Seleksi CASN dan Kesadaran Diri Dalam Budaya Digital Kita

Bapak satu anak
Seleksi CASN dan Kesadaran Diri Dalam Budaya Digital Kita 31/10/2021 609 view Lainnya asset.kompas.com

Hidup berbaur bersama dengan teknologi informasi merupakan kenikmatan yang tiada duanya. Setiap informasi yang kita butuhkan tersaji di layar. Belum lagi kemudahan sekali klik untuk menyelesaikan beberapa kebutuhan kita.

Kemudahan dan kecepatan merupakan nyawa dari era distrupsi. Kegiatan manusia mulai melebur bersama teknologi, zaman ini manusia mulai malu apabila berkegiatan menggunakan cara manual.

Praktis kegiatan yang sifatnya manual hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar saja. Bahkan sektor pelayanan publik yang dahulu sangat manual, akhir-akhir ini mulai mengikuti arus perubahan.

Hal ini ditandai dengan berbagai aplikasi pelayanan yang tumbuh subur di setiap lini instansi pemerintahan. Nampaknya, api pelayanan prima mulai menggebu-gebu kembali. Kebaikan seperti ini layak untuk dirawat demi mengembalikan harkat dan martabat pelayanan publik.

Pelayanan publik yang dahulu dinilai kacau balau dan serba pungutan liar hingga membuat wajahnya kusam, mulai menunjukkan wajah yang berseri-seri. Bisa dilihat dari berbagai survei kepuasan masyarakat, jelas bukan karena para akun media sosial yang secara masif mengunggah foto abdi negara cantik dan ganteng yang memberi peluang hidupnya sisi narsisme manusia. Era distrupsi, media sosial, dan narsisme sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan dari ketiga komponen ini, manusia dapat menemukan makna dirinya.

Hingga pada satu ketika saya menemukan satu stori Instagram (Instastory) milik salah satu akun seorang abdi negara yang cukup moncer di kalangan dunia persupoteran bola Nusantara. Dalam Instastory tersebut tampak si empu akun sedang melemparkan pertanyaan kepada para followers-nya melalui fitur yang disediakan oleh Instagram.

Dari rentetan pertanyaan tersebut, ada satu jawaban menarik dari si empu akun tersebut. Pertanyaan umum dari para pengikutnya berkutat pada tips dan trik lolos seleksi CPNS.

Namamu tetap harum semerbak wahai profesi dambaan para mertua Nusantara. Saya yakin, si empu akun yang moncer tadi sampai mau menjawab pertanyaan itu, karena kebanyakan pertanyaan yang masuk dari pengikutnya berkutat pada seleksi CPNS-an. "Kang, bagi tips dan triknya lolos CPNS dong", kurang lebih mungkin pertanyaan yang masuk seperti itu.

Saking baik hatinya, ia akhirnya membagikan tiga tips untuk para pengikutnya di akun Instagram: berdoa, berusaha, dan meminta restu pada orang tua. Tunggu dulu, itu bukan hal yang menarik.

Bagian menariknya adalah ia memberikan satu wejangan unik dan menggelitik sekali. Kurang lebih seperti ini "kalau tahun ini gagal, coba lagi tahun depan, tapi kalau sampai tiga kali gagal mungkin ini bukan jalanmu".

Sekilas memang terlihat menjengkelkan, tapi itulah realita yang harus diterima. Terkadang manusia perlu mengetahui makna dari setiap perjalanan hidupnya. Mengejar ambisi yang ada di dalam dirinya terkadang perlu perhitungan juga. Berusaha boleh, tetapi mengetahui kemampuan diri dengan menumbuhkan kesadaran terhadap diri sendiri.

Narsisme dan Kesadaran Diri

Suka tidak suka, kegagalan adalah bagian paling mengerikan dari budaya digital di Nusantara ini. Pasalnya, kisah kegagalan murni tidak mendapatkan tempat.

Banyaknya pengguna media sosial zaman sekarang yang mengunggah kegiatan haha hihi dan berbagai kesuksesan dalam mengarungi lautan kehidupan merupakan ancaman tersendiri bagi manusia.

Bahkan untuk mendapatkan tempat di sana dengan jumlah like atau love berlimpah, paling tidak harus memiliki unggahan yang menarik, syukur bisa menggugah motivasi hidup orang lain. Tak ayal, budaya digital mendorong para pengguna media sosial yang kebanyakan ingin melarikan diri dari kepenatan dunia nyata memilih berbagai hiburan yang memanjakan mata. Parahnya, bila setiap unggahan tersebut mulai membangunkan fenomena psikosis bernama narsisme.

Narsisme, memiliki gejala kecemasan yang khas. Semakin kuat narsisme mencengkeram jiwa manusia, maka ia akan semakin takut untuk menerima fakta kegagalan dan kritik logis dari orang lain, begitu penuturan Erich Fromm pada karyanya yang berjudul Narsisme dan Kesadaran. Banyaknya akun di media sosial yang mengunggah keindahan para pelayanan masyarakat Nusantara dengan berbagai solekan menawan, ditambah bumbu tanda hati berwarna merah yang beribu-ribu, membuat keinginan untuk menggapainya semakin tidak terbendung.

Parahnya, tipu daya narsisme yang sedang kita pelihara kerap membawa manusia pada tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Penyesalan tiada henti yang seharusnya bisa diatasi oleh kemampuan manusia itu sendiri, harus pupus. Gigit jari saja mungkin tidak cukup untuk menyesali segala kesalahan yang kita lakukan akibat rasa takut yang belum tentu terjadi.

Namun demikian, dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan melalui media sosial seharusnya tidak memancing perilaku menyimpang dalam dunia nyata demi menggapai kenikmatan pilihan yang disajikan. Selama manusia Nusantara masih mempunyai kesadaran diri bahwa dirinya mampu menggapai kenikmatanya dalam wujud mimpi dengan kemampuan dirinya, atau setidaknya dapat memaknai sebuah kegagalan dan ketidaksanggupannya dalam menggapai keinginannya tersebut, akan ada jalan lain untuk ia tampaki dengan langkah kakinya. Satu kalimat bijak untuk mengikhlaskan segala usaha yang mengalami kegagalan, “setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing”.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya