi sejati hanya bisa lahir dari pengakuan radikal terhadap kedaulatan masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alamnya, serta penghentian proyek-proyek yang mengorbankan keberlangsungan hidup mereka. Peringatan Hari Masyarakat Adat Nasional harus menjadi momentum untuk menuntut bukan sekadar reforma agraria, tetapi revolusi agraria yang membongkar kepemilikan oligarkis atas tanah dan mengembalikannya kepada rakyat.

Keadilan bagi masyarakat adat adalah utang sejarah yang tidak bisa dibayar dengan kompensasi atau CSR. Selama negara berjalan di atas logika kapital, selama itu pula masyarakat adat akan tetap menjadi tumbal. Perjuangan mereka bukanlah perjuangan sektoral, melainkan bagian dari pertarungan kelas yang lebih besar: melawan sistem yang menindas manusia dan alam demi keuntungan segelintir orang. Di sini, solidaritas antar kelompok tertindas—buruh, petani, nelayan, dan masyarakat adat—menjadi kunci. Sebab, pembebasan masyarakat adat adalah pembebasan semua orang dari belenggu sistem yang menjadikan hidup sebagai alat akumulasi kapital.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya