Korupsi, Ketimpangan Dan Posisi Civil Society

Pasca runtuhnya rezim otoriterianisme Soeharto, sistem politik dan kelembagaan mulai ditata kembali dan diarahkan menuju cita-cita demokrasi. Kita tahu persis bagaimana Orde Baru mengkooptasi dan mempertahankan kekuasaan dengan menggerus kebebasan sipil.
Tentu tidak hanya itu, rezim kala itu juga banyak dinilai melakukan banyak pelanggaran hukum terutama kepada kelompok dari kalangan masyarakat sipil yang kritis. Rezim Seoharto juga turut melakukan banyak praktik korupsi yang tentu saja semua tahu tidak ada pengusutan dan penyelesaian terhadap kasus korupsi yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.
Yang ada sebagaimana temuan Vedi Hadiz (2005), justru orang-orang yang dibesarkan dibawah kekuasaan Orde Baru mengambil celah politik baru dalam rangka mempertahankan status quo. Kasus korupsi seolah dibiarkan menguap begitu saja.
Namun, rezim otoriter itu kini telah lengser akibat desakkan masa yang menuntut jalan reformasi. Sejarah tahun 1998 adalah titik start bagi kancah demokrasi betul-betul diterapkan di negara ini. Karena itu, demokrasi harus dikembalikan pada relnya yakni bagi kepentingan bangsa yang di atasnya negara perlu menjamin kebebasan sipil bagi masyarakat.
Meskipun begitu, kita tidak bisa mengelak dan tentu saja mengakui bahwa berbagai dinamika ekonomi-politik di negara ini masih belum terselesaikan. Berbagai kasus pelanggaran dan pencaplokan hukum masih terjadi. Bahkan korupsi masih terus terjadi di berbagai institusi birokrasi negara. Berbeda dengan rezim Orde Baru, korupsi yang terjadi pasca reformasi justru terjadi dari tingkat Pusat sampai pada tingkat Desa. Inilah realitas kasus korupsi di negara ini pasca reformasi tahun 1998.
Lantas, mengapa pasca reformasi kasus korupsi bukannya menghilang, namun justru semakin menguat? Mengapa setelah KPK didirikan, misi pemberantasan korupsi justru berjalan lamban dan terseok-seok? Bagaimana praktik korupsi menciptakan ketimpangan? Bagaimana seharusnya civil society memaknai dan mengambil posisi politik di tengah menguatnya praktik korupsi? Di sinilah menurut saya kita perlu berpikir kembali dan mempertanyakan ulang mengapa semua ini seolah kian berjalan mundur pasca tuntutan reformasi 23 tahun silam.
Korupsi Akar Ketimpangan
Saya berpendapat bahwa korupsi adalah akar dari adanya ketimpangan dalam masyarakat. Sebagian boleh tidak sependapat dengan perspketif semacam ini, tetapi saya akan menunjukan bahwa yang saya maksudkan sebagai akar ketimpangan justru kita temukan dari praktik korupsi yang selama ini berurat-akar dalam institusi birokrasi negara.
Sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), korupsi tentu tidak bisa serta merta hanya dipahami dalam konteks pristiwa pelanggaran hukum. Tentu saja tidak pula hanya dipahami sebagai bentuk dari "kemiskinan moral" dari pelakunya. Saya beranggapan bahwa praktik korupsi justru telah melahirkan sebuah ketimpangan ekonomi-politik di negera ini.
Sebab, jika kita amati, ketimpangan ekonomi-politik itu terlihat sangat nyata dalam sebuah negara di mana ekonomi dan politik di satu sisi dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki materi (modal) dari hasil rampasan (korupsi). Sementara pada sisi lain, akses terhadap penguasaan ekonomi dan politik justru dikuasai dan dikooptasi oleh kepentingan segelintir orang (koruptor).
Pertama, orang-orang yang memiliki materi dari hasil rampasan (korupsi) tentu membentuk relasi politik yang di dalamnya mereka bersekutu untuk terus mengejar rente dengan cara korupsi. Kedua, melalui relasi yang terbentuk, koruptor mengamputasi semua saluran hukum agar terhindar dari jeratan hukum.
Pada tingkat seperti inilah menurut saya ketimpangan itu mulai terbentuk dalam masyarakat. Di mana hanya orang-orang yang memiliki materi dan relasi dengan kekuasaanlah yang tentu mampu menguasai semua saluran yang ada. Sementara pada sisi lain, selama koruptor ini tidak ditindak tegas, atau dengan kata lain dibiarkan, maka selama itu pula ketimpangan itu semakin melebar dalam masyarakat.
Parahnya lagi ketimpangan itu semakin mengakibatkan ekonomi dan politik menjadi sangat rentan dikapitalisasi oleh kepentingan oligarki. Di sini kita akan menemukan suatu fakta baru di mana menguatnya oligarki dalam institusi birokrasi negara menyebabkan agenda pemberantasan korupsi hanyalah narasi pepesan kosong yang nir implementasi. Sementara pada satu sisi praktik korupsi dan perburuhan rente (rent seeking) telah melahirkan kemiskinan dan segala mala petaka dalam sebuah negara.
Saya berpendapat bahwa selama negara memahami korupsi hanya semata sebagai pelanggaran hukum, selama itu pula koruptor akan mencari celah mengamputasi hukum demi melanggengkan praktik korupsi. Akan tetapi jika negara memandang korupsi sebagai akar ketimpangan, selama itu pula negara mampu mengganyang para koruptor karena sadar bahwa ketimpangan akan rentan menumbuhkan berbagai masalah sosial di dalam masyarakat.
Posisi Civil Society
Di tengah menguatnya praktik korupsi pasca reformasi, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan institusi KPK dalam memberantas korupsi. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang justru membuat kita pesimis dengan lembaga anti rasuah tersebut, misalnya revisi Undang-Undang KPK dan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang semakin terkesan mengaburkan misi pemberantasan korupsi.
Dalam konteks inilah saya berargumen bahwa civil society mesti terlibat aktif dalam usaha dan upaya bersama memberantas korupsi. Sebab, jika civil society tidak mengambil posisi politik di dalam memberantas korupsi, yang ada ketimpangan seperti saya yang utarakan akan menyebabkan berbagai percekcokan tumbuh dengan suburnya. Oleh karena itu, civil society menurut saya harus menyikapi dengan terlibat aktif.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan, tetapi saya optimis dengan satu jalan yakni merangkul elemen civil society yang lain yang tentu memiliki kesadaran dan posisi politik yang sama dalam pemberantasaan korupsi. Dengan merangkul segmen civil society ini, upaya pemberatasan korupsi mampu dilakukan. Dalam konteks ini saya sepakat dengan kerja kolaboratif dari kalangan civil society yang hendak membangun misi pemberantan korupsi bagi masa depan Indonesia.
Pada tingkat inilah hemat saya, praktik korupsi akan mampu kita berantas sampai ke akar-akarnya dan kekuatan oligarki mampu kita imbangi melalui jalan kerja kolaborasi dan gerakkan solidaritas civil society.
Namun kita juga perlu mengakui bersama bahwa jalan menyatukan elemen civil society ini penuh tantangan dan membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan. Tetapi saya optimis bahwa dengan satu kesadaran dan posisi politik yang sama yakni pemberantasan korupsi hal ini dapat kita lakukan.
Artikel Lainnya
-
135418/10/2019
-
84207/01/2022
-
107828/06/2020
-
Dilema Asap Tembakau: Antara Kematian dan Kenikmatan
62630/05/2022 -
Matinya Gerakan Online Mahasiswa
67205/01/2023 -
Pewartaan Iman Melalui WhatsApp
70627/08/2022