IKN, Jokowi dan Lahan Hutan Kita

Ibukota merupakan simbol penting dalam suatu negara, keberhasilan dan kemajuan suatu Ibu kota tidak jarang menjadi legacy atas kepemimpinan suatu negara. Indonesia mencatat bahwa sejak awal kemerdekaan, sudah ada wacana yang digulirkan Presiden Sukarno untuk memindahkan ibu kota, dari Jakarta ke Palangkaraya, salah satu alasan Bung Karno memindahkan ibu kota ke Palangkaraya adalah dengan luasnya wilayah hutan dan jumlah sungai yang banyak di sana, menjadikan Palangkaraya relatif aman dari terjangan banjir. Saat itu, pada tahun 1950 an. Namun nyatanya sampai peristiwa 1965 meletus, Pemindahan ibu kota tidak pernah terealisasikan.
Saat ini Pemerintahan Presiden Jokowi melalui pengesahan yang dilakukan oleh DPR-RI telah menghasilkan UU IKN, untuk mengawal secara legal pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara, yang terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Salah satu alasan pemindahan ibu kota menurut pemerintah adalah risiko bencana yang minimal, pemerintah meyakini wilayah di Kalimantan ini lebih minim risiko bencananya. Mulai dari bencana banjir, gempa, tsunami, kebakaran hutan dan lahan, letusan gunung api, dan tanah longsor, dinilai lebih jarang terjadi di sana.
Namun yang cukup menarik adalah bagaimana secara runtut pemindahan ibu kota ini menjadi bahan pembicaraan banyak orang, salah satunya tentang perumusan UU, RUU IKN disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 18 Januari lalu. UU yang disahkan terdiri dari 11 bab dan 44 pasal yang memuat segala urusan terkait pemindahan ibu kota. Pembahasan RUU ini terbilang cepat karena hanya memakan waktu 43 hari, terhitung sejak 7 Desember 2021. Sangat cepat sekali jika kita sering mendengar kinerja anggota DPR kita terkait hal lain, RUU PKS misal, yang tak kunjung selesai.
Menurut Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Pradarma Rupang mengatakan UU IKN cacat prosedural. Menurut dia, pembahasan UU tersebut melanggar Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena minim partisipasi publik. Ia mencontohkan pembahasan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) IKN yang terkesan tertutup dan hanya dihadiri kalangan terbatas. Publik yang bakal terdampak langsung pemindahan IKN tidak diajak bicara dan diserap aspirasinya.
Menurut catatan Jatam Kaltim, terdapat setidaknya ada 94 lubang tambang di kawasan IKN. Lantaran IKN masuk dalam proyek strategis nasional, tanggung jawab reklamasi lubang tambang itu kini jatuh ke tangan pemerintah pusat.
Sedangkan, pada tahun 2016 Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu Provinsi dengan kebakaran hutan tertinggi di Indonesia. Sejatinya, pemerintahan Presiden Jokowi sudah tahu semua masalah di atas, namun kenapa masih dilanjutkan?
Pendekatan Ekologi
Menurut Barry Commoner, ada 4 hukum ekologi: Pertama, Everything is connected to everything else. Pembangunan IKN tidak hanya bisa menambah kerusakan hutan, tetapi juga akan mengakibatkan perubahan lingkungan di sekitarnya, utamanya adalah keanekaragaman hewani dan hayati yang ada. Terganggunya satu komponen dalam ekosistem dapat berdampak terhadap keseluruhan ekosistem.
Kedua, Everything must go somewhere. Lahan yang digunakan untuk pembangunan IKN merupakan kawasan hutan yang luas yang salah satunya berguna untuk penyerapan air, jika kawasan hutan yang ada di sana diganti menjadi kawasan IKN, ditambah ada banyaknya bekas galian tambang, maka tidak mungkin IKN akan juga mudah banjir, seperti Jakarta.
Ketiga, Nature knows the best. Ekosistem akan melawan dengan sendirinya adanya perubahan yang dihasilkan dari pembangunan IKN, dengan catatan data di atas, alam akan lebih banyak memberikan efek dalam bentuk bencana, mengingat banyaknya ekosistem hutan yang dialih guna untuk pembangunan IKN.
Keempat, There is no such thing as free lunch. Kerusakan-kerusakan hutan Kalimantan, alih guna menjadi kelapa sawit, belum juga dalam bentuk pembakaran hutan yang masif, sudah berdampak banjir besar di titik-titik Pulau Kalimantan. Pembangunan IKN ini jauh dari solusi untuk memperbaiki ekosistem hutan beserta isinya yang ada di Kalimantan, yang ada adalah gambaran ke depan kerusakan akan menjadi lebih banyak.
Angka deforestasi yang terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2000, tutupan hutan alam di Kalimantan mencapai 33,2 juta hektar, kemudian turun menjadi 28,3 juta hektar tahun 2009, 26,8 juta hektar pada 2013 dan 24,8 juta hektar pada 2017.
Salah satu faktor dari penurunan luas tutupan hutan adalah masifnya jumlah konsesi yang memanfaatkan kawasan hutan dan lahan. FWI mencatat hingga 2017 terdapat 32 juta hektar hutan alam yang sudah dibebani izin berusaha.
Khusus untuk Kalimantan, besaran paling luas yakni 12,8 juta hektar hutan yang dilepas untuk izin usaha. Angka itu terdiri dari 5,2 juta hektar untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 756 ribu hektar untuk Hak Tanaman Industri (HTI), 642 ribu hektar untuk perkebunan kelapa sawit dan 1,5 juta hektar untuk tambang.
Data-data di atas menjelaskan secara saintifik bahwa pembangunan IKN akan lebih banyak berdampak negatif terhadap lingkungan, utamanya hutan.
Bukan tidak mungkin, kerusakan ini semua akan semakin bertambah dengan adanya pembangunan-pembangunan yang akan sangat masif dilakukan pasca adanya ibu kota baru di bumi Kalimantan ini.
Menjadi menarik untuk menutup tulisan ini dengan pertanyaan ‘Jika alam sejatinya tidak menginginkan pembangunan IKN, maka siapa yang sebenarnya diuntungkan atas Pembangunan IKN? Rakyat? Rakyat yang mana?’
Artikel Lainnya
-
57520/12/2020
-
47628/10/2021
-
40229/10/2021
-
Perempuan, Media Sosial dan Persoalan Tiada Akhir
41404/08/2021 -
Dromologi dan Realitas Virtual Manusia
109701/04/2021 -
Stereotip, Kesetaraan, dan Kebebasan
66402/01/2022