Ketika Corona Memperingatkan Manusia atas Kerusakan Alam

Redaktur Opini Gebrak Gorontalo
Ketika Corona Memperingatkan Manusia atas Kerusakan Alam 04/04/2020 1638 view Politik kompasiana.com

Kesombongan, ketamakan, iri hati, kemarahan, hawa nafsu, kerakusan, dan kemalasan, merupakan tujuh dosa besar manusia yang sangat mematikan. Dosa-dosa pokok ini lah yang kemudian mengantarkan manusia untuk berlaku buruk. Pelbagai macam perbuatan tersebut tak terkecuali mencuri, membunuh, atau bahkan korupsi. Sehingga perilaku tersebut akan membawa manusia ke perilaku yang destruktif. Yang sewaktu-waktu subjek lain menjadi korban penindasan dari seorang individu.

Setelahnya, rantai kebencian dan balas dendam akan tercipta, yang nantinya akan membentuk siklus dosa yang abadi. Tinggal menunggu waktu saja, “pergelutan kekerasan” menggurita ke seluruh belahan dunia. Menciptakan peperangan tiada henti, penindasan terhadap kubu yang lemah, serta aksi kekerasan lainnya. Lengkap sudah, dosa jariyah yang diperbuat manusia.

Alam, tidak terkecuali menjadi salah satu korban dari perbuatan dosa besar manusia. Sebab, kerakusan, ketamakan, dan hawa nafsu mendorong manusia untuk terus mengeksploitasi alam. Manusia saling berlomba-lomba menguasai sumber daya alam, yang contoh sederhananya bisa dilihat dari peringkat “negara produsen minyak terbanyak di dunia”. Dimana peringkat ini dijadikan sumber daya negara, dalam rangka memamerkan kekuatan politik dan ekonomi terhadap negara lain.

Jumlah kepemilikan atas sumber daya alam ini, membuat berbagai negara berpikir apakah negaranya kaya atau tidak. Membuat negara agresif mengebor minyak, agar memperkaya dirinya. Menurut Leonardo Boff, seorang teolog ekologi, menyatakan bahwa kapitalisme membuat bumi rusak dan hancur.

Sehingga manusia sangat bergantung kepada kepemilikan sumber daya alam, lantaran dapat mengantarkan dirinya ke derajat yang lebih tinggi. Akan tetapi manusia tidak sadar, bahwa semakin ia mencoba meningkatkan derajat dirinya, semakin pula dia mendegradasi derajat alam.

Relasi akhir yang terbentuk diantara manusia dan alam tak lain adalah majikan dan budak. Alam dipandang sebagai suatu eksistensi yang lebih inferior daripada manusia, yang mana keberadaannya hanya untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dan alam, pihak yang lebih inferior ini, tentu saja haknya tidak terpenuhi.

Lantas sebagaimana budak yang terus ditindas, emosi yang selama ini terpendam akan meledak. Alam seolah-olah marah besar dan merespons perbuatan desktruktif manusia. Minimal cara halus yang dilakukan oleh alam, memberikan “tanda” guna menasihati manusia.

Sebagaimana yang kita tahu, dunia sedang dilanda oleh bencana kemanusiaan, yakni pandemi corona. Virus corona yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019, nyatanya sudah bergejolak ke seluruh belahan dunia. Kendati demikian, poin yang perlu disoroti dari virus corona ini adalah bagaimana alam “menyebabkan” tersebarnya virus corona ke manusia.

Sebut saja kelelawar, yang diwartakan menjadi “tersangka” pemicu corona. Kelelawar di Wuhan, dijual sebagai binatang peliharaan atau bahan makanan. Tak sedikit dari kelelawar ini yang kemudian dikurung dalam kandang. Mereka ditumpuk satu sama lain, sehingga bersesak-sesakan memenuhi kandang tersebut. Belum lagi dengan habitatnya yang dirusak, lengkap sudah stress yang diampu kelelawar.

Ihwal ini membuat kelelawar menularkan 60 virus yang dimilikinya ke manusia. Setelah kelelawar dikonsumsi manusia, sejumlah virus ini menjadikan tubuh manusia sebagai inang barunya lantaran untuk bertahan hidup. Alhasil seperti yang kita lihat sekarang, virus ini sudah menular ke manusia, hingga menyebar ke 181 negara dan menjadi pandemi global.

Secara tidak langsung, alam mencoba memperingatkan manusia melalui peristiwa ini. Bahwa sesungguhnya manusia telah banyak membuat alam menderita. Membuat alam sakit tidak karuan, “batuk-batuk”, hingga tergerogoti penyakit yang tiada obatnya. Alam butuh “berhenti sejenak” dari kelakar manusia. Caranya? Dengan menasihati manusia via virus corona.

Buktinya sekarang, manusia secara tidak sadar sedang merawat lingkungan, dengan mengurangi polusi udara. Penjelasan sederhananya, penerapan physical distancing yang bertujuan mengurangi penularan virus corona, memaksa manusia untuk beraktivitas di dalam rumah. Otomatis, manusia memilih di rumah dibandingkan berkendara di lingkungan luar.

Berdasarkan laporan di New York, polusi udara di kota tersebut sejak ada wabah corona, turun 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu pula dengan China, polusi udara di negara tersebut turun 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi sinyal bahwa bumi meminta manusia untuk berhenti mengeksploitasi alam.

Alam mungkin mau bilang kepada manusia, bahwa dirinya juga punya nilai dan hak, sebagaimana manusia juga mempunyainya. Yang selama ini kita pandang dari alam adalah mereka sebatas barang yang eksistensinya hanya untuk digunakan. Selama ini, manusia terlampau antroposentris, mendominasi segala alam dengan mengatasnamakan hak dirinya.

Mungkin kita terlalu angkuh untuk mengakui, bahwa untuk kesekian kalinya manusia kerap merepresi alam atas nama pembangunan. Yang menurut Thomas Berry, seorang pakar sejarah, adalah budaya IPTEK di masa sekarang menjadikan alam sebagai objek yang materialistik. IPTEK sudah kadung mengubah wonderworld menjadi wasteworld.

Maka dari itu, dalam rangka merefleksikan kasus corona atas kerusakan alam, perlu perubahan terhadap paradigma berpikir. Metanoia radikal atau perubahan total pikiran, hati, dan spirit perlu segera dilaksanakan. Kerangka berpikir yang sepatutnya dibangun adalah konstruksi teologis yang bermuatan krisis ekologis dan kritik sosial.

Alam harus lah dipandang sebagai eksistensi yang memiliki nilai dan kehadiran transenden (keimanan) di jiwa manusia. Dimana nantinya akan terbangun keterikatan antara manusia dengan alam. Sehingga nantinya kita akan memandang alam sebagai sesuatu yang menyangkut dengan kemanusiaan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya