Lagu, Buku, dan Tanah: Membaca Kolektif AMPSKP dalam Gerakan Ekologis dan Literasi

Lagu, Buku, dan Tanah: Membaca Kolektif AMPSKP dalam Gerakan Ekologis dan Literasi 05/08/2025 275 view Politik open.spotify.com

Pada bulan Juni yang lalu, saya berkesempatan menghadiri sebuah perhelatan budaya dan advokasi bertajuk Festival Reforma Agraria Perkotaan (FESTIFORA) yang diselenggarakan oleh Aliansi Perjuangan Warga Kebon Sayur, bertempat di wilayah Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Festival ini merupakan bentuk ekspresi kolektif dan resistensi warga Kebon Sayur terhadap rencana penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah setempat.

Wilayah yang dipermasalahkan saat ini sekitar seperempat bagian dari lahan tersebut telah mengalami penggusuran menjadi tumpukan tanah merah yang basah, becek, dan tak lagi bisa dimanfaatkan secara layak oleh warga. FESTIFORA menjadi ruang penting bagi warga untuk menyuarakan hak atas tanah, ruang hidup, dan keadilan agraria, yang kerap kali terabaikan dalam narasi pembangunan kota.

Dalam rangkaian acara tersebut, ditampilkan berbagai bentuk seni pertunjukan seperti tari tradisional, pembacaan puisi, hingga pementasan teaterikal, yang seluruhnya menjadi medium ekspresi dan perlawanan kultural terhadap ketimpangan yang mereka alami. Namun, satu penampilan yang secara khusus menarik perhatian saya adalah pertunjukan musik dari Kolektif AMPSKP, sebuah grup musik independen asal Purwokerto.

Lirik yang mewakili Masyarakat

Melalui lagu-lagu yang sarat muatan kritik sosial dan ekologis, Kolektif AMPSKP tampil sebagai juru bicara alternatif bagi keresahan masyarakat yang terpinggir. Musik mereka seakan berupaya menembus keheningan yang menindih, memecah sunyi di atas tanah merah yang lengket dan basah, sekaligus mengangkat narasi-narasi masyarakat yang kerap kali dibungkam dalam wacana formal.

Lirik-lirik yang mereka bawakan tidak hanya menyentuh isu lingkungan dan agraria, tetapi juga menggambarkan relasi yang kompleks antara warga kota dan kekuasaan, antara ruang hidup yang terancam dan suara-suara yang tak terdengar. Dalam konteks tersebut, kehadiran Kolektif AMPSKP bukan sekedar hiburan, melainkan bagian dari perlawanan kultural dan upaya mempertahankan ruang hidup melalui jalur seni dan ekspresi kolektif.

Suara-suara yang dilantunkan oleh Kolektif AMPSKP dalam pertunjukan mereka tidak sekedar hadir sebagai ekspresi musikal semata, melainkan berfungsi sebagai representasi dari jeritan masyarakat yang telah lama mengalami peminggiran sosial, ekonomi, dan ekologis.

Lagu-lagu yang mereka ciptakan menyuarakan keresahan atas kerusakan lingkungan hidup yang kian meluas, sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap praktik-praktik eksploitatif yang terus-menerus menggerus ruang hidup komunitas lokal dan masyarakat adat.

Kolektif AMPSKP, yang awalnya lahir dari perjuangan melawan eksploitasi kawasan Gunung Slamet, kini menjelma menjadi entitas musikal yang secara konsisten merespons berbagai bentuk ketidakadilan ekologis di berbagai wilayah Indonesia.

Gerakan mereka menjamur, menyeberang batas geografis, dan menyentuh isu-isu yang memiliki kesamaan struktural: penguasaan lahan oleh modal, marginalisasi warga lokal, dan kerusakan ekologis yang sistemik.

Dalam konteks kekinian, suara-suara yang dulu senyap itu kini mulai terdengar semakin lantang, didorong oleh intensifikasi krisis lingkungan yang terjadi di berbagai wilayah. Praktik-praktik eksploitatif seperti pertambangan nikel di Raja Ampat yang mengancam kelestarian ekosistem laut, penggundulan hutan adat di Desa Miau, Kalimantan, serta pembangunan fasilitas wisata mewah seperti beach club di pesisir pantai selatan Yogyakarta, menjadi bukti nyata dari bagaimana kapitalisme ruang mencengkeram wilayah-wilayah yang semestinya menjadi milik bersama.

Lebih jauh lagi, perampasan ruang hidup atas nama investasi dan pembangunan juga terjadi dalam bentuk pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di atas tanah milik masyarakat adat Moi di Papua Barat.

Deretan kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari mosaik kehancuran ekologis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Dalam situasi semacam ini, Kolektif AMPSKP tidak hanya menyajikan musik sebagai hiburan, melainkan sebagai wahana edukasi dan resistensi yang menolak tunduk pada narasi besar pembangunan yang kerap mengorbankan yang lemah.

Melalui lirik-lirik lagu mereka, terbaca dengan jelas kritik terhadap model pembangunan eksploitatif dan narasi kemajuan yang menyingkirkan aspek keadilan ekologis serta keberlanjutan sosial. Setiap bait menjadi penanda bahwa ada luka, ada perlawanan, dan ada harapan yang terus diperjuangkan. Musik mereka menjadi suara alternatif—suara rakyat yang selama ini tidak terdengar di ruang-ruang formal pengambilan kebijakan.

Dengan demikian, kehadiran Kolektif AMPSKP perlu dipahami sebagai bagian dari gerakan kultural yang memperjuangkan keadilan ekologis. Musik mereka bukan sekadar alat ekspresi, tetapi juga menjadi alat perlawanan dan pengorganisasian, yang mampu menyentuh kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga bumi, memperjuangkan ruang hidup, dan melawan bentuk-bentuk ketimpangan struktural yang merugikan masyarakat akar rumput.

Apresiasi Literasi

Selain konsisten mengangkat isu-isu seputar krisis ekologis dan ketimpangan agraria, Kolektif AMPSKP juga menunjukkan kepedulian mereka terhadap isu yang tak kalah penting: kesadaran literasi di tengah masyarakat. Hal ini tercermin secara kuat dalam lagu mereka yang berjudul “Buku Kubaca”, sebuah karya yang menyuarakan pentingnya membaca buku sebagai bagian dari proses pembebasan dan pencerdasan kolektif.

Berbeda dari lagu-lagu mereka yang cenderung gelap dan sarat kritik terhadap kehancuran lingkungan, “Buku Kubaca” hadir dengan warna musikal yang ceria, namun tetap menyimpan kedalaman makna yang menggugah kesadaran. Keunikan lagu ini terletak pada lirik-liriknya yang jujur, personal, dan reflektif, serta penggunaan sudut pandang orang pertama "aku" yang memberikan efek kedekatan emosional dengan pendengar. Ini membuat pesan yang disampaikan terasa lebih otentik dan menyentuh.

Salah satu penggalan lirik yang paling menggugah adalah: “aku tidak ingin berjalan memikul kebodohan, merasa cukup benar dalam ketidaktahuan.” Kalimat tersebut bukan hanya menyentil, tetapi juga membongkar ilusi intelektual yang selama ini sering mengendap dalam diri banyak orang—yaitu kecenderungan merasa cukup tahu, merasa benar, padahal sebenarnya terjebak dalam ketidaktahuan yang sistemik dan dibiarkan.

Sebagai pendengar, saya merasakan secara langsung efek dari lirik tersebut. Ada sensasi “tertampar” yang muncul cukup kuat, seolah lagu ini menantang kita untuk mengakui kelemahan kita sendiri dalam hal literasi, sekaligus mendorong kita untuk bergerak keluar dari zona nyaman intelektual yang semu.

Lebih luas, lagu ini bisa dibaca sebagai upaya penyadaran terhadap rendahnya budaya membaca di masyarakat, dan bagaimana hal itu berkontribusi terhadap ketidakpekaan sosial, politik, dan ekologis. Menariknya, sejauh pengetahuan saya, hanya ada dua lagu yang secara eksplisit mengangkat tema literasi buku di Indonesia: yang pertama adalah “Baca Bukumu” karya Fadly (vokalis Padi), dan yang kedua adalah “Buku Kubaca” dari Kolektif AMPSKP.

Meski berbeda dalam gaya musikal dan latar belakang penciptaan, keduanya memiliki kesamaan semangat: mendorong masyarakat untuk tidak terjebak dalam kebodohan yang diwariskan oleh sistem, melainkan keluar dari kebekuan pengetahuan dengan membaca dan terus belajar.

Oleh karena itu, “Buku Kubaca” dapat dilihat sebagai salah satu bentuk intervensi kultural yang signifikan dari Kolektif AMPSKP—bahwa perjuangan mereka tidak hanya terbatas pada isu lingkungan dan agraria, tetapi juga pada upaya menyemai kesadaran kritis melalui jalur literasi. Musik mereka menjadi bukan hanya alat perlawanan, tetapi juga ruang belajar bersama.

Musik Bukan Hanya Soal Gaya

Dari Kolektif AMPSKP kita mengetahui bahwa musik memainkan peran penting bukan hanya sebagai bentuk ekspresi estetika, tetapi juga sebagai medium politik kultural yang mampu membangun solidaritas lintas komunitas. Musik menjadi sarana efektif dalam menyuarakan pengalaman-pengalaman masyarakat yang terpinggirkan—baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologis—yang kerap kali tidak terakomodasi dalam wacana-wacana arus utama.

Melalui lirik, nada, dan performativitasnya, musik berfungsi sebagai alat artikulasi yang menyuarakan keresahan kolektif, mengkristalkan identitas komunitas, serta menghidupkan kembali ingatan atas ketidakadilan yang terus berulang.

Lebih jauh lagi, musik memiliki kekuatan afektif yang dapat membangkitkan empati, membangun kesadaran kritis, dan mendorong keterlibatan sosial di tengah tekanan struktural yang semakin kompleks. Bagi yang sedang mengalami perampasan ruang hidup, seperti masyarakat adat, petani, atau warga kota yang menghadapi penggusuran, musik dapat menjadi ruang bersama untuk mempertahankan narasi mereka sendiri, narasi yang selama ini disisihkan oleh dominasi kekuasaan.

Dengan demikian, musik bukan sekadar latar hiburan dalam peristiwa sosial, melainkan menjadi bagian integral dari perjuangan itu sendiri: memperkuat kohesi sosial, menginspirasi perlawanan, dan menjaga keberlangsungan identitas kolektif dalam menghadapi berbagai bentuk ketimpangan dan kekerasan struktural yang mengancam kelangsungan hidup komunitas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya