Mahasiswa dan Organisasi Ekstra Kampus: Ke Mana Semangat Kolektif Itu Pergi?

Penggiat Diskusi Politik
Mahasiswa dan Organisasi Ekstra Kampus: Ke Mana Semangat Kolektif Itu Pergi? 18/01/2025 40 view Pendidikan Raull Ahmadd via Pinterest

Belakangan ini, ada fenomena yang cukup mencuri perhatian banyak pihak, yaitu semakin banyaknya mahasiswa yang mulai meninggalkan organisasi ekstra kampus. Pertanyaannya, apakah ini berarti organisasi ekstra kampus sudah kehilangan daya tariknya? Atau adakah faktor yang lebih dalam yang mempengaruhi perubahan perilaku ini? Jika kita menelaahnya lebih jauh, pergeseran ini tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial dan ekonomi yang mengelilingi kehidupan mahasiswa saat ini.

Di masa lalu, organisasi ekstra kampus merupakan salah satu ruang strategis bagi mahasiswa untuk membangun kesadaran kritis terhadap berbagai persoalan sosial. Di era Orde Baru, organisasi-organisasi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan lainnya adalah garda terdepan dalam perlawanan terhadap sistem otoritarian yang menindas. Organisasi-organisasi tersebut menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, berdebat tentang isu-isu sosial-politik, dan merumuskan solusi yang dapat mengubah kondisi sosial yang timpang. Dalam ruang-ruang tersebut, mahasiswa belajar menjadi bagian dari perjuangan sosial yang lebih besar.

Namun, seperti yang kita lihat sekarang, zaman telah berubah. Perubahan yang terjadi tidak hanya terjadi pada perkembangan teknologi dan informasi, tetapi juga dalam pola kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Mahasiswa saat ini hidup di era kapitalisme lanjut yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan mereka, termasuk dalam dunia pendidikan. Keberadaan organisasi ekstra kampus yang dulu sangat penting kini dianggap kurang relevan bagi banyak mahasiswa, terutama dalam menghadapi tuntutan zaman yang semakin pragmatis.

Salah satu faktor utama yang memengaruhi pergeseran ini adalah komodifikasi pendidikan. Dalam sistem kapitalis yang mengatur hampir seluruh sendi kehidupan kita, pendidikan tinggi tidak lagi hanya dianggap sebagai tempat untuk membangun intelektual kritis, melainkan lebih dilihat sebagai sarana untuk mencetak tenaga kerja yang siap pakai. Kampus, yang dulu menjadi ruang untuk memupuk gagasan-gagasan besar tentang perubahan sosial, kini lebih mirip sebuah pabrik yang menghasilkan lulusan dengan standar kompetensi tertentu untuk memasuki pasar kerja. Sistem pendidikan tinggi kita semakin berorientasi pada pasar, di mana keberhasilan diukur dari seberapa banyak nilai yang didapatkan, seberapa banyak sertifikasi yang dimiliki, dan seberapa cepat mahasiswa bisa mendapatkan pekerjaan setelah lulus.

Dalam kondisi seperti ini, organisasi ekstra kampus sering kali dianggap tidak relevan dengan kebutuhan mahasiswa yang lebih fokus pada pencapaian pribadi dan jaminan masa depan yang lebih konkret. Apa gunanya ikut organisasi, berdiskusi panjang lebar tentang masalah perjuangan kelas atau isu struktural, jika yang dibutuhkan justru pengalaman kerja yang bisa mempercantik CV dan membantu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik? Sering kali, organisasi ekstra kampus dianggap terlalu idealistik, hanya berbicara tentang hal-hal abstrak tanpa menyentuh kebutuhan praktis mahasiswa yang sedang berjuang di dunia yang penuh dengan tekanan sosial dan ekonomi ini.

Selain itu, ada tekanan sosial yang semakin kuat untuk berkompetisi di pasar tenaga kerja yang semakin ketat. Mahasiswa saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Banyak dari mereka yang merasa terperangkap dalam sistem yang mengharuskan mereka untuk berprestasi agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Kegelisahan akan masa depan, ancaman pengangguran, dan kebutuhan untuk segera mandiri membuat banyak mahasiswa merasa bahwa mereka harus fokus pada kegiatan yang memberikan manfaat praktis dalam waktu dekat, seperti magang di perusahaan, bergabung dalam komunitas yang dapat meningkatkan keterampilan teknis, atau ikut pelatihan yang lebih langsung terkait dengan dunia kerja. Organisasi ekstra kampus, dengan segala hiruk-pikuk ideologinya, sering kali dianggap tidak memberikan manfaat instan yang mereka butuhkan dalam memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari.

Perubahan ini diperparah dengan kemajuan teknologi, khususnya dengan berkembangnya media sosial dan berbagai platform digital yang memberikan ruang baru bagi mahasiswa untuk mengekspresikan diri mereka. Aktivisme mahasiswa kini lebih sering muncul dalam bentuk petisi online, postingan viral, atau hashtag di media sosial daripada dalam bentuk aksi massa yang terorganisir atau diskusi panjang tentang perjuangan sosial. Meskipun media sosial memberikan kebebasan yang lebih besar bagi mahasiswa untuk mengungkapkan pendapat dan memperjuangkan isu-isu sosial, banyak yang meragukan efektivitasnya dalam menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Apakah sekadar berbicara di dunia maya akan cukup untuk mengubah struktur sosial yang sudah mapan?

Namun, di balik fenomena ini, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan mahasiswa. Pilihan-pilihan yang mereka buat adalah cerminan dari realitas material yang menghimpit mereka. Sistem kapitalis yang terus mendominasi telah membentuk pola pikir yang lebih individualistik dan pragmatis, yang menjauhkan mereka dari nilai-nilai kolektivitas dan solidaritas. Keberhasilan pribadi, yang diukur dari sejauh mana seseorang bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar, lebih dihargai daripada perjuangan bersama yang mengarah pada perubahan struktural. Bahkan, organisasi ekstra kampus sendiri sering kali gagal beradaptasi dengan perubahan zaman ini. Banyak organisasi yang masih berkutat dengan pola lama, berfokus pada ideologi perjuangan yang sudah tidak lagi relevan dengan konteks masa kini, tanpa menawarkan gagasan atau strategi baru yang bisa menarik minat mahasiswa generasi sekarang.

Namun, meskipun ada banyak tantangan, apakah ini berarti organisasi ekstra kampus benar-benar akan mati? Tidak begitu saja. Sejarah menunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi yang sangat sulit, kesadaran kolektif sering kali muncul kembali, bahkan dalam bentuk yang lebih kuat. Krisis biaya pendidikan yang semakin tinggi, sulitnya lapangan pekerjaan, ketimpangan sosial yang semakin lebar, dan ketidakadilan ekonomi yang semakin jelas bisa menjadi pemicu bagi kebangkitan kembali organisasi-organisasi mahasiswa. Ketika ketidakadilan semakin terasa, ketika ketimpangan semakin nyata, ketika mahasiswa merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain bergerak, maka organisasi ekstra kampus bisa kembali menemukan relevansinya. Namun, tantangannya adalah bagaimana organisasi ekstra kampus ini dapat merumuskan ulang peran mereka dalam konteks yang lebih dinamis dan cepat berubah. Mereka harus mampu menjawab kebutuhan nyata mahasiswa saat ini, sambil tetap menanamkan kesadaran kritis terhadap masalah-masalah struktural yang dihadapi masyarakat.

Fenomena ini bukan hanya masalah hilangnya minat mahasiswa terhadap organisasi ekstra kampus. Ini juga mencerminkan kontradiksi yang ada dalam sistem sosial kita. Di satu sisi, mahasiswa semakin terjepit oleh tuntutan sistem kapitalis yang semakin kuat. Di sisi lain, mereka juga terperangkap dalam sistem pendidikan yang semakin mengarah pada pemenuhan kebutuhan pasar, bukan pada pembentukan kesadaran kritis terhadap masalah sosial. Jika organisasi ekstra kampus ingin kembali hidup, mereka harus mampu lebih dari sekadar menjadi ruang nostalgia untuk perjuangan masa lalu. Organisasi ekstra harus bisa menjawab tantangan zaman dan menawarkan jalan keluar bagi mahasiswa, tanpa kehilangan esensi perjuangan mereka. Karena pada akhirnya, perjuangan kolektif tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu waktu dan cara baru untuk bangkit kembali.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya