Penghapusan Mural, Negara Anti Kritik?

Beberapa hari belakangan ini, di beberapa kota, kita menyaksikan aparat negara sedang sibuk-sibuknya melakukan penghapusan mural. Tentu penghapusan mural ini punya dasar yang oleh negara dianggap mural tersebut tidak merepresentasikan kritik etis dan rasional.
Negara menjustifikasi bahwa penghapusan mural tersebut adalah tepat disebabkan tidak punya dasar argumentasi yang dapat meyakinkan publik bahwa negara gagal mengatasi pandemi Covid-19 dan problem lainnya. Sebaliknya mural tersebut justru mengandung sikap dan pesan sinisme, irasional, dan provokatif. Apa argumen dasarnya?
Mural yang memperlihatkan wajah Presiden Jokowi yang didesain dengan sedemikian rupa itu adalah upaya untuk melemahkan dan menjatuhkan kredibilitas dan citra Jokowi sebagai presiden. Bahkan mural tersebut mengandung kecacatan yang tidak merepresentasikan moralitas etis bagi presiden sebagai kepala negara. Watak dari mural tersebut menyiratkan satu sikap arogan yang sedang memperlihatkan bahwa Jokowi sebagai presiden gagal dalam tugas dan tanggung jawabnya menyelesaikan problem yang sedang dihadapi bangsa saat ini.
Jika demikian, apakah itu artinya penghapusan mural oleh aparat negara dibenarkan dan sah? Bagaimana korelasi penghapusan mural tersebut dengan demokrasi? Bukankah penghapusan mural tersebut adalah bentuk dan upaya negara untuk membungkam suara kritik publik dan pada tingkat tertentu melahirkan otoriterianisme seperti yang dilakukan negara Orde Baru Soeharto? Di sinilah perdebatan kita letakkan.
Mural dan Demokrasi
Dari perspektif demokrasi, penghapusan mural tentu berimplikasi pada lemahnya partisipasi warga dalam aspek pembangunan negara. Bagaimana tidak? Di satu sisi, pembangunan negara dan keterlibatan warga di dalamnya akan mendorong pertumbuhan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya yang signifikan.
Sementara pada sisi yang lain, partisipasi warga dalam pembangunan yang tidak dibarengi dengan kesadaran untuk melindungi, merawat, dan menegakkan ekspresi kebebasan mereka sebagai warga negara justru menyebabkan mereka mudah dikooptasi dan dibajak oleh kepentingan aktor dominan melalui kebijakan-kebijakan yang mempersempit ruang ekspresi kebebasan mereka. Contoh paling konkrit bisa dilihat dari Undang-Undang ITE yang memuat beberapa pasal karet yang mudah bagi siapa saja (termasuk negara) untuk menjerat pelaku.
Tidak berhenti di situ, penghapusan mural oleh aparat negara semakin mempertegas lumpuhnya ruang demokrasi yang sementara ini kita bangun bersama. Pengalaman pahit di bawah rengkuhan rezim otoriterianisme Seharto menyisakan trauma yang begitu dalam bagi kalangan masyarakat Indonesia sampai hari ini.
Sebab kita tahu bersama, bagaimana rezim Orde Baru begitu jeli dan getol melakukan penyensoran dan mengamputasi semua kritik publik. Kita hidup dalam suatu rezim gelap dan tidak punya kepastian tentang masa depan demokrasi, sebab Soeharto dan kroni-kroninya selalu mengintai dan mengawasi setiap gerak warga negara. Meminjam istilah Schulte Nordholt, seperti negara penjaga malam.
Hari ini kita kembali diperhadapkan dengan suatu ketidakpastian terhadap demokrasi. Penghapusan mural oleh aparat negara tidak hanya menjelaskan satu bentuk dari absennya ruang demokrasi dipraktikan pasca reformasi. Namun negara turut menggembosi dan mengamputasi demokrasi yang menyebabkan demokrasi berjalan stagnan.
Pada bagian ini saya sepakat dengan Max Lane, demokrasi saat ini tidak mengalami kemunduran, melainkan stagnan. Namun akibat dari situasi ini memperlihatkan adanya ketimpangan, seperti akses pemenuhan fasilitas dasar dari negara yang sangat sulit dan terbatas bagi kalangan kelas bawah.
Di sisi yang lain, kita juga diperlihatkan dengan satu kondisi bahwa ruang demokrasi tidak malah memberikan kesempatan bagi kita untuk mengekspresikan ‘kejengkelan’ atas kebijakan negara. Yang ada malah sebaliknya, demokrasi justru dikangkangi dan pada tingkat tertentu, aktor-aktor negara semakin memanfaatkan situasi semacam ini untuk mempertegas kepentingan ekonomi-politik mereka. Inilah yang saya maksudkan dengan rezim gelap itu.
Ditarik dari perspektif ini, kita menemukan dua poin mendasar yang amat penting. Pertama, mural adalah bentuk ekspresi kritik publik terhadap negara yang absen memperjuangkan kepentingan kesejahteraan rakyat. Karena itu, penghapusan mural oleh aparat negara semakin memperjelas posisi negara yang ambivalen.
Di satu sisi negara membuka kran demokrasi bagi kepentingan warga, sementara disaat bersamaan negara malah menggerus tatanan demokrasi ketika kritik warga dirasa oleh negara menjadi ancaman bagi negara. Tidak heran Spinoza (1951) mengatakan, "Paradoks negara adalah saat ia menetapkan hukum, tidak ada yang membuatnya terikat secara melekat kepadanya".
Kedua, penghapusan mural oleh aparat juga mempertegas bahwa kapasitas negara justru lemah di hadapan kritik yang disuarakan publik dan gagal memperjuangkan warisan reformasi tahun 1998. Karena itu, ditarik dari sudut pandang ini, penghapusan mural adalah bentuk ketidakmampuan dan kegagalan negara dalam upaya merawat cita-cita reformasi.
Untuk itu, kita perlu kembali mendesak lembaga-lembaga negara untuk mengoreksi dirinya sendiri agar tidak terjebak pada praktik-praktik yang dapat melahirkan otoriterianisme sesat seperti pada rezim Orde Baru. Namun, untuk mencapai itu diperlukan kerja kolaboratif dari segmen masyarakat agar ini dapat kita capai bersama. Dalam situasi serba sulit seperti ini, negara harus terbuka dan tetap mendaratkan kebijakannya memperjuangkan kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan kapitalis-oligarkis.
Demokrasi memerlukan adanya pikiran alternatif. Kritik publik adalah bentuk dari pikiran alternatif itu. Karena itu, negara yang gagal memahami kritik dalam negara demokrasi adalah negara yang mudah menjadi aktor yang paling sering mengamputasi demokrasi.
Artikel Lainnya
-
8906/10/2023
-
129507/01/2021
-
65806/06/2021
-
Residivis, Gagalnya Pembinaan di Dalam Lapas?
121117/10/2020 -
Sinetron Amanah Wali 4 dan Dakwah Memaksa di Televisi
845814/06/2020 -
Catatan Redaksi: Apa Salahnya Kerumunan Massa McD Sarinah?
137915/05/2020