Hiperrealitas dan Cacat Logika Dunia Dalam Layar

Mahasantri Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo/ Alumni PP. Mathali'ul Anwar Pangarangan-Sumene
Hiperrealitas dan Cacat Logika Dunia Dalam Layar 10/02/2025 328 view Budaya antaranews.com

Masyarakat digital memiliki kebiasaan yang sama sekali baru dan aneh. Pengalamannya bukan hanya diukur secara natural. Melainkan harus dirasakan dan dinikmati dengan melibatkan naluri-naluri sensual. Rekam, unggah dan bagikan menjadi siklus yang terus berputar dan menciptakan standar kehidupan yang serba bias virtual. Sebuah aktivitas seakan kurang memuaskan bila tidak mengikuti rambu-rambu dari ketiga siklus tersebut.

Kita mungkin sering mendengar istilah “standar tik tok” dalam hingar-bingar media sosial. Istilah ini membuktikan bahwa realitas kehidupan bukan hanya diukur melalui dunia eksternal. Jejaring internet juga berperan dalam menentukan selera, gaya hidup dan pola pikir warganet. Itulah sebabnya kita lebih suka mendapatkan lebih banyak like dari pada sekedar menikmati pemandangan ketika mendaki Gunung Rinjani.

Fenomena-fenomena ini bukan hanya merubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat sosial dan nilai-nilai kebudayaan, tetapi juga mempengaruhi dan mengguncang narasi-narasi kebenaran yang sudah lama menjadi konsensus ilmiah. Bilamana diskursus ilmiah sering kali melibatkan kaum rasionalis dan empiris, maka barangkali saat ini kontestan bertambah dengan adanya madzhab kebenaran populis. Oleh karenanya, perlu kita bahas studi filosofis tentang kebenaran dalam dimensi kehidupan digital.

Hiperrealitas & Simulacra; Jurang-jurang Pemisah Kebenaran!

Jean Baudrillard adalah orang pertama kali yang memperkenalkan istilah Hiperrealitas dalam diskursus filsafat postmodernisme. Ia berpandangan bahwa kehidupan dalam kesadaran masyarakat digital terjebak dalam ketidakmampuan untuk membedakan antara dunia kenyataan dan dunia fantasi. 

Lebih dalam, pria berkebangsaan Prancis ini menjelaskan bahwa fenomena hiperrealitas tersebut lahir dari kecanggihan teknologi yang sekaligus menciptakan duplikasi dunia kehidupan sosial; dunia luring (luar jaringan) dan daring (dalam jaringan). Fenomena duplikasi ini kemudian oleh Jean Baudrillard disebut sebagai simulacra. Dimana kehidupan yang imajiner tercipta atas dasar imitasi dan pencitraan yang dibuat persis dengan bentuk realitasnya yang asli.

Di tengah arena kehidupan sosial, simulacra bersimulasi menciptakan cermin kehidupan tiruan. Dunia layar sebagai sebuah bayangan sering diprioritaskan ketimbang kehidupan dunia eksternal. Kita rela membuang-buang waktu hanya demi merasakan hidup di dunia fantasi media sosial.

Keterpesonaan dan keasyikan masyarakat kepada algoritma ini, menciptakan standart pandangan yang sangat bias maya. Prinsipnya adalah bukan tentang bagaimana kondisi anda sebenarnya, tapi bagaimana algoritma mempopulerkan anda. Semakin trending, semakin bernilai. Prinsip inilah kemudian melahirkan budaya-budaya pamer yang erat kaitannya dengan kehidupan serba konsumtif. Banyak kita jumpai para muda-mudi berlomba-lomba untuk memiliki IPhone hanya demi alasan kualitas kamera yang baik. Sturbucks yang meski tahu harga kopinya mahal-mahal, tetap menjadi ramai pengunjung, yang datang cuma untuk sekedar mendapatkan like banyak dari unggahan akun instagramnya. Hal ini karena, lagi-lagi, simulacra menduplikasi kehidupan maya menjadi lebih nyata dari yang sebenarnya nyata.

Ironinya, kebenaran menjadi ambigu dan cenderung bergantung kepada nilai-nilai popularitas.. Semakin postingan anda banyak disukai, semakin anda popular dan akan diakui. Sebaliknya, betapa pun anda mengabadikan momen liburan ke Jepang dengan caption: “Indahnya Kota Tokyo!”, orang-orang tak akan percaya kalau postingan anda buruk dan memperoleh sedikit like.

Kenyataan ini membuat saya sedikir refleksi tentang tinjauan kebenaran berdasarkan konsensus ilmiah. Sependek yang kami tahu, alat pengukur kebenaran berdasarkan proposional kurang lebih yakni hanyalah kebenaran koherensi, korespondensi dan kebenaran pragmatis. Untuk yang pertama, pernyataan anda tentang “ibu sedang mengobati adik” akan dianggap benar, kalau pernyataan anda bahwa “adik sedang sakit” memang diakui sebagai yang benar. Sementara dalam korespondensi, pernyataan anda tentang “beruang kutub berwarna putih” akan dinilai benar bilamana anda benar-benar melihat faktanya. Adapun kebenaran pragmatis, pernyataan anda tentang “kalau ngantuk, minumlah kopi!” akan saya anggap benar, jika saya berhasil begadang sesuai dengan saran anda. Tetapi, bagaimana mengukur kebenaran hiperrealitas dengan ketiga konsensus ilmiah tersebut? Secara, dalam konteks demikian, pernyataan anda benar hanya jika anda mendapatkan banyak like, repost dan algoritma membuat anda menjadi trending.

Cacat Logika Validasi Kebenaran

Budaya pamer yang terbentuk dari hiperrealitas sering kali mengorbankan privasi anda. Saat ini kegiatan anda tak ada yang berharga bila hanya dinikmati sendiri. Pengalaman-pengalaman indah anda tak akan berharga jika tidak diunggah, direkam dan dibagikan. Ketika anda berlibur ke kebun binatang dan melihat seekor rusa yang cantik, anda tidak benar-benar memperhatikan dan menikmatinya. Anda terlalu sibuk mengambil ponsel, kemudian merekam, mengunggah dan membagikannya. Bahkan saat anda memposting ke laman Instagram, anda belum benar-benar merasa puas jika tidak terus-terusan mengecek seberapa banyak orang yang menyukai postingan anda. Motto baru dari kehidupan hiperrealitas adalah “Jika anda mengalami sesautu, rekam!, jika anda merekam, unggah dan bagikan!”. Namun, siklusnya tidak finish sampai di situ, sebab yang perlu anda lakukan kemudian adalah “teruslah cek seberapa banyak orang yang menekan tombol like untuk satu foto yang anda posting!”.

Bilamana pencarian makna dari sebuah pengalaman diukur dari nilai validasi banyak orang lain, ini berarti tidak meniscayakan pengalaman yang anda lakukan memang benar secara intrinsik. Pengalaman yang telah anda posting dan mendapati banyak like sekaligus repost, tidak meniscayakan anda benar-benar menemukan kenikmatan dari apa yang telah anda alami. Sekali pun berkat satu unggahan, anda mendapatkan banyak pengikut, siapa yang peduli kalau pengalaman nyata anda sebenarnya pahit, alih-alih menarik seperti di gambar foto? Saat anda memposting pengalaman mendaki Gunung Rinjani, warganet mungkin memang tertarik dengan kenikmatan yang anda alami. Namun siapa yang tahu kalau anda sebenarnya menderita dan sama sekali tidak menikmati?

Nilai dari sebuah kebenaran tidak bisa diukur dari popularitas dan trending. Sebab populer bukan berarti benar. Ia hanya diakui gara-gara banyak yang mengakui, bukan memang mesti diakui. Nilai ukur kebenaran popularitas hanyalah sebatas potensial, bukanlah bersifat kepastian. Karena tidak pasti, maka tidak sah sebagai alat ukur kebenaran.

Mengukur kebenaran harus bersifat objektif, ilmiah dan menjamin nilai yang sama saat diukur lagi. Ketentuan tersebut hanya berlaku pada koherensi, korespondensi dan pragmatis. Adapun menilai kebenaran sesuai dengan tingkat popularitasnya cenderung manipulatif dan karenanya tidak ilmiah. Sebab siapa yang tahu bahwa barangkali semua orang sepakat untuk menipu anda?

Maka menilai kebenaran sesuai dengan popularitas dan trending sejak awal dianggap cacat logika (logical fallacy). Dalam kajian logika dikenal dengan sebutan argumentum ad populum. Dianggap cacat, karena argumen ini hanya mengandalkan kecenderungan manusia untuk menyesuaikan diri dengan pendapat umum yang berlaku, bukan menggunakan penalaran yang logis atau bukti yang kongkrit. Contoh sederhana dari argument ini adalah “bumi itu datar, karena semua orang percaya bahwa bumi itu datar!” atau “soto itu tidak enak, sebab semua orang Jakarta tidak menyukainya!”. Dua pernyataan tersebut tidak membuktikan bahwa bumi memang benar-benar datar atau soto benar-benar tidak enak. Sebab faktanya, sains membuktikan bahwa bumi itu bulat, sementara lidah saya membuktikan bahwa soto itu enak.

Kembali Ke Alam Nyata

Di era digital ini, kebenaran tidak lagi berdiri sendiri, tetapi dikendalikan oleh mekanisme validasi berbasis algoritma dan psikologi massa. Hiperrealitas menjadikan dunia digital lebih meyakinkan dibanding kenyataan, pembatas antara fakta dan ilusi menjadi kabur akibat cacat logika argumentum ad populum yang sering dilakukan, sementara pada titik kulminasinya, manusia sering kali diperbudak oleh validasi digital untuk mencari pengakuan yang semu. Oleh karena itu, masyarakat harus kembali pada pemikiran kritis dan skeptisisme terhadap apa yang viral. Tanpa kesadaran ini, kita hanya akan menjadi pion dalam permainan digital yang mengendalikan persepsi kita tentang dunia.

Satu-satunya solusi untuk kembali berpikir kritis adalah fokus ke alam realitas yang nyata. Untuk fokus, perlu adanya kesadaran bahwa algoritma digital bukanlah nilai kehidupan yang sebenarnya. Ada yang lebih penting dari pada sekedar pengikut Instagram, lebih menarik ketimbang fyp tiktok anda. Bahwa popularitas yang anda bangun dengan memalsukan dan memanipulasi hanya serpihan sampah dibanding kualitas dan potensi diri yang seharusnya anda gali. Ingatlah moto ini “kualitas lebih penting dari pada sekedar popularitas!”.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya