Kamu adalah Sabahatku

Mahasiswa
Kamu adalah Sabahatku 09/05/2021 1235 view Lainnya kompasiana.com

Bukankah hidup dalam situasi damai itu indah? Bukankah hidup sebagai sahabat itu merupakan tangga menuju kehidupan yang damai? Tapi mengapa kita manusia justru seringkali mengabaikan semua hal itu dan lebih memilih untuk bersekutu dengan kemunafikan, permusuhan dan kejahatan, di mana hal itu tampak jelas dalam berbagai bentuk sikap dan tindakan entah itu egoisme, eksklusivisme, fanatik-ekstrem dan lain sebagainya? Antara kerinduan dan tindakan kita tampaknya kontradiktif dan memang demikian.

Maka, tulisan singkat ini memiliki kepentingan konstruksi relasi dengan semua orang baik kaya-miskin, terisolasi, dipandang sebelah mata, kafir, pejabat maupun awam, pintar-bodoh dan siapa pun itu yang disebut manusia. Untuk apa itu semua? Intensinya hanya satu yakni mengupayakan persahabatan universal yang berarti juga mengupayakan sebuah societas kehidupan yang damai dan harmonis, sebagaimana kerinduan setiap jiwa manusia. Tulisan ini mungkin lebih bermakna sebagai “penyadaran kembali” atas apa yang selama ini terlupakan oleh kita manusia; kebaikan, keindahan dan kebenaran. Lantas, apa itu persahabatan?

Aristoteles, dalam bukunya Ethika Nicomacheia IX, 1166a31-31, menegaskan bahwa sabahat adalah “diriku yang lain” (alter ego est amicus). Dia adalah cerminan diriku, pantulan diriku di mana aku dapat mengenali diriku. Dia adalah yang sangat dekat dengan aku, mau terbuka dan menerima apa adanya diriku.

Hal yang senada juga disampaikan oleh Cicero. Baginya, sahabat adalah perluasan diriku atau aku yang lain (alterium se). Sedangkan, bagi Horatius sahabat merupakan dimidium animae meae – “belahan jiwaku”. Begitu pula menurut Giorgio Agamben, bahwa sahabat adalah dia yang berbeda dengan diriku, tetapi sekaligus merupakan dia yang sama dengan diriku (heteros autos).

Apa yang dipikirkan oleh para filsuf di atas tentang sahabat kurang lebih identik. Sahabat dipahami sebagai diriku yang lain, alter ego est amicus. Sahabat adalah dia yang dekat dengan aku bahkan merupakan alter ego, bersamanya aku merealisasikan kodratku sebagai makhluk sosial dan makhluk relasional.

Lantas pertanyaannya sekarang, siapakah sabahatku? Sahabatku ialah semua orang. Bahwa setiap orang pantas disebut sahabat, sebab di wajah mereka aku melihat wajahku sendiri, siapa pun itu dia adalah aku yang lain. Hanya persoalannya terletak pada bagaimana kita membangun sebuah persepsi yang benar tentang eksistensi orang lain di samping eksistensiku. Bukankah eksistensi identik dengan ko-eksistensi? Bahwa keberadaanku di dunia ini adalah keberadaanku dengan yang lain, sebab yang hidup di dunia ini bukan aku sendiri melainkan bersama dengan yang lain. Oleh sebab itu, yang lain itu pantas disebut sebagai sahabatku. Aku adalah homo socius, aku adalah sabahat bagi semua dan semua adalah sahabat bagiku.

Setelah kita menyimak hakikat persahabatan dan siapakah sahabat itu, sekarang kita pun diundang untuk memahat wajah persahabatan pada semua orang tanpa memandang perbedaan, melainkan memandang semua orang sebagai aku yang lain (heteros autos). Ada pun beberapa model persahabatan yang sekiranya kontekstual untuk direalisasikan di tengah dunia dewasa ini antara lain, Pertama, Persahabatan dengan Kaum Marjinal, di mana-mana kita sering kali menyaksikan fenomena kemiskinan, kelaparan dan pengasingan yang dialami oleh kaum marginal. Mereka tentu sangat menderita sekali. Sudah pasti bahwa keadaan mereka itu disebabkan oleh tidak adanya relasi persahabatan atau tidak ada yang memandang mereka sebagai sahabat.

Hal itu justru menjadi undangan bagi kita untuk memahat wajah persahabatan pada wajah mereka, menjadikan mereka sebagai sabahat. Dengan demikian, kita akan bersimpati dan berempati dengan mereka, sehingga kita akan tergerak untuk menolong dan mensejahterakan hidup mereka. Kaum marjinal adalah sahabatku sebab mereka ada bersama-sama dengan aku

Kedua, Persahabatan antar Umat Beragama. Dewasa ini, konflik agama seringkali terjadi terutama di tanah air Indonesia. Perbedaan agama seringkali dijadikan dalil untuk memerangi yang lain, bahkan mengkafirkan mereka yang berada di luar agamaku. Sangat menyedihkan sekali, agama dijadikan tempat pengkafiran, penindasan bahkan pembunuhan. Agama dianggap lebih tinggi nilainya dari pada hidup manusia.

Fenomena konflik agama yang kerap kali terjadi di tanah air Indonesia ini, mengundang kita semua umat beragama untuk semakin mempererat tali persahabatan. Ketika penganut agama lain dipandang sebagai sahabat bagi agamaku, maka sangat pasti akan tumbuh toleransi antar umat beragama dan akhirnya agama sungguh-sungguh dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ketiga, Persahabatan “Genus”. Persahabatan “genus” memaksudkan persahabatan antara kaum matriakal dan patriakal. Dalam sejarah dan budaya tertentu, kita menemukan bahwa kaum perempuan seringkali ditindas dan dianggap sebagai kelas kedua dalam masyarakat. Kaum patriakal menempatkan dirinya pada posisi yang lebih tinggi dari kaum matriakal. Sangat tidak adil. Namun hal itu telah terjadi dalam sejarah bahkan hingga saat ini. Lagi-lagi, karena yang satu tidak mampu memandang yang lain sebagai sahabat, maka dia jatuh pada logika dominasi.

Maka di sini, kaum patriakal harus mampu memahat dan menjadikan kaum perempuan sebagai sahabat bagi dirinya, bukan budak. Perempuan adalah diriku yang lain begitu pula laki-laki adalah diriku yang lain. Kehadiran satu sama lain itu bagaikan cerminan bagi diriku dan sekaligus sumber kegembiraanku. Ketika yang satu mendominasi yang lain dan menempatkannya pada kelas kedua, dengan sendirinya hal itu dia lakukan pada dirinya sendiri sebab yang lain adalah aku yang lain, alter ego. Undangan untuk revitalisasi relasi persahabatan antara kaum patriakal dan matriakal adalah penting dan merupakan undangan untuk kita semua. Bukankah perempuan itu ibu kehidupan? Lantas mengapa kita merendahkannya?

Keempat, Persahabatan Kosmologis. Persahabatan kosmologis merupakan persahabatan dengan alam semesta. Persahabatan ini sangat penting bagi kita dewasa ini mengingat eksplotasi yang dilakukan terhadap hutan. Keberadaan hutan sendiri memainkan peranan yang sentral bagi kelangsungan hidup manusia sekarang dan yang akan datang, karena dari hutan manusia mendapatkan makanan, minuman dan oksigen untuk bertahan hidup. Maka, ketika hutan rusak kita pun akan menderita dan mati.

Oleh sebab itu, memahat wajah persahabatan tidak berhenti pada wajah manusia tetapi berlaku pula pada wajah alam semesta, hutan. Mungkin keberadaan alam semesta tidak dapat kita samakan dengan keberadaan sesama manusia, di mana sesama manusia dapat kita lihat sebagai diriku yang lain. Meskipun bukan sebagai aku yang lain, alam semesta justru menjadi locus di mana aku membangun dan memahat wajah persahabatan itu, tempat di mana aku dapat merealisasikan diri secara penuh. Maka menjaga keharmonisan tatanan kosmos adalah keharusan bagi semua, karena kehancuran kosmos adalah kehancuran kita juga.

Mulailah memahat wajah persahabatan! Ini merupakan sebuah perintah yang harus kita lakukan segera demi mewujudkan societas kehidupan yang indah. Apalagi dewasa ini di mana permusuhan, kebencian, penindasan dan pembedaan tumbuh subur di sekitar kita atau bahkan dalam keluarga kita sendiri. Kekacauan-kekacauan itu tidak pantas dipellihara dan harus dicabut sampai ke akar-akarnya. Bagaimana hal itu dilakukan? Mulailah memahat wajah persahabatan! Itulah cara yang harus kita lakukan.

Meskipun terdengar mudah, memahat wajah persabahatan tidaklah semudah kita mendengarkannya atau semudah membalikkan telapak tangan. Memahat wajah persahabatan membutuhkan proses, perjuangan, ketekunan, keberanian untuk keluar dari diri sendiri, kerendahan hati dan cinta yang besar. Kita membutuhkan banyak hal untuk memahat wajah persahabatan pada semua orang, apalagi orang itu adalah orang yang kita anggap musuh.

Memahat wajah persahabatan pada semua orang merupakan sebuah keharusan bagi kita semua, sebab kita adalah homo socius dan bahwa eksistensi identik dengan ko-eksistensi. Ketika kita mencoba untuk tetap memandang yang lain sebagai yang lain sama sekali dan sebaliknya enggan membangun relasi persahabatannya, maka kita telah melukai diri kita sendiri, mengingkari kodrat sebagai makhluk sosial dan kita melakukan kesalahan besar dalam hidup kita.

Persahabatan adalah sebuah kisah yang akan abadi, seperti kisah Bunda Teresa dari Kalkuta dengan orang-orang miskin dan terlantar di sekitarnya, yang telah menjadi sebuah kisah persahabatan yang abadi dan aktual. Ukir dan pahatlah kisah hidupmu dengan sebuah kisah persahabatan dan dengan demikian Anda telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi generasi yang akan datang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya