Kata Maaf: Antara Manipulasi dan Keinsyafan

Pembelajar
Kata Maaf: Antara Manipulasi dan Keinsyafan 29/09/2025 149 view Budaya Grateful Living

Kata maaf menjadi tidak menggetarkan jiwa, yang menimbulkan sebuah keinsyafan-- karena sudah terlalu sering diucapkan. Kata maaf tidak menjadi perhatian kita lagi sebab penggunaannya telah mengalami disfungsi--digunakan untuk alasan yang tidak bisa dipahami. Kata maaf hanya digunakan untuk bumper; untuk meredam gejolak ketidakpuasan dan lebih sering kemarahan. “Aduh, maaf, maksud saya bukan begitu mas/mbak? Bukan maksud saya membuat kecewa Pak/Bu. And so on…, and so forth…

Satu hal yang harus dipertanyakan adalah bagaimana cara kita menangani suatu persoalan, mulai dari hal yang sifatnya birokrasi, delegasi tugas, sampai pengambilan keputusan. Apakah itu semua didasarkan pada suatu kaidah tertentu (musyawarah mufakat) atau kalkulasi yang memungkinkan didapatkannya hasil terbaik? Sayangnya tidak, gaya kepemimpinan kita seperti jurus dewa mabuk, yang tidak jelas kerangka kerja maupun road map-nya.

Tampak jelas tipe kepemimpinan yang terlalu mengandalkan citra. Fokusnya adalah pada packaging, sementara isinya mendapat porsi yang sedikit. Tujuannya adalah untuk mengimpresi orang lain dengan sebuah gimmick. Persis seperti seorang sales yang mempromosikan produk agar pelanggan membeli. Sebenarnya tidak apa-apa juga strategi tersebut, tapi kita sering salah kaprah dengan membiarkan pelanggan kita kecewa pada akhirnya. Yang dicari pelanggan bukan hanya keindahan packaging tapi juga yang lebih penting adalah fungsi alat.

Sampai kapan politik pencitraan ini akan dipertontonkan? Sampai kapan pemimpin membodohi rakyatnya? Buat apa dana besar digelontorkan untuk memoles citra, menggiring opini publik yang jelas-jelas itu palsu. Bukankah lebih baik dana itu digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Memperbaiki fasilitas umum, misalnya. Kenapa jalan penyelesaiaan yang diambil adalah yang semu?

Kita butuh bukti nyata di lapangan bukan hanya sekadar manipulasi data untuk menciptakan laporan yang memuaskan. Bukti keberhasilan atau gagalnya sebuah kepemimpinan bisa dinilai dari mekanisme kerja yang dianut, apakah didasarkan pada rule of the game atau tidak. Sesuatu yang terstruktur dan teratur lebih mudah untuk dikelola. Roh dari institusi apapun adalah birokrasi. Dan birokrasi yang baik adalah yang mengacu pada aturan yang telah disepakati bersama. Misalnya, untuk menyebutkan beberapa kriteria antara lain: (1) Penugasan seseorang berdasarkan kemampuan dan bidangnya bukan karena sistem patronase, (2) Tidak bisa suatu aturan dirubah hanya untuk kepentingan pihak tertentu, (3) Hukum yang adil, (4) Kebijakan yang diambil untuk kemaslahatan bersama.

Jika hal-hal tersebut diciderai bisa dipastikan institusi tersebut sudah tidak lagi sehat. Sebagai gantinya akan timbul kekacauan. Sampai akhirnya terjadi ledakan kemarahan kepada pemimpin. Orang yang diamanati jabatan tapi tidak menjalankan peran sebagai mana mestinya.

Apa karena budaya masyarakat yang kurang bisa tegas. Kita tidak berani secara jujur mengatakan A itu A. Yang kita lakukan adalah memberi tanda kutip A’, atau Ax, Ay, dst. Kita selalu memperhalus suatu keburukan agar nuansanya tidak kasar. Kita selalu mencari jalan untuk merubah maknanya sesuai dengan kepentingan kita. Sehingga yang dilakukan adalah mengaburkan masalah. Seolah-olah masalah sudah hilang tapi sebenarnya mengendap. Adapun solusi dari masalah yang sebenarnya tidak pernah dipikir atau dicari. Akibatnya masalah semakin membesar karena berlarut-larut tidak diselesaikan. Jalan keluar yang diambil adalah dengan meninggalkan masalah, berharap waktu bisa mengatasinya. Itu sama saja menciptakan bom waktu.

Kritik berikutnya menyoroti pola pendekatan yang kita lakukan dalam bekerja. Saya akan meminjam istilah dalam ilmu strategi. Ada perang pendek ( finite game) dan perang panjang (infinite game). Selama ini kita hanya berfokus pada perang pendek saja. Kecenderungannya adalah menciptakan harapan di awal tapi kemudian menimbulkan penderitaan di akhir. Strategi iming-iming tidak akan bisa bertahan lama. Jika uang kita tidak cukup untuk beli mobil apa yang akan kita lakukan? Apakah berhutang atau terlebih dulu menabung? Faktanya, solusi pertamalah yang diambil. Hal ini tidak jadi masalah jika punya sumber penghasilan yang bisa digunakan untuk membayar hutang. Lha kalau tidak punya, solusinya bagaimana? Ya, mau bagaimana lagi kalau bukan, gali lubang tutup lubang.

Sampai sejauh ini kalau ada suatu masalah, penyelesaainnya hanya di level permukaan tidak mengena ke jantung permasalahan. Indikasi: karena masalah itu berulang. Maukah kita bertaruh dengan kata maaf ini dengan pembuktian?

Lebih baik mati-matian memperbaiki hari ini untuk kemajuan berkelanjutan di masa depan daripada lekas mengambil kesenangan semu kemudian malah terperosok ke dalam jurang permasalahan yang dalam. Jelas terasa kurangnya etos senasib sepenanggungan sebagai sebuah bangsa. Yang memegang kekuasaan asyik dengan jabatannya. Yang masyarakat kecil berjuang mati-matian demi mencari penghidupan. Adanya kesenjangan sosial yang terlalu besar bisa menimbulkan kekacauan politik.

Sampai kapan kiranya hal ini bisa diperbaiki?

Apakah benar semua itu tergantung pemimpin? Susahnya kebanyakan orang bercita-cita menjadi pimpinan yang bertipe dominan, jarang sekali yang ingin menjadi pemimpin tipe problem solver. Tipe pemimpin model Bung Hatta tampaknya cocok untuk menangani persoalan-persoalan yang saat ini mengepung. Pemimpin yang bisa memperbaiki sistem birokrasi. Dimulai dari menngidentifikasi apa masalah yang paling urgen yang harus segera dipecahkan. Berlanjut ke masalah-masalah lain. Rentetan-rentetan keberhasilan dalam menangani masalah ini penting untuk bekal optimisme menuju ke arah perbaikan. Untuk itulah diperlukan sebuah kerangka kerja dan road map yang jelas.

Jadi birokrasi yang buruk tidak bisa hanya diselesaikan dengan minta maaf. Tapi dengan komitmen dari semua pihak yang terkait untuk tetap berada di jalur yang tepat. Tidak bisa kita hanya percaya begitu saja kepada pemimpin. Jika mereka mengatakan 3+3 = 10, kita harus mengoreksinya. Meskipun pemimpin itu begitu kreatif tetap saja rasio yang harus dikedepankan.

Adapun fungsi check and balance dari masyarakat harus tetap digalakkan. Mengawal isu-isu yang penting bagi lahirnya demokrasi yang sehat.
Meminta maaf memang tindakan yang baik jika itu dilakukan dengan tulus ikhlas. Tapi sayangnya, di negeri tetangga hal itu disalahgunakan. Kata itu diucapkan bukan sebagai sebuah keinsyafan tapi manipulasi psikologis.

Apalagi di lingkungan perkotaan, sebagai contoh kecil, kata maaf tidak sungguh-sungguh diucapkan, semuanya hanya basa-basi pergaulan. “Maaf mas saya menginjak kaki sampeyan”, sambil tersenyum dan mencari kesempatan untuk menginjak lagi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya