Hujan Bulan Juni

PNS BKKBN
Hujan Bulan Juni 20/07/2020 3850 view Lainnya PxHere.com

Tulisan ini persis saya kasih judul sama seperti judul puisi yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono “Hujan Bulan Juni”. Bukan tanpa alasan saya menulis sesuai dengan judul puisi milik Sang Maestro yang telah berpulang ke pangkuan Tuhan Yang Maha Pencipta, Minggu 19 Juli 2020 lalu. (Semoga Beliau ditempatkan pada posisi terindah di SisiNya, Aamiin)

Saya memberi judul tulisan ini sama persis seperti judul puisinya sang maestro, itu semua tak lepas dari proses saya dalam mencintai puisi.

Dulu, sewaktu awal-awal saya masuk kuliah, saya tidak terlalu suka dengan puisi. Bagi saya puisi adalah sesuatu yang susah dicerna maknanya. Barang kali hanya si penulis yang mengerti makna dari setiap barisan kata yang ada dalam bait-bait puisi yang diciptakannya.

Hingga pada suatu saat, teman satu kost saya, yang kebetulan adalah anak sastra, mengajak saya untuk menonton musikalisasi puisi. Sesuatu pertunjukan yang dimainkan oleh kumpulan anak-anak Jurusan Sastra Indonesia waktu itu.

Istilah musikalisasi puisi pun bagi saya masih terasa asing. Namun karena yang mengajak adalah teman satu kost saya, maka saya pun memenuhi ajakan tersebut. Kamipun berangkat untuk menyaksikan pertunjukan musikalisasi puisi yang dihelat anak-anak sastra Indonesia di sebuah kampus di Yogyakarta.

Motivasi saya untuk datang, hanya ingin menemani teman saya menonton musikalisasi puisi sekaligus ingin mengetahui seperti apa pertunjukan musikalisasi puisi yang masih terasa asing di telinga saya tersebut.

Awalnya saya begitu bingung dengan acara itu. Ada alunan musik yang dimainkan oleh mahasiswa kemudian diikuti oleh pembacaan puisi yang dibacakan dengan intonasi seperti bernyanyi.

Satu demi satu puisi kemudian dipentaskan dengan diiringi musik. Tak ada satupun dari puisi itu membuat saya tertarik atau menyentuh kalbu saya.

Hingga kemudian ada satu puisi ciptaan Sapardi Djoko Damono yang akan dipentaskan sebagai penutup. Tentu puisi tersebut dibacakan dengan diiringi musik. Itulah puisi yang berjudul “Hujan Bulan Juni”

Nah, pada pementasan terakhir, pada musikalisasi puisi dengan puisi berjudul “Hujan Bulan Juni” inilah saya baru bisa menikmati musikalisasi puisi tersebut. Saya menemukan puisi Hujan Bulan Juni yang dipentaskan itu begitu cocok pada situasi yang sedang saya alami waktu itu.

Barang kali sewaktu menciptakan puisi “hujan Bulan Juni” pengalaman dan perasaan Sang Maestro sama dengan perasaan dan pengalaman saya waku itu. Beliau seolah-olah tabah, penuh kesabaran namun ragu-ragu menunggu seseorang yang dicintainya untuk datang.

Dan ketika seseorang yang ditunggu itu datang, hal tersebut benar-benar merupakan anugerah yang luar biasa. Seperti halnya turunnya Hujan Bulan Juni. Bukankah kita semua tahu, bahwa hujan di bulan Juni adalah sebuah kejadian yang sangat langka terjadi di negara tropis seperti di negara kita?

Karena begitu asyik dan khusyuknya saya dalam memahami puisi “Hujan Bulan Juni” yang dibacakan dengan bersenandung yang diiringi musik oleh beberapa mahasiswa, membuat saya tak sadar bahwa acara musikalisasi puisi itu telah berakhir. Hingga teman saya menghampiri saya untuk diajak pulang.

Itulah cerita di suatu malam, yang membuat saya jatuh cinta pada puisi. Puisi “ Hujan Bulan Juni” seolah memiliki ritme dan irama yang menyentuh perasaan saya.

Puisi tersebut bukan elok dan hebat pada kata-kata namun memiliki efek yang mampu merobek-robek perasaan secara halus terutama bagi para generasi muda yang sedang menunggu jawaban dari seorang kekasih.

Hujan Bulan Juni adalah puisi yang romantis yang mampu memperhalus perasaan bagi yang mendengarnya, terutama bagi mereka yang sedang jatuh cinta.

Semenjak saat itu saya sering membaca buku puisi khususnya buku puisi Hujan Bulan Juni milik Sang Maestro. Meskipun dibaca berulang-ulang puisi tersebut seolah-olah terasa tiada jemunya.

Bahkan di saat sendiri saya sering diam-diam membacanya “tak ada yang lebih tabah, dari hujan bulan Juni, dirahasikannya rintik rindunya, kepada pohon berbunga itu; tak ada yang lebih bijak, dari hujan bulan Juni, dihapusnya jejak-jejak kakinya, yang ragu-ragu di jalan itu; tak ada yang lebih arif, dari hujan bulan juni, dibiarkannya yang tak terucapkan, diserap akar pohon bunga itu”

Selamat Jalan Sang Maestro Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisimu adalah obat rindu buat kami yang kehilangan sosokmu.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya