Hiperrealitas dan Krisis Identitas

Mahasiswa
Hiperrealitas dan Krisis Identitas 19/02/2021 2676 view Lainnya pixabay.com

Sudah menjadi sebuah keniscayaan atau keharusan bagi setiap individu di era serba digital seperti sekarang untuk berkomunikasi dengan menggunakan gawai yang kemudian menjadi sebuah persoalan baru di tengah masyarakat luas.

Keadaan serba instan atau cepat, dalam berkomunikasi ataupun kepentingan lainnya menjadikan manusia sebagai pribadi yang mudah emosi, putus asa, dan bahkan sangat mudah untuk dijadikan sebagai korban penipuan di kala terlalu larut dalam dunia maya dan secara tidak sadar menjadi bom waktu bagi dirinya.

Itulah yang kemudian kita kenal dengan media sosial, sebuah dunia baru bagi hampir semua orang di dunia, menjadikannya sebagai sebuah cara hidup baru, yang dalam artian media sosial telah menjadi sebuah kebutuhan bukan lagi menjadi keinginan semata.

Ini terjadi secara dinamis dan terus menerus menggerogoti umat manusia. "Tiada hari tanpa internet" adalah sebuah frasa yang mungkin menjadi slogan yang benar adanya di era sekarang. Terlalu sibuk dengan media sosial sehingga lupa akan diri sebagai makhluk sosial.

Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis yang dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981) memperkenalkan sebuah kata Hyperreality atau Hiperrealitas yang kemudian diartikan sebagai "ketidakmampuan kesadaran manusia membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya dalam kehidupan berteknologi tinggi."

Hiperrealitas ini kemudian diidentikkan sebagai "Nyata tanpa kenyataan" oleh Jean Baudrillard ataupun "Palsu otentik" oleh Umberto Eco dalam memahami sebuah dunia yang serba absurd yang sulit membedakan antara nyata dan tidak nyata.

Inilah yang kemudian diamini oleh sebagian dari kita, bahwasanya Hiperrealitas pada media sosial menjadikan manusia sebagai makhluk krisis identitas. Manusia telah larut dalam permainan "tipu-tipu" media sosial, mudah percaya pada yang belum tentu benar, mudah menyebarkan yang palsu, dan selalu ikut arus pada apa yang ada.

Krisis identitas muncul sebagai sebuah pergolakan batin seorang individu ketika tidak mampu memahami dirinya sebagai makhluk yang benar-benar hidup. Karena terlalu nyaman, sehingga apapun yang membuatnya senang akan diikuti layaknya anjing yang bertuan kepada manusia.

Potret viral di media sosial menjadikan user atau penggunanya menjadi massa yang fanatik akan sebuah fenomena faktual yang terjadi. Menjadi seorang ahli dalam sekejap mata adalah gambaran krisis identitas hari ini. Mengomentari apa yang tidak diketahui, menggurui pada siapapun, dan tidak senang ketika yang lain senang. Ini adalah kecenderungan manusia di media sosial.

Jati diri seorang manusia sebagai pribadi telah tenggelam dalam massa. Terlalu sibuk dengan yang ramai, dan dibutakan dengan zona nyaman. Ini yang kemudian di dunia politik menjadikan kritik, menghujat, dan ujaran kebencian yang sebelumnya kata yang berdefinisi beda tapi kemudian tidak mampu dibedakan lagi ketika sudah berada di media sosial.

Hiperrealitas terasa sangat kental ada ketika seseorang menjadi "singa" di dunia maya dan "kucing" di dunia nyata. Dalam artian, seseorang sangat bebas melontarkan kata-kata ketika jari-jemari berselancar bebas di dunia maya, dan menjadi pendiam ketika berada di kerumunan dunia nyata. Inilah yang kemudian kita kenal dengan "Palsu otentik".

Hidup terasa absurd, karena ketidaksinkronnya antara hidup di dua dunia yang berbeda. Kadang kala hidup seperti ini menjadi ambiguitas yang benar-benar sangat memuakkan.

Berangkat dari situlah, yang kemudian kita bisa lihat hari ini, menjadikan media sosial sebagai sarang adu domba, angkuh, dengki, perfeksionis, dan tren ikut-ikutan sehingga membuat manusia lupa akan dirinya sebagai manusia.

Manusia secara tidak sadar bahwa dirinya merupakan cerminan orang lain, mengikuti apa yang dilakukan orang lain, ikut terjebak dalam massa viral, dan tidak mau menjadi beda dari orang lain. Sedangkan menjadi beda itulah yang membuat manusia eksis, sebagai individu yang punya tapi orang lain tidak punya, dan keluar dari lingkaran massa yang membuat manusia menjadi tidak terlihat.

Sayangnya inilah yang kemudian jarang kita lihat di dunia maya, krisis identitas benar-benar menjadi new normal. Bukan lagi hal yang diperjuangkan. Ketika karya dianggap bukan apa-apa, menjadi beda dianggap kolot, dan semuanya harus serba sama. Itulah yang kemudian menghiasi hari-hari kita sekarang.

Layaknya candu terhadap budaya luar, tapi di sisi lain tidak mampu memperkenalkan budayanya sendiri. Mengolok-olok karya orang lain, di sisi lain tidak mampu membuat satupun karya. Ini yang kemudian menjadi paradoks di tengah zaman yang semakin cepat dan mudah, yang menjadikan manusia sebagai manusia malas dan terburu-buru.

Dan akhirnya membuat kita semakin bertanya-tanya, "bagaimana potret manusia di masa depan?", ketika hari ini kita dilanda dunia hiperrealitas (nyata yang tak nyata) dan Ambiguitas media sosial yang mengakibatkan manusia menjadi makhluk krisis identitas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya