Pembajakan Buku dan Rendahnya Kesadaran Menghargai Hak Cipta

Pembajakan Buku dan Rendahnya Kesadaran Menghargai Hak Cipta 02/03/2020 2115 view Opini Mingguan kanisiusmedia.co.id

Peradaban manusia ditemukan dalam buku. Kalimat tersebut ingin mempertegas gambaran umum pentingnya buku dalam masyarakat yang dinamis.

Buku merupakan pengejewantahan terhadap pemikiran dan pengalaman masa lalu yang disingkap melalui pembacaan kritis dan karena itu terus dielaborasi kedalam beragam perspektif guna menemukan pembaca dari beragam pemikiran dan pengalaman.

Pola seperti ini akan terus berulang dan karena itu peradaban manusia dengan sendirinya tercatat dalam buku.

Namun dalam tahun-tahun terakhir, kasus pembajakan buku menguat dan massif dilakukan. Seperti diketahui, Dua belas penerbit di Yogyakarta yang tergabung dalam Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) resmi melaporkan perkara pembajakan buku yang diduga dilakukan oleh sejumlah pihak. Buku-buku bajakan itu telah tersebar dan dijual secara terang-terangan di kios-kios buku di Shopping Center Yogyakarta (Tirto.id; 25/08/2019).

Mirisnya, tindakan kriminal seperti ini dilakukan dengan sadar kepada orang yang sadar dan anehnya kasus pembajakan tidak serius ditangani dibawah payung hukum yang jelas dan tepat.

Dalam kesempatan yang sama, Humas Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman mengatakan pembajakan buku sudah jadi industri di Indonesia (Republika.co; 5/11/2019).

Hal ini seharusnya segera direspon dengan serius dan penerapan hukum yang jelas terhadap oknum pembajakan buku agar tindak-tanduk pembajakan tidak terus-terusan diproduksi secara masal. Tidak hanya berhenti pada tataran menguatnya pembajakan buku, justru harus dilihat lebih lanjut pada kerugian yang dialami oleh penulis, penerbit, editor dan pihak lain yang terlibat dalam proses penerbitan buku. Mereka sangat dirugikan dari kasus pembajakan buku dan terpaksa harus menerima pil pahit dari kerja keras mereka.

Sebenarnya jika dilihat dari bentuk kasus pembajakan buku di Indonesia, hemat saya ada tiga poin penting yang menjadi akar dari kasus pembajakan buku yang perlu dikritisi.

Pertama, pembajakan buku merupakan bentuk lain dari keterbelakangan pengetahuan dari pembajak terhadap hasil pemikiran orang lain. Keterbelakangan pengetahuan merujuk dalam banyak bentuk salah satunya ketidak-mampuan pembajak dalam mencapai tingkat pengetahuan yang sama dengan pemilik karya yang dibajak.

Dalam bentuk yang lebih luas, sebetulnya oknum tersebut sedang berada pada tingkat pemikiran destruktif dengan cara membajak buku demi keuntungan ekonomis yang diperoleh.

Hal ini justru melibatkan setiap orang yang membaca buku hasil bajakan akan terperangkap dibawah kendali logika pembajak karena hasil dari ketidak-mampuan oknum pembajak disatu sisi menghasilkan buku, di sisi lain demi mendapatkan keuntungan ekonomis. Sehingga bagi saya, pembaca yang membaca buku bajakan sedang terjerat dalam dua logika yang sedang disasar dibawah kendali sang pembajak yaitu keterbelakangan pengetahuan dan keuntungan ekonomis dari penjualan buku bajakan.

Kasus pembajakan buku tidak mempertimbangkan masa depan buku sebagai jendela dunia, sekaligus tidak memikirkan kondisi penulis dan pihak didalamnya dalam usaha memproduksi lebih banyak buku yang berkualitas.

Kedua, persoalan menjadi runyam, menggelitik dan menemukan akarnya ketika berhadapan dengan masyarakat yang memiliki minat baca dengan intensitas yang jauh panggang dari api. Sehingga penyingkapan kasus kriminal terhadap pembajakan buku tidak menjadi beban negara yang seharusnya diselesaikan, karena toh dalam waktu bersamaan negara dirundung dengan minat baca yang terlampau memprihatinkan.

Menurut data UNESCO pada 2016, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Minat baca Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat diatas Botswana, salah satu negara di Afrika yang berada di peringkat 61. (SindoNews.com; 02/10/2019).

Ketiga, rusaknya etika dan moral pembajak. Menguatnya pembajakan buku di Indonesia adalah bukti kuat dari lemahnya etika (sikap menghargai karya cipta orang lain) dalam diri pembajak buku. Sehingga tidak pelak, kondisi demikian masih berlanjut dan dilakukan dengan sadar. Alih-alih semua pihak berharap pembajakan buku harus segera dituntas melalui penerapan hukum, namun ketika berhadapan dengan tipe manusia yang tidak memiliki moral dalam menghargai karya cipta, selama itu pula pembajakan akan terus dilakukan.Oknum seperti ini dapat dengan mudah mengangkangi nilai etika karena keterbatasan pemikiran dan pengalaman dalam memproduksi buku. Sehingga baginya pembajakan buku merupakan perilaku biasa dan wajar.

Menguatnya tiga logika tersebut merupakan bentuk nyata dari massifnya tindak-tanduk pembajakan buku yang terus terjadi hingga menjadi ladang industri. Di sinilah sebetulnya hemat saya lingkungan keluarga yang menjadi basis dari penanaman nilai etika (menghargai karya cipta) harus digalakan dengan keterlibatan langsung melalui penerapan budaya literasi.

Tidak hanya keluarga, negara harus hadir melalui regulasi hukum yang tepat dan jelas dalam menindak pelaku pembajakan buku. Hanya dengan itu kasus pembajakan buku yang santer di kalangan penulis dan pembaca perlahan mulai menyusut.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya