Industri Fesyen Indonesia: Antara Pasak Ekonomi dan Idealisme Lingkungan

Istimewa namun serba terjepit. Kalimat itulah yang saya pilih untuk menggambarkan kondisi industri fesyen di Indonesia saat ini. Sebelum masuk ke dalam pembahasan, berikut adalah sedikit ulasan terkait industri fesyen di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementrian Perindustrian, nilai ekspor dari kelompok industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai USD 13,27 Miliar pada tahun 2018, dan menunjukan tren peningkatan dari tahun ke tahun.
Lebih lanjut, Menteri Perindustrian yang lalu, Bapak Airlangga Hartanto, menyebutkan bahwa industri TPT merupakan salah satu industri yang diprioritaskan dalam penerapan industri 4.0 ke depannya. Jadi sah bila dikatakan bahwa industri TPT memiliki peran sentral dalam menyokong ekonomi Indonesia ke depannya.
Dalam industri TPT sendiri, setidaknya terdapat 3 eselon sektor yang berperan, yaitu sektor hulu (penghasil serat polyester), sektor tengah (penghasil benang dan kain), dan sektor hilir (penghasil produk garmen). Meskipun menjadi produk ekspor unggulan, ternyata keseluruhan rantai industri TPT masih terdapat masalah yang layak untuk diperhatikan.
Masalah tersebut terkait dengan rendahnya jumlah permintaan dari sektor hilir kepada sektor menengah. Hal ini dikarenakan adanya serbuan kain impor murah yang sebagian besar berasal dari Cina. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah impor kain meningkat menjadi 413.813 ton pada 2018 dari yang sebelumnya 291.915 ton pada 2017, dan 238.219 ton pada 2016.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan hal ini disebabkan oleh rendahnya teknologi dan efisiensi mesin yang dimiliki sektor menengah sehingga harga yang ditawarkan menjadi tinggi. Lebih lanjut, besarnya volume impor kain ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam rantai industri TPT secara keseluruhan.
Rendahnya permintaan dari sektor hilir membuat sektor menengah membatasi level produksi. Akibatnya, permintaan terhadap sektor hulu pun akan ikut menurun. Untuk mengatasi masalah tersebut, Bulan September silam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengajukan permohonan kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) untuk mengadakan penyelidikan terhadap serbuan kain impor yang tengah berlangsung. API beranggapan bahwa tarif cukai untuk produk kain terlalu rendah dan menuntut kebijakan safeguard untuk menyelamatkan sektor menengah.
Masalah industri fesyen sebenarnya tidak berhenti di situ. Indonesia berada pada situasi yang sangat unik di dalam industri ini secara global. Selain brand lokal, banyak brand multinasional yang melakukan proses produksinya di Indonesia, seperti Uniqlo, H&M, Lacoste, Guess, dan lain – lain (Bandana Tewari, Business of Fashion, 2019). Yang membuat situasi rumit adalah tren dari perusahaan fesyen (yang diinisiasi oleh brand seperti Zara, Uniqlo, dan H&M) yang menerapkan apa yang mereka sebut sebagai fast fashion strategy.
Pada dasarnya, fast fashion strategy adalah strategi mengganti koleksi stok di toko pakaian menjadi jauh lebih cepat dari biasanya. Sebelum fast fashion populer, fashion firms umumnya melakukan pergantian koleksi sebanyak satu hingga dua kali dalam setahun. Dengan fast fashion strategy, retail bisa mengganti koleksinya setiap dua hingga empat minggu sekali.
Sebagai gambaran, laporan dari sebuah perusahaan riset di Eropa (European Parliamentary Research Service) menyebutkan Zara bisa mengganti koleksinya 24 kali dalam setahun, sementara H&M mengganti koleksi pakaian sebanyak 12 hingga 16 kali dalam setahun di rak dalam retailnya. Strategi ini mengantar konsumen, termasuk konsumen Indonesia, menjadi lebih konsumtif.
Yang perlu dicatat, untuk bisa mengadopsi fast fashion strategy dengan efektif, fashion firms harus meletakkan proses manufaktur dengan konsumen sedekat mungkin. Hal ini dikarenakan bergantungnya strategi ini dengan fleksibilitas proses produksi dan distribusi.
Istimewanya, Indonesia memiliki dua paket lengkap tersebut. Jumlah konsumen berdaya beli yang besar sekaligus rantai produksi lengkap yang didukung oleh biaya tenaga kerja yang terjangkau. Sisi positifnya, sektor ekonomi akan berputar dengan sangat luwes. Tidak heran bahwa industri fesyen menjadi sektor industi unggulan Indonesia. Yang harus kita cermati disini adalah sisi negatif yang timbul akibat konsumsi produk garmen yang berlebihan.
Industri fesyen tercatat sebagai industri kedua yang paling tidak ramah terhadap lingkungan setelah industri minyak. Dimulai dari proses produksinya, paling tidak dibutuhkan 20 ribu liter air untuk memproduksi per 1 kilogram kapas siap pakainya. Selanjutnya, proses pencucian produk poliester akan melepas ribuan microfibers ke laut yang tentu akan merusak laut dan isinya. Belum lagi limbah udara yang dihasilkan. dimana serat sintetik seperti poliester dapat menghasilkan gas N2O yang 300 kali lebih merusak dari CO2. Segala dampak lingkungan tersebut menjadi lengkap karena terlipatgandakan efeknya oleh tingginya level konsumsi masyarakat terhadap produk garmen.
Perusahaan – perusahaan fesyen sendiri sedang gencar menyuarakan isu ramah lingkungan dengan mengkampanyekan pakaian daur ulang atau pemakaian kembali. Faktanya, brand besar seperti Zara dan H&M secara terbuka menyatakan memilih membuang ketimbang mendonasikan barang tidak laku (unsold product) dan barang yang dikembalikan konsumen (returned product) dengan alasan brand image.
Menjalankan rangkaian proses daur ulang untuk produk tekstil sendiri membutuhkan dana yang sangat besar. Pihak yang memiliki dana sebanyak itu plus kepentingan untuk mengkampanyekan produk ramah lingkungan sebagai brand image (sungguh ironis bukan?) adalah fashion firms. Namun di lapangan, fashion firms menjalankan seluruh proses manufakturnya di tempat–tempat terpusat seperti India, Bangladesh, dan Indonesia.
Satu pabrik yang sama bisa menghasilkan lebih dari satu merek yang saling berkompetisi. Jika sebuah fashion firm berinvestasi untuk proses daur ulang di pabriknya, fashion firm yang lain akan merasakan keuntungan yang sama tanpa harus repot berinvestasi. Kondisi ekuilibrium ini menyebabkan tidak ada fashion firm yang berinvestasi untuk pengadaan proses daur ulang.
Paling banter, limbah tekstil ini akan didaur ulang sebagai produk yang lebih fungsional seperti kain pel dan sebagainya. Yang pada akhirnya, produk tekstil ini akan berakhir juga di tempat pembuangan. Walaupun produk tekstil dilabel sebagai produk yang bisa didaur ulang, pada prakteknya, dengan berbagai alasan, mustahil untuk benar–benar mendaur ulang produk tekstil.
Sekarang disinilah letak Indonesia, berada di tengah – tengah tarik ulur antara faktor ekonomi dan lingkungan. Sebagai produk ekspor andalan, industri TPT akan didorong pemerintah untuk bisa meningkatkan jumlah produksi. Di lain pihak, Indonesia yang menjadi salah satu pusat manufaktur produk garmen lokal dan global boleh jadi bakal berpotensi sebagai negara penyumbang limbah dari industri tekstil terbesar di dunia ke depannya.
Tuntutan API untuk kebijakan safeguard untuk produk di sektor menengah jika tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas produksi akan membuat harga produksi barang jadi menjadi mahal tanpa ada peningkatan kualitas produk. Ujungnya akan menurunkan performa nilai jual dari industri TPT secara keseluruhan.
Kebijakan untuk meningkatkan teknologi di sektor industri menegah akan meningkatkan sustainability industri TPT secara keseluruhan. Sekilas terlihat baik, namun artinya akan mengundang lebih banyak fashion firms untuk melakukan produksi di Indonesia dan makin parahlah kerusakan alam yang terjadi.
Indonesia sebagai tempat yang sempurna dalam praktek fast fashion seharusnya punya peran lebih dalam keseimbangan sektor ekonomi dan lingkungan secara global. Menjadi tempat bercampurnya produksi merek dunia dan merk lokal yang go international serta lengkapnya rantai pasok yang berkumpul dengan besarnya volume pasar, dari fakta–fakta tersebut saja seharusnya Indonesia bisa mendapatkan bargain power yang lebih besar dalam menciptakan sebuah industri garmen yang sehat, tidak hanya di level dalam negeri, tapi juga di level global.
Sebenarnya besar harapan saya untuk menyaksikan Indonesia sebagai pelopor penyeimbang industri garmen yang ramah lingkungan. Namun, bila dilihat dari track record Indonesia versus kepentingan lingkungan sejauh ini, rasanya terlalu naif untuk menaruh harapan setinggi itu. Paling tidak dalam waktu dekat.
Artikel Lainnya
-
121922/06/2020
-
195114/12/2020
-
127824/04/2020
-
415603/10/2019
-
Byung-Chul Han: Eros Online dan Gairah Selfi
105312/05/2025 -
Menjadikan Pendidikan Bermakna
240016/02/2020