Covid-19 dan Ketergantungan Ekonomi Nasional

Pemisahan ekonomi politik sebagai sebuah satu kesatuan ilmu pengetahuan, tampaknya berpengaruh besar terhadap paradigma para pemikir ekonom, dan pelaku ekonomi di Indonesia. Penetrasi paradigma pemisahan atau memberikan jarak antara ekonomi dan politik, juga menyebar ke bangku-bangku perkuliahan. Sehingga terjadi ketumpulan dalam pisau analisis akademik melihat permasalahan (berbagai aspek kehidupan sosial) sosial ekonomi politik.
Namun, ketertarikan pada kajian ekonomi politik terbangkitkan di saat masyarakat merasa tertekan terhadap kebijakan publik dan tekanan ekonomi. Seperti yang terjadi di saat pandemi Covid-19, sampai saat ini lebih dari 200 negara terjangkit. Bahkan Covid-19 bukan hanya malapetaka bagi hidup mati manusia, akan tetapi keberlangsungan ekonomi global. Ekonomi, pasar, industrial masih menjadi perhatian di tengah jutaan kematian. Dijadikan pertimbangan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, agar ekonomi pasar tidak terjadi keruntuhan yang berlebihan.
Covid-19 menjadi hantu tiba-tiba, yang dapat menghentikan perang dagang global untuk sesaat. Lumpuhnya ekonomi China akibat Covid-19, sangat besar berdampak pada perekonomian global. Hal itu dapat terjadi karena China menempati posisi kedua yang perkasa dalam ekonomi global. Sehingga secara langsung (direct impact) maupun tidak langsung (indirect impact) akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, hubungan pasar Indonesia dengan negara lain relatif lebih kecil dibandingkan hubungan dengan China di sektor Industri, bahkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 menunjukkan wisatawan China terlihat mendominasi mencapai angka 12 % dari total wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia. Sehingga yang terjadi ketergantungan Indonesia terhadap China sangat besar, dengan kata lain China mendominasi perekonomian Indonesia.
Sektor Industri di Indonesia pun mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan perusahaan mereka. Langkah yang dianggap efisien itu merampingkan beban biaya produksi agar tidak mengalami kerugian bahkan kebangkrutan. Langkah yang dianggap efisien salah satunya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tidak heran hal itu terjadi dimana-mana. Hal tersebut memang membuat para pekerja #dirumahsaja akan mencegah penularan Covid-19, tetapi di sisi lain para pekerja mengalami dilema atas keberlangsungan hidupnya.
Bantuan sosial, dan sebagainya bukan melepaskan pekerja yang ter-PHK dari pengangguran atau bahkan bayang-bayang kemiskinan. Tetapi hanya untuk menyambung hidup saja (kebutuhan jangka pendek). Ini lumrah terjadi, di tempat sistem ekonomi pasar berkuasa yang membuat jurang ketimpangan satu sama lain semakin parah.
Lagi-lagi bukan hanya hidup matinya perekonomian nasional mengalami ketergantungan, namun masyarakat yang berprofesi menjadi pekerja langsung (semisal warung, wirausaha, dll), mengalami ketergantungan pada pasar yang didasari oleh permintaan dan penawaran.
Sebagian masyarakat yang terdampak, akan mengalami kelemahan daya beli sehingga barang atau jasa dari pekerja langsung atau sektor industri terancam tidak akan terserap oleh konsumen, dengan contohnya beberapa kasus perusahaan mengalami penutupan secara permanen bukan karena larangan pemerintah. Karena power dari penetrasi pasar (permintaan dan penawaran) lebih kuat dibandingkan dengan himbauan pemerintah.
Konsekuensi ekonomi seperti ini, memungkinkan pemerintah tidak mengambil keputusan dari undang-undang yang telah mengatur tentang menghentikan segala aktivitas manusia, yakni karantina wilayah. Akan tetapi lebih memilih dan mengambil keputusan pembatasan sosial saja, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Meskipun pada akhirnya, peraturan pemerintah pusat ini menjadi semacam polemik perbedaan pandangan dalam penanganan Covid-19. Misalnya, beberapa daerah melakukan isolasi wilayah bahkan sekelas desa melakukan lockdown atau menghentikan segala aktivitas tanpa instruksi pemerintah pusat.
Ekonomi Ketergantungan atau Berdikari?
Krisis ekonomi global yang juga menjadi pukulan keras bagi China, dan menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan penurunan ekonomi China setiap 1% juga akan berdampak pada kinerja ekonomi Indonesia sebesar 0,3%-0,6%. Sehingga memperlihatkan betapa tergantungnya perekonomian nasional terhadap kinerja perekonomian luar negeri.
China menjadi tujuan utama di antara berbagai negara dengan porsi yang lebih besar dalam ekspor komoditas Indonesia. Indonesia juga masih impor urusan industri manufaktur dengan berbagai macam komoditas. Ketergantungan merupakan pertaruhan yang besar dalam pasar global. Negara dengan pengelolaan produksi secara efisien dan efektiflah yang akan menjadi pemenang, dan negara selain itu akan dilibas terpinggirkan oleh peradaban persaingan bebas (Laissez-Faire). Alih-alih menjalin kerja sama dan berkolaborasi saling menguntungkan, tetapi pada akhirnya berakhir pada pemangsaan negara satu dengan negara lainnya.
Memperluas hubungan dengan banyak negara dalam hal ekspor-impor (pasar global) membuat Indonesia makin terjerumus pada ketergantungan yang tidak ada hentinya, dengan negara-negara maju yang mempunyai segala kesiapan dalam persaingan pasar global.
Daripada mengurusi pertumbuhan ekonomi yang belum tentu dapat dinikmati oleh segenap masyarakat, lebih baik memperbanyak fokus perhatian terhadap keadilan ekonomi nasional (pemerataan ekonomi) dan itu wajib dijalankan karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan hanya para elit.
Artikel Lainnya
-
252206/07/2021
-
39424/10/2023
-
203808/11/2019
-
98206/05/2021
-
Tangentopoli, Korupsi, dan Belanja Sektor Publik
158006/08/2021 -
Di Balik Isu KPK, Arteria, Sampai Penyerangan Kepada Wiranto
141611/10/2019