Cacian Destruktif dibalik Komentar “SDM Rendah”

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Cacian Destruktif dibalik Komentar “SDM Rendah” 31/10/2024 730 view Lainnya pasbana.com

Media sosial kini telah menjadi platform utama bagi penyebaran informasi dan berita yang berfungsi untuk menyajikan berbagai topik secara instan. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter berpontensi membantu siapa saja untuk berbagi informasi tanpa batas waktu dan tempat dengan keunggulan akses terhadap berita semakin cepat.

Selain berperan sebagai wadah penyebaran informasi, media sosial juga menjadi arena tempat banyak orang mengekspresikan pandangan pribadinya. Kehadiran media sosial menciptakan ruang publik yang luas untuk berpendapat, di mana orang dari berbagai latar belakang dapat membagikan perspektifnya secara terbuka. Kebebasan ini membuka peluang adanya interaksi dan saling tukar pendapat di antara pengguna.

Semakin masifnya penggunaan media sosial juga memunculkan fenomena unik, yaitu semakin maraknya komentar-komentar negatif yang melabeli orang lain dengan istilah “SDM rendah”. Istilah ini dapat diartikan sebagai orang-orang dengan sumber daya manusia yang rendah. Di berbagai unggahan atau konten yang mungkin dianggap tidak sesuai selera atau pandangan arus utama, muncul komentar-komentar yang merendahkan tanpa dasar yang jelas. Fenomena ini semakin terlihat ketika pengguna media sosial menggunakan istilah tersebut untuk menilai seseorang atau kelompok hanya berdasarkan konten yang mereka konsumsi atau bagikan. Kemunculan label ini pada dasarnya merendahkan, sekaligus memperlihatkan bentuk penghukuman sosial yang dilontarkan secara sepihak.

Fenomena komentar “SDM rendah” yang seringkali bermunculan, memunculkan suatu kegelisahan tersendiri, terutama hal ini dilakukan oleh sebagian kalangan berpendidikan. Dalam hal ini, muncul pertanyaan mendasar, seperti mengapa sebagian dari mereka yang memiliki pendidikan dan akses terhadap pengetahuan justru terlibat dalam perilaku semacam ini? Orang-orang yang kerap mencap orang lain dengan label ini sebenarnya berkesempatan untuk mengedukasi, namun lebih memilih menghujat, bahkan tanpa menawarkan solusi. Fenomena ini menimbulkan tanda tanya tentang bagaimana seharusnya seseorang yang berpendidikan menempatkan diri dalam ruang publik.

Komentar “SDM rendah” tampaknya telah menjadi alat untuk menilai seseorang yang dianggap kurang atau tidak sepemahaman, sepemikiran, atau bahkan selevel dari segi pandangan. Label ini sering dilontarkan terhadap mereka yang memiliki kesukaan atau perspektif berbeda dari arus umum. Secara tidak langsung, istilah ini memberikan penilaian sepihak yang menciptakan stratifikasi sosial berdasarkan asumsi bahwa suatu selera atau pandangan tertentu lebih unggul. Bentuk penghakiman ini menandakan adanya persepsi hierarkis dalam masyarakat yang akhirnya mengabaikan aspek keragaman yang sebenarnya sangat alami dalam kehidupan sosial.

Tidak jarang, penggunaan label “SDM rendah” mengarah pada kritik terhadap pendukung tokoh atau figur publik tertentu yang mungkin memiliki cara penyampaian yang berbeda, seperti kampanye politik yang disertai hiburan ringan. Misalnya, dukungan terhadap pasangan calon presiden yang menggunakan strategi berjoget untuk menarik perhatian sering kali mendapat ejekan dari sebagian pengguna media sosial. Di platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, fenomena ini menjadi pemandangan umum yang menunjukkan kecenderungan untuk menilai secara dangkal tanpa memerhatikan kompleksitas di balik setiap pilihan dan pandangan yang dimiliki individu atau kelompok.

Kegelisahan terhadap fenomena ini semakin masif ketika menyadari bahwa penilaian semacam ini justru sering kali dilakukan oleh kalangan berpendidikan. Bukannya menggunakan latar belakang akademik untuk lebih memahami atau mencoba mengerti perspektif yang berbeda, sebagian individu dari kelompok ini malah memilih mengedepankan arogansi dalam bentuk label negatif. Mereka yang berkesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi seharusnya memahami krusialnya melakukan diskusi terbuka, namun yang terlihat justru kecenderungan untuk meremehkan daripada menghargai keberagaman.

Alih-alih mengambil langkah konkret yang dapat membantu menciptakan perubahan positif dalam masyarakat, individu-individu ini justru memilih menghujat secara destruktif tanpa menempatkan tanggung jawab sosial yang seharusnya mereka miliki sebagai kaum terpelajar atau akademisi. Kritik yang disampaikan tidak disertai solusi atau dorongan untuk berkontribusi memperbaiki situasi, tetapi berhenti pada penghakiman yang memecah dan memojokkan kelompok tertentu. Sikap ini bertolak belakang dengan nilai-nilai edukasi yang mengedepankan kontribusi aktif dalam lingkungan sosial, sehingga menunjukkan hilangnya prinsip tanggung jawab yang melekat pada pendidikan.

Sebagai langkah awal, kesadaran akan pentingnya literasi digital dapat menjadi solusi dalam menangani komentar-komentar bernada destruktif di media sosial. Literasi digital menyajikan pemahaman tentang etika dalam berinteraksi secara daring. Dengan meningkatnya kesadaran literasi digital, pengguna media sosial, terutama yang berpendidikan, akan lebih memahami dampak kata-kata yang mereka lontarkan dan cenderung lebih menghargai perbedaan. Sikap ini penting untuk menciptakan ruang media sosial yang lebih suportif dan saling menghargai antar individu.

Selanjutnya, mereka yang memiliki akses pendidikan tinggi sebaiknya berperan aktif dalam memberikan contoh positif di media sosial. Daripada memberikan kritik yang tidak membangun, akan jauh lebih bermanfaat apabila mereka menyebarkan konten-konten yang menginspirasi dan mendidik. Melalui pendekatan ini, individu dapat menjadi agen perubahan yang mampu membentuk lingkungan media sosial yang sehat. Konten yang positif akan memberi pengaruh yang lebih baik bagi masyarakat luas dan dapat mengurangi kecenderungan untuk menggunakan istilah-istilah yang merendahkan seperti “SDM rendah.”

Selain berkontribusi melalui edukasi di media sosial, langkah konkret yang dapat diambil adalah turut aktif dalam mengedukasi masyarakat di lingkungan sekitar. Bagi mereka yang merasa keberadaan individu yang dianggap “SDM rendah” semakin banyak, inisiatif untuk memulai perubahan dari lingkup terdekat dapat menjadi solusi yang lebih efektif. Pendekatan ini bertujuan untuk menyebarkan pemahaman yang lebih baik, sekaligus mendekatkan kalangan berpendidikan dengan masyarakat luas, sehingga terbentuk hubungan yang lebih harmonis dan konstruktif. Melalui upaya langsung di lingkungan sosialnya, seseorang dapat memberikan dampak nyata yang memungkinkan perubahan lebih cepat dan positif.

Langkah ini sejalan dengan prinsip-prinsip akademis, di mana suatu permasalahan yang ditemukan mendorong individu untuk mencari solusi dengan mempertimbangkan metode dan pendekatan yang sesuai dan relevan. Pendekatan ini memungkinkan mereka yang berpendidikan untuk secara aktif mengambil peran dalam mengurangi apa yang mereka anggap sebagai masalah "SDM rendah" dengan cara yang lebih efektif dan bertanggung jawab. Dengan begitu, perubahan positif dapat terjadi lebih luas, dan upaya meningkatkan kualitas pemahaman serta perilaku dalam lingkungan sosial dapat terwujud secara bertahap, berawal dari lingkup yang paling dekat.

Meskipun terdapat individu-individu yang dapat diasumsikan memiliki sumber daya manusia yang rendah, yang merupakan suatu fakta yang dapat diamati dalam masyarakat, sangat krusial bagi kita membatasi diri agar tidak menciptakan kegaduhan di media sosial. Memahami bahwa fenomena ini adalah kenyataan yang masif seharusnya mendorong kita untuk tidak terjerumus dalam perdebatan yang tidak produktif. Sebagai respons terhadap fakta ini, kita sebaiknya mengambil langkah-langkah konkret untuk melakukan perubahan, setidaknya dalam lingkungan kita sendiri. Kontribusi positif, meskipun dalam skala kecil, dapat memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masyarakat.

Dengan demikian, penggunaan istilah “SDM rendah” di media sosial mencerminkan adanya persoalan dalam cara kita menilai dan berinteraksi dengan orang lain. Terutama bagi mereka yang berpendidikan, hal ini menimbulkan ironi ketika label merendahkan digunakan tanpa kontribusi positif yang nyata. Daripada menyebarkan kritik destruktif, kita sebaiknya mendorong terciptanya lingkungan yang lebih suportif dan produktif, baik melalui konten digital yang positif maupun kontribusi langsung dalam masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab moral ini dapat membantu mengurangi stigma dan pelabelan negatif, sambil memperkuat ikatan sosial yang lebih menghargai keberagaman.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya