Ibnu Sina dan Lupa Sejarah: Menjadi Tuhan di Dunia Filsafat?

Orang yang terjebak
Ibnu Sina dan Lupa Sejarah: Menjadi Tuhan di Dunia Filsafat? 15/12/2024 305 view Lainnya republika.id

Jadi, mari kita mulai dengan mengingat siapa sebenarnya Ibnu Sina itu. Katanya sih, dia adalah filsuf Muslim terbesar yang pernah hidup, bahkan disebut-sebut sebagai "Dokter dari dunia". Hebat, bukan? Tapi lihatlah bagaimana sejarah memujanya, seolah-olah segala sesuatunya yang dia ajarkan adalah kebenaran mutlak. Semua ini bukan hanya masalah pengetahuan, tapi juga ego yang melekat pada nama besarnya. Semua klaim mengenai kehebatan Ibnu Sina tak lebih dari upaya untuk menjadikan diri kita budak dari kekuasaan yang ditanamkan oleh para intelektual di zaman itu. Semuanya hanya tentang siapa yang memiliki lebih banyak pengaruh, siapa yang bisa mengendalikan pemikiran orang banyak.

Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa Ibnu Sina adalah sosok yang membawa pencerahan di tengah kegelapan, menyinari dunia yang sedang terperosok dalam kejahilan. Tapi coba pikirkan sejenak: apakah semua yang dia tulis dan ajarkan benar-benar memberikan pencerahan, atau justru membuat orang semakin terkekang dalam norma-norma yang tidak pernah mereka pilih?

Filsafat Ibnu Sina yang terkesan luhur ternyata juga tidak lepas dari upaya untuk menguasai pikiran orang lain. Dengan konsep-konsepnya yang penuh dengan kedalaman teoritis, banyak orang terjebak dalam kebingungan. Sebagai seorang dokter dan filsuf, dia tidak hanya berperan sebagai penyembuh fisik, tetapi juga sebagai penyembuh "penyakit intelektual" yang mengikat pikiran orang pada ide-ide yang tak terbukti kebenarannya.

Bahkan, dengan semua pengetahuan yang dimilikinya, apakah Ibnu Sina benar-benar memfasilitasi kebebasan berpikir? Apakah ajaran-ajarannya mendorong kita untuk meragukan segalanya, atau justru membuat kita semakin patuh pada sistem yang sudah ada? Tak sedikit orang yang terperangkap dalam pengajaran Ibnu Sina tentang "kesempurnaan" alam semesta, sebagai suatu tatanan yang tak terbalas. Dia seperti menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini sudah ditentukan dan memiliki tujuan yang tidak bisa diganggu gugat. Padahal, jika kita melihatnya dengan jernih, kita akan sadar bahwa pandangan semacam ini hanya menciptakan pembenaran atas ketidakadilan dan ketidakberdayaan manusia. Bukankah lebih baik jika kita membebaskan diri dari segala belenggu tersebut, daripada terus mengagungkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari sebuah sistem yang sudah usang?

Moralitas yang dibangun dalam filsafat Ibnu Sina—meskipun tampaknya membawa pencerahan bagi sebagian orang—sebenarnya adalah penjara bagi kebebasan berpikir. Dengan ajarannya yang menekankan pada pentingnya tujuan yang lebih tinggi dan tatanan alam semesta yang terstruktur dengan sangat rapih, dia justru menciptakan sebuah sistem nilai yang bersifat mutlak dan tak terelakkan. Mengapa kita harus terus tunduk pada hukum-hukum yang dianggapnya tak tergoyahkan? Kenapa kita harus terus merayakan sesuatu yang dikatakan benar hanya karena sudah diterima oleh banyak orang sebelumnya? Kalau memang benar, mengapa kita tidak diberi kebebasan untuk mempertanyakan dan melampaui batas-batas yang ada?

Ibnu Sina, dalam banyak hal, adalah contoh klasik dari seseorang yang menjadikan pemikirannya sebagai satu-satunya panduan hidup, memaksakan orang lain untuk mengikuti jalur yang dia anggap benar. Dan pada akhirnya, kita menjadi sekelompok individu yang terperangkap dalam pandangan dunia yang sempit, yang menganggap segala sesuatunya sebagai kebenaran mutlak, yang harus diterima tanpa perlawanan. Bukankah ini yang disebut sebagai pengendalian? Bukankah ini yang menyebabkan kita merasa terkurung dalam penjara pemikiran yang dipaksakan oleh para filsuf atau bahkan oleh institusi-institusi besar yang menganggap dirinya tahu segalanya?

Pada akhirnya, Ibnu Sina bukanlah pembawa pencerahan. Dia adalah bagian dari sistem yang mengikat kita dengan aturan-aturan yang seharusnya kita bisa pertanyakan, tetapi malah kita terima begitu saja. Dia mungkin memperkenalkan kita pada banyak hal, tetapi apakah itu membawa kebebasan sejati atau justru mengekang kita dalam norma-norma yang terbatas? Semua klaim tentang kebijaksanaan, filsafat, dan pengetahuan yang dia tinggalkan seharusnya menjadi bahan bakar untuk mendorong kita berpikir lebih jauh, bukan malah mengakar kuat dalam pandangan-pandangan yang sudah usang.

Jadi, untuk apa kita terus-terusan menghormati tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina yang hanya memperpanjang rantai pemikiran yang terbelenggu? Untuk apa kita membiarkan diri kita terjebak dalam sistem nilai yang tidak pernah kita pilih sendiri? Ini bukan soal menentang pengetahuan, ini soal menghancurkan ilusi bahwa segala sesuatunya sudah ditentukan dan tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya. Kita harus mulai membuka pikiran kita untuk melihat dunia dalam terang yang lebih jelas—tanpa batasan moral atau agama yang mengekang kebebasan kita.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya