Ikhlaskan Saja Biar Tuhan Yang Membalas

Berbagai hasil riset menunjukkan adanya kecenderungan kuat bahwa tingkat religius sebuah negara berbanding terbalik dengan tingkat keberhasilan aspek sosial-ekonomi dari negara tersebut. Ambilah contoh dari laporan The Global God Divide tahun 2020 yang menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan warga suat negara pada agama dalam moralitas sosial, akan semakin rendah tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.
Kesimpulan senada juga dihasilkan peneliti dari University of Tennese, dimana beliau menyampaikan bahwa selama rentang abad ke 20, tingkat religius sebuah negara dapat menjadi variabel ukur dalam memprediksi level PDB dari negara tersebut, seperti dikutip dalam artikel di Independent tahun 2018. Dalam penelitian yang sama, disebutkan bahwa pada masyarakat yang lebih sekuler, tingkat toleransi bermasyarakat di dalamnya ditemukan lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan negara dengan masyarakat yang lebih agamis. Lebih lanjut, penelitian lain yang dilaporkan di CBC news tahun 2019 menyebutkan bahwa tidak ada negara dengan tingkat religius tinggi yang menunjukkan indikator positif dalam aspek sosial bermasyarakat.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Seperti diketahui dalam laporan The Global God Divide tahun 2020, Indonesia bersama dengan Filipina tercatat sebagai negara paling religius di dunia. Sebagai masyarakat yang memiliki ideologi Pancasila, yang menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama, bagaimana bisa masyarakat yang sangat agamis ini menjadi terbelakang dalam hal moralitas penduduknya? Tidak henti – hentinya berita tentang kasus korupsi hingga berbagai macam kriminalitas jalanan mondar – mandir menjadi tajuk utama berita di negeri ini. Sebuah artikel di majalah Forbes pada tahun 2019 bahkan menempatkan Indonesia dalam daftar 20 negara paling berbahaya di dunia, dengan highlight tingginya kasus korupsi dan ketidakadilan sosial di masyarakatnya. Dengan berbagai fenomena di atas, benarkah bahwa agama gagal menjadi control system dalam bermasyarakat?
Sebagai manusia yang beragama dan percaya bahwa Tuhan itu sempurna, saya tentu menolak adanya kecacatan dalam agama. Jika bukan agamanya yang salah, lalu dimana letak kesalahannya? Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mengajak pembaca sekalian berkelana ke negeri fantasi, tempat kita berandai – andai.
Seandainya masyarakat Indonesia secara utuh menolak keberadaan agama, menolak adanya surga dan neraka sebagai sistem reward and punishment dari sang maha pencipta, menolak percaya bahwa Tuhan mengatur segala kehidupan di muka bumi, apa yang kira – kira akan terjadi?
Secara logika, masyarakat akan merasa lebih rentan dengan segala bentuk potensi tindak kejahatan, dan sejalan dengan itu akan membentuk sebuah sistem keamanan dalam bermasyarakat secara alamiah. Penyebabnya, masyarakat tidak lagi memiliki Tuhan yang bisa mengatur hal baik dan buruk yang terjadi diantara mereka. Sehingga masyarakat akan menjadi lebih waspada di setiap perbuatannya. Masyarakat akan menjadi sangat rasional dalam berpikir dan bertindak tanpa adanya agama dan kepercayaan akan campur tangan Tuhan dalam kehidupan mereka.
Dengan alur logika demikian, rasanya saya mulai bisa memahami mengapa negara yang religius ini tertinggal dari negara lain yang masyarakatnya lebih sekuler. Saya sampai pada kesimpulan bahwa saat ini, agama sudah menjadi tirai pembatas antara pikiran masyarakat kita dengan pemikiran rasional. Buktinya? Lahir kalimat – kalimat yang akrab di telinga kita seperti “tidak apa – apa, rezeki orang sudah ada yang mengatur”, atau “sudah ikhlaskan saja, biar Tuhan yang membalas”. Kalimat – kalimat ini seolah menjadi sebuah pembenaran atas berpangkutangannya manusia dengan kondisi yang sedang dihadapi. Ujungnya, secara sadar atau tidak sadar, ide – ide semacam ini membuat masyarakat kita berpikir bahwa mereka “kebal” atas hal buruk yang menimpa mereka karena pada akhirnya semua akan kembali kepada Tuhan. Kondisi semacam inilah yang justru membuat tingkat kejahatan menjadi tinggi. Inilah yang menyebabkan Indonesia, negara dengan tingkat religius paling tinggi di dunia, banyak dihuni oleh orang – orang berperangai buruk.
Terlepas dari semua itu, saya percaya kondisi ini tidak akan berlangsung selamanya. Kondisi buruk ini hanyalah sebuah grafik penurunan sebelum kita memantul tinggi ke atas.
Sejarah sudah banyak mencatat fenomena serupa. Khususnya dalam Islam, kita bisa belajar dari sejarah era keemasan Islam yang berpusat di Baghdad, pada sekitar abad ke-8 hingga ke-14. Era keemasan Islam muncul karena masyarakat keislaman pada masa itu cemburu atas ketertinggalan mereka dengan peradaban – peradaban tetangga seperti Persia dan Konstatinopel.
Mereka menyadari ada yang salah dengan masyarakat keislaman pada masa itu dan mulai memperbaiki diri hingga menjadikan Baghdad sebagai salah satu peradaban terbaik di masa itu.
Sejarah zaman keemasan Islam membuktikan bahwa kesalahan bukan terletak di agamanya. Terbukti negara keislaman pun bisa menciptakan peradaban yang baik. Pendekatan kita dalam mengimplementasikan nilai agama lah yang menjadi letak kesalahannya. Saya pribadi percaya, Indonesia akan memperbaiki diri ketika kita semua, dari level pemerintah hingga individu, sadar bahwa kita sedang tertinggal. Kita harus memiliki rasa cemburu pada negara lain yang memiliki nilai kemasyarakatan yang lebih baik, sehingga kita sebagai bangsa secara sadar akan mencari jalan untuk mengobati “penyakit” di dalam diri kita sendiri. Sayangnya, negara – negara keislaman pun kompak berada pada kondisi yang sama pada saat ini. Hal ini menyebabkan kaca yang kita pakai untuk mengukur kondisi kita menjadi bias.
Sebagai penutup, saya berargumen bahwa beberapa penelitian yang menunjukkan korelasi terbalik antara tingkat religius sebuah negara dengan kondisi sosial-ekonomi tidak selamanya benar. Beberapa bukti menunjukkan peradaban Islam pernah menjadi yang terbaik di dunia. Begitupun Indonesia di masa mendatang. Ketika kita sudah memiliki rasa cemburu dengan kemajuan pesaing kita dan berusaha untuk memperbaiki diri sendiri, jangan kaget bila Indonesia menjadi Baghdad era modern suatu hari nanti.
Artikel Lainnya
-
44307/12/2023
-
249330/12/2020
-
88417/06/2022
-
Muktamar KAMMI 2019: Terbukanya Kotak Pandora (Bagian 1)
327725/11/2019 -
213116/07/2020
-
Sexy Killers: Sebuah Catatan Refleksi
185908/08/2019