Kesalahan Membaca Budaya Baca

Kesalahan Membaca Budaya Baca 31/08/2020 1302 view Opini Mingguan Pexels.com

"The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn."

Kutipan dari Alvin Toffler--seorang penulis futuristik dan pebisnis--di atas adalah gambaran yang tepat terhadap perubahan besar metode pembelajaran di era digital. Surat kabar, majalah dan media cetak lainnya telah melampaui masa kejayaannya sebagai pembuka jendela dunia.

Zaman ini membutuhkan lebih dari sekedar kecakapan membaca dan menulis. Sesuatu yang disebut Toffler sebagai kemampuan belajar, menolak hasil belajar dan mempelajari ulang. Informasi serasa datang dengan sendirinya dan tak perlu dikejar-kejar lagi. Karena itu yang diperlukan adalah kemampuan untuk memilih dan memilah informasi.

Salah Kaprah Budaya Literasi

Sungguh disayangkan masih banyak pihak yang belum bisa move-on dari paradigma lama pembelajaran. Hal ini terbawa pula pada kekeliruan menilai aspek-aspek pembelajaran termasuk minat baca.

Indikator-indikator yang digunakan dalam menyusun tingkat literasi sering berpatokan pada sarana-sarana konvensional seperti media cetak, perpustakaan umum dan sebagainya. Padahal kecakapan baca tulis tidak hanya bisa diaplikasikan pada sarana-sarana tersebut saja.

Sebagai contoh hasil penelitian dari Program for International Student Assessment (PISA). Program yang merilis data dengan rentang waktu 3 tahunan ini sering dikutip untuk menunjukkan indeks literasi. Termasuk hasil dari tahun 2018 yang memberi skor 371 dan menempatkan Indonesia pada peringkat 73 dari 78 negara yang menjadi peserta.

Akan tetapi peringkat bukan hal penting dalam rilis ini. Karena memang tidak semua negara berpartisipasi. Yang perlu diperhatikan bahwa indeks ini adalah penelitian terbatas yang respondennya berasal dari kelompok siswa saja. Selain itu indikator yang digunakan juga belum mencakup aspek literasi digital secara proporsional.

Artinya hasil dari penelitian ini tidak bisa dijadikan alasan menggeneralisir rendahnya budaya literasi di Indonesia.

Contoh lain yang sering pula dijadikan rujukan adalah Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) yang dirilis oleh Kemendikbud. Untuk tahun 2019, secara nasional tingkat literasi Indonesia hanya 37,32 persen atau termasuk kategori rendah.

Tapi sekali lagi indikator yang digunakan dalam penentuan indikator tersebut lebih didominasi sarana konvensional. Dari 16 sub aspek perhitungan hanya sekitar 4 aspek saja yang menyinggung aspek digital dan internet.

Maka jika ada yang menyebut budaya literasi di Indonesia rendah berdasarkan hasil penelitian sejenis, kesimpulannya masih patut dipertanyakan.

Potensi Literasi Digital

Seorang pekerja kantoran membaca news feed sambil istirahat. Di tempat lain seorang wanita sedang membaca novel online. Dan anak-anak muda yang membaca keluaran manga atau komik terbaru. Semua dilakukan melalui perangkat genggam masing-masing.

Ilustrasi ini adalah gambaran kegiatan yang sering kita temui. Dan masih banyak kegiatan literasi lainnya dengan memanfaatkan media digital yang sebenarnya sudah menjadi bagian keseharian kita.

Fenomena ini menunjukkan sisi lain tingkat kecakapan baca tulis Indonesia yang semakin meningkat. Menurut data tahun 2019 yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik, penduduk Indonesia yang melek huruf dengan umur 15-59 tahun mencapai 98,22 persen. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dari sebelumnya, ambil contoh tahun 2015 yang hanya berkisar 97 persen.

Angka ini kemudian berbanding lurus dengan tingkat akses internet di Indonesia yang juga terus meningkat. Berdasarkan data yang dirilis Data Reportal berjudul 'Digital 2020: Indonesia' disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta pada bulan Januari 2020. Di antaranya adalah 160 juta pengguna sosial media.

Sumber yang sama menunjukkan rata-rata lama akses internet di Indonesia adalah 7 jam 59 menit. Ini berarti hampir sepertiga waktu dalam sehari dihabiskan untuk mengakses internet.

Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat korelasi faktor-faktor tersebut terhadap tinggi rendahnya budaya literasi. Hanya saja dalam praktik keseharian, sebagian besar interaksi di media sosial memang berbentuk aktivitas literasi.

Menulis status, caption foto, membaca berita dan pesan semuanya merupakan bentuk penerapan kecakapan baca tulis. Tapi kegiatan-kegiatan ini sering diabaikan dan tidak dianggap wujud praktik literasi.

Masih belum komprehensifnya pengikutsertaan unsur digital dalam mengukur budaya literasi menunjukkan klaim rendahnya minat baca masih bisa dipertanyakan. Maka bagaimana lagi jika hasil tersebut kemudian dijadikan landasan untuk menentukan kebijakan literasi. Dikhawatirkan hasilnya adalah kebijakan salah arah dan sasaran sasaran.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya