Ketika The Columnist "K.O"

Admin The Columnist
Ketika The Columnist 31/01/2020 2939 view Politik Tampilan Layar The Columnist, 17 Januari 2020

Ketika serangan itu datang, tuan. Tak tergambarkan bagaimana kami punya perasaan. Serangan itu telah membuat The Columnist di-banned google. Dan merusak sistem kerja web. Kami tak bisa berbuat apa-apa selain memandangi tulisan berlatar merah menyala. "Situs yang akan anda buka berisi penipuan".

Baiklah saya ceritakan dulu barang sebentar, bagaimana keadaan waktu The Columnist diserang. Supaya tuan-tuan bisa memahami apa yang kita alami kemarin.

Kembali di masa-masa dua-tiga tahun lalu. Kehidupan rakyat negeri ini cenderung memburuk. Sebagian terjerat politik identitas. Sebagian lagi diusir paksa dari tanahnya atas nama pembangunan. Lalu oligarki menguasai perpolitikan nasional.

Sialnya, tak semua penulis bisa menyuarakan pemikirannya. Keterbatasan media mainstream, baik terkait ideologi maupun ekonomi dan keterbatasan ruang, telah menyisihkan intermediate writer. Yaitu mereka yang telah lama menempa diri di kepenulisan. Tapi nama mereka belum populer. Meski punya pandangan kritis dan menarik untuk diperdebatkan.

Ini membawa kita pada sebuah situasi. Pembaca tak mendapatkan tulisan beragam. Lalu perdebatan di ruang publik menyusut. Demokrasi, tuan, bisa saja benar-benar mati (meski saya tahu, banyak di antara tuan yang menyimpulkan demokrasi telah mati, atau justru sinis terhadapnya).

Kami mendambakan sebuah media opini digital yang merdeka dan sepenuhnya mengabdi pada rakyat. Merdeka dari kontrol pemodal. Dan konsisten melayani intermediate writer dan pembaca. Supaya tercipta perdebatan. Dan solusi terbaik bagi rakyat bisa muncul.

Ahh...tentang intermediate writer, atau penulis. Saya bisa bercerita sedikit bagaimana kami memperlakukannya.

Kami memandang penulis bukan sebagai komoditas, benda yang bisa diperjualbelikan. Mereka adalah manusia yang memiliki otonomi, keinginan, dan rasa.

Begitupun tulisan mereka. Setiap artikel yang masuk ibarat hujan pertama di penghujung kemarau. "Eh.. ada tulisan masuk tuh, dari Anno Susabun.. juosss". Atau, "Artikel Ardan Marua masuk lagi..seperti biasanya, punya karakternya sendiri...". Atau intruksi saya, "Artikel Fremensius Arwan tentang media digital ini penting direnungkan. Saya wajibkan untuk segera dibaca". Dan masih banyak lagi.

Dengan idealisme demikian dan cara pandang begitu kepada penulis dan tulisannya, The Columnist pun berlayar. Dan dengan pendanaan yang amat terbatas, mustahil bisa membeli perlindungan kuat bagi web The Columnist (bahkan kami tak begitu tahu, apakah The Columnist bisa tetap hidup pada 2021). Kami cuma punya visi dan keberanian. Tanpa mampu membeli perisai.

Demikianlah The Columnist. Dan rasa-rasanya ini media karib betul dengan persoalan Oligarki. Ide tentang "The Columnist" mulai menemukan wujudnya disekitaran April 2019. Oligarki tuan.

Lalu lahir mengudara pada awal September. Untuk bertemu musuhnya yang pertama, Oligarki dibalik #reformasidikorupsi. Dan diserang hingga K.O ketika kami memoderasi artikel Opini Mingguan, "oligarki dan pilkada". Entah mengapa pula bisa begitu.

Yang pasti, sejumlah program progresif telah selesai disiapkan di pertengahan Januari. The Columnist akan melangkah lebih maju. Mengatur nafas supaya merdeka dari pemodal. Mendermakan dirinya melayani perdebatan publik.

Sampai di subuh 16 Januari, saya menemukan pesan tak mengenakkan. Seolah editor kami berkabar, "The Columnist sedang disusupi, bung!". Terlampir tulisan jelas, The Columnist tak dapat diakses.

Web Master bercerita, itu karena virus phising. Si penyusup ingin mencuri informasi penulis. Lalu google mendeteksinya. Web kemudian di-banned, sampai melaporkan kembali bahwa semua virus sudah dibersihkan.

Tak ada yang membantah penjelasan itu. Karena didukung oleh fakta empiris. Namun penjelasan tersebut tak mampu memberitahu. Apa motif si penyusup.

Kami meragukan motivasi pencurian identitas penulis. Jumlah penulis yang tergabung masih seratusan lebih sedikit. Lalu mengapa memilih The Columnist, bukankah media lain punya lebih banyak akun penulis?

Sudah pun begitu, informasi apa yang ingin dicuri. Beberapa akun penulis di The Columnist diisi dengan santai. Misalnya, mengisi status dengan informasi lajang atau menikah. Ada pula yang meminjam alamat email The Columnist. Bahkan ada yang meminjam akun medsos editor kami, demi bisa membuat akun.

Mengambil data demikian justru merusak data mereka yang telah ada sebelumnya. Karena data yang kami miliki bukanlah untuk komersil.

Lalu, apa motivasinya? Dan bahkan, siapa pelakunya? Kami meyakini tak dapat lepas dari siapa dan apa yang telah dilakukan The Columnist. Banyak pihak yang merasa terganggu dengan artikel yang diterbitkan. Sayangnya, alih-alih berdebat di ruang terbuka. Mereka justru membunuh perdebatan publik!

Kami frustasi. Jika serangan serupa biasanya butuh waktu dua hari untuk pulih. Ternyata The Columnist butuh empat hari. Bahkan telahpun mengudara, kami baru benar-benar menyadari dampaknya.

Serangan telah mengacaukan sistem web. The Columnist putus hubungan dengan penulis. Data-data statistik terjun bebas. Tak ada tulisan baru dan pengunjung. Seolah ada dan tiadanya The Columnist, sama sekali tak punya arti. Inilah saat-saat paling berat.

Tapi rasa optimis begitu saja tumbuh. Ketika banyak intermediate writer mengirim pesan. "Mengapa saya tetap tak bisa mengirim tulisan?" Atau "apakah tulisan saya sudah diterima? Karena notifikasi sistem belum saya terima" Atau, "saya tak bisa mengirim tulisan, duh...".

Pesan itu adalah komplain di waktu normal. Protes bahwa layanan yang disediakan masih buruk. Belum sesuai dengan ekspektasi. Tapi di saat moral kami terpuruk, komplain itu justru menjadi motivasi.

Berkeliaran di benak, "Anda salah bung! The Columnist telah mendapat tempat. Ada dan tiadanya cukup punya arti...".

Seiring dengan meningkatnya moral, meningkat pula performa The Columnist. Kami terhubung kembali dengan intermediate writer. Pembaca bisa menikmati tulisan-tulisan kritis. Perdebatan publik bisa kembali dimulai.

Akan tetapi, apakah ini semua berarti persoalan sudah selesai? Maaf tuan. Sama sekali tak demikian.

The Columnist tetaplah seorang tentara yang berangkat tempur dengan sepucuk revolver di sakunya. Tanpa mampu membeli rompi peluru dan helm baja. Maju ke medan perang untuk bertemu musuh mengendalikan drone nir awak. Diperkuat roket yang diterbangkan dari kapal induk ribuan mil jauhnya.

Tapi setidaknya The Columnist tak berangkat seorang diri. Ia punya banyak kawan. Tuan-tuan penulis dan pembacalah yang saya maksud itu. Di dalam perjalanannya akan ada banyak strategi tempur yang bisa kita rancang.

Terima kasih tuan, siapapun anda. Terima kasih telah mau tetap bersama kami. Berjabat erat memastikan demokrasi dan perdebatan publik tetap tumbuh.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya