Merajut Keberagaman Untuk Memanusiakan Manusia

Indonesia adalah salah satu negara religius di Asia yang memiliki agama resmi sebanyak 6 agama, dan keyakinan yang tidak terhitung lagi banyaknya. Bahkan di banyak daerah eksistensi antara agama dan kepercayaan tradisional berjalan seiringan, tanpa adanya dominasi yang berlebihan dari satu pihak. Berjalan dengan aman dan damai karena kami meyakini bahwa tradisi kebudayaan adalah wahyu atau petunjuk dari Tuhan sebelum agama itu ada di tahun Masehi saat ini.
Hidup di negara yang beragam seperti Indonesia, wajib untuk belajar tentang kehidupan bersama dan saling mengenal setiap keberagamannya, termaksud agama yang berkembang di Indonesia. Di NTT ada beberapa aliran kepercayaan yang masih ada seperti Merapu di Sumba, Halaikah di Boti, TTS dan Jingtiu di Sabu Raijua. Tanpa pengetahuan orang dengan mudah menilai bahwa itu buruk, padahal mengenal saja belum, itulah yang berkembang di negara kita saat ini, analisa mendahului fakta.
Rasis dan diskriminasi ini ada dan subur karena dalam menjalani hidup terlalu statis, hidup yang statis akan memunculkan perspektif tunggal. Perspektif yang tunggal akan menghasilkan orang-orang yang radikal dan fundamentalis, yang hanya mau mengakomodir kepentingan kelompoknya saja. Maka dari itu perlunya untuk keluar dan menjalin relasi dengan orang yang berbeda secara suku, agama, ras dan golongan agar tahu bahwa keberagaman itu sangat indah dan menyenangkan.
Contoh kongkretnya yaitu perjalanan hidup komedian Tretan Muslim, dulu sewaktu perspektifnya masih tunggal ia sangat membenci orang non-muslim dan menganggap semuanya kafir. Ia bahkan mau untuk diberangkatkan ke timur tengah berperang melawan orang 'kafir' katanya. Tetapi lihatlah sekarang ia sangat terbuka bahkan bisa bersahabat dengan orang yang tidak meyakini agama (agnostik) seperti Coki Pardede. Semuanya bisa terjadi karena perspektifnya sudah kaya, sehingga bahan pertimbangannya semakin banyak dan beragam.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa jangan jadikan agama sebagai cara untuk menghilangkan jati diri bangsa yang sesungguhnya. Dalam pidatonya yang fenomenal Ia menyampaikan kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen baik Katolik maupun Protestan jangan jadi orang Yahudi, kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Tetaplah jadi orang Indonesia yang kaya raya akan tradisi dan budaya. Artinya perlu untuk mengambil nilai moralitas agamanya tetapi tradisi, cara pandang dan karakternya tidak perlu, karena kita sudah memilikinya dan lebih kaya.
Secara tersirat dapat dimaknai bahwa beragama itu perlu karena diajarkan mengenai cara hidup, cara pandang dan moralitas kehidupan. Tetapi perlu diperhatikan bahwa sebuah bangsa atau negara kalau tidak didasarkan pada kesamaan maka rentanlah ia dari perpecahan. Maka dari itu muncullah Pancasila, seperti yang tertuang dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, menitikberatkan kepada satu Tuhan, itulah kesamaan yang membawa kita kepada keadaan yang kondusif.
Agama memang seharusnya tidak boleh melunturkan nilai luhur suatu bangsa, jika nilai luhur tersebut tidak bertentangan dengan moralitas dan hari nurani, alangkah lebih baik jika diakulturasi sehingga mampu menciptakan kehidupan yang lebih baik. Jika ekosistemnya sudah demikian maka tidak perlu lagi menggunakan kebudayaan luar untuk menjalankan perintah agama, contoh Hindu Bali dan Hindu di India, Islam Nusantara dan Islam di Saudi Arabiah dan sebagainya. Tidak mengurangi esensi dari agama mengenai teologinya, tapi cara untuk menjalaninya yang berbeda disesuaikan dengan karakternya masing-masing.
Keberagaman ini sebenarnya menjadi modal kekayaan atau daya tarik tersendiri bagi bangsa ini, lihat saja Islam dengan tradisi Nusantaranya yang kental, Hindu dengan tradisi yang unik dan khas Bali yang berbeda dengan Hindu India secara tradisi tapi esensinya sama dan Katolik yang banyak menggunakan bahasa daerah baik lagunya maupun dalam perayaan Ekaristi serta musik tradisional untuk mengiringi doa, dan Protestan lebih spesifik mengenai bangunan gerejanya yang bernuansa lokal.
Keindahan yang sudah ada seharusnya dipupuk dan diberdayakan bukan direduksi dengan segala upaya jahat yang dilakukan. Dengan kekayaan yang ada bisa menghasilkan in come untuk rakyat Indonesia, dan menghidupi sebagian besar UMKM di pulau Bali, yang menawarkan keindahan alam dan wisata religi Hindu yang tidak ditemukan di India, yang mayoritas rakyatnya beragama Hindu.
Gus Islah Bahrawi pernah berpidato di forum Katolik, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia dilahirkan dalam keadaan sudah beragama, ada yang Kristiani, Islam, Hindu dan lain-lain. Kalau dengan beragama saja orang bisa masuk surga tanpa menjalankan perintah dari agama, Tuhan sungguh tidak adil dalam hal ini, padahal semua agama mengajarkan tentang kebajikan dan moralitas.
Artinya bahwa setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan posisi terbaik jika kelak ia meninggal, tidak peduli apa pun agamanya yang terpenting ialah pikiran ucapan dan tindakannya selalu seirama dengan hati nuraninya. Hati nurani adalah tempat di mana kebenaran dan kebajikan bersemayam. Agama bagi saya ibarat satu tujuan tapi memiliki jalan atau rute yang cukup banyak, rute itu yang saya sebut sebagai agama, tujuan sebagai Tuhan. Fokus saja pada jalan yang ditapaki tanpa merasa jalan yang dilalui orang lain itu salah, sebab semua jalan itu benar.
Agama merupakan isu sensitif jika diglorifikasi, maka dari itu harus cermat dalam menyikapi isu yang berkaitan dengan agama. Banyak oknum yang menggunakan agama sebagai kekuatan untuk menggerakkan masa dan oknum yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan. Politik identitas dan adu domba seperti ini yang harus dihindarkan agar konflik horizontal dapat dihindarkan.
Kasus gubernur DKI Jakarta yang sangat kontroversial, karena tekanan masa yang dapat berakibat pada kestabilan negara dengan mudah mempengaruhi hukum positif yang berlaku. Sejauh pengelihatan saya tidak hanya kasus Ahok yang terjadi di Jakarta, masih banyak kasus yang menggunakan agama sebagai alat politik, di kampung saya yang mayoritas Katolik masih ada yang beranggapan bahwa memilih Bupati ataupun Gubernur harus yang sama agamanya. Tanpa melihat visi misi, kapabilitas, integritas dan track record pilihan dengan mudah mereka jatuhkan. Padahal bisa saja yang beda agamanya lebih kapabel untuk menjalankan otoritas tersebut.
Toleransi adalah akar agar kehidupan berbangsa dan bernegara tentram, apalagi negara yang banyak sekali keberagamannya seperti Indonesia ini. Mengenal orang yang berbeda agama dan keyakinan adalah tindakan yang toleran, jangan lihat oknum yang sering mengatasnamakan agama untuk kepentingannya dan kelompoknya, jika itu yang dilihat maka perspektif tentang ajarannya pun buruk. Padahal setiap agama tidak mengajarkan keburukan, hanya karena tindakan oknum tersebut merusak citra agama tersebut.
Bangsa yang besar dan kaya seperti Indonesia ini tidak boleh lengah melihat dan menanggapi sesuatu, karena banyak negara di luar yang menginginkan kita umat beragama konflik. Dengan berkonflik kita tidak memiliki semacam ikatan kuat sebagai bangsa, dengan begitu mereka dengan mudah masuk dan mengintervensi kebijakan melalui politik serta mengeksploitasi sumber daya alamnya. Ibarat suatu pohon semakin tinggi pohon tersebut semakin besar angin yang akan menempanya, jadi perkuat fondasi atau akar dengan toleransi agar praktik buruk seperti di atas tidak terjadi.
Artikel Lainnya
-
238710/08/2020
-
68311/02/2022
-
114623/02/2020
-
Memikirkan Kembali Siapa yang Seharusnya Jadi Oposisi
86529/12/2020 -
Mudik Liburan: Kita atau covid-19?
100028/03/2021 -
Dunia Hiburan: Lahan Subur Berkembangnya Takhayul
61803/05/2021