Pancasila, Civil Society dan Tantangan Ke Depan

Tanggal 1 Juni sebagai hari besar memperingati hari lahir Pancasila, menjadi momentum yang menentukan bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan kembali nilai-nilai Pancasila. Tentu tidak hanya itu, momentum hari lahir Pancasila juga perlu dimaknai sebagai hari di mana semua elemen bangsa berkolaborasi dalam rangka mengutuhkan Pancasila sebagai dasar negara.
Karena itu kerja kolaborasi dari elemen bangsa seyogianya menjadi tanggung jawab bersama. Sebab, jika hanya menyerahkan tanggung jawab mempertahankan nilai-nilai Pancasila hanya pada urusan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) artinya kita merasa pesimis dengan Pancasila. Namun sebaliknya menyerahkan urusan Pancasila hanya pada elit sama saja tidak membuat kita mampu mengamalkan Pancasila. Sebab, semua tahu di negeri ini Pancasila seringkali dilanggar justru oleh elit-elit yang korup.
Lantas, apakah kita masih optimis dengan itu? Menurut saya sudah saatnya kita harus membongkar kembali gagasan paling intim dari apa yang kita sebut sebagai civil society. Dalam konteks negara, posisi dan peran civil society sangat menentukan dinamika ekonomi politik sebuah negara. Jika civil society diam, justru yang ada elit-elit korup akan mengganyang habis-habisan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya, kekuatan civil society sangatlah berpengaruh terhadap pematangan demokrasi dan menjaga Pancasila tetap eksis.
Sejarah mencatat bagaimana rezim otoriterianisme Soeharto mempolitisasi Pancasila dengan cara menggebuk orang-orang yang berpikiran kritis progresif. Tidak hanya itu, rezim Orde Baru turut serta mendiskreditkan orang-orang yang tidak turut dalam memperjuangkan kebijakan rezim dengan menyatakan bahwa mereka tidak Pancasilais. Bahkan lebih jauhnya lagi melalui Pancasila, rezim mampu meredam kekuatan civil society yang kritis sekaligus menindas mereka. Inilah realitas sejarah politik di negeri ini di bawah keberingasan Soeharto.
Tidak mengherankan apabila di tengah kekuatan civil society yang mulai lemah, rezim Soeharto terus memupuk kapitalis-oligarkis untuk menggerus keuntungan ekonomi politik pada masa di mana dinamika politik mulai tidak seimbang, kekuatan elit sangat dominan sementara civil society sangatlah rapuh. Pada tingkat inilah, sebagaimana temuan Vedi Hadiz (2005), oligarki mulai menata sistem politik seturut keuntungan bagi kepentingan mereka.
Apa yang terjadi pada masa Soeharto inilah sebenarnya kekuatan dari bawah yakni civil society begitu rapuh karena tidak ditopang melalui dukungan dari elemen civil society yang lain. Kita bisa lihat, bagaimana buruh justru berjalan sendiri, media atau pers bahkan sebagian justru merapat ke tubuh rezim. Sementara dalam organ mahasiswa belum ada kekuatan bersama yang mampu melululantahkan kekuatan rezim. Di sinilah saya sepakat apabila hal ini turut membentuk rezim menjadi lebih represif, sementara civil society kian jauh dan terpecah-pecah.
Karena itu, tidak heran apabila pasca jatuhnya rezim Orde Baru, oligarki tidak malah tumbang tetapi tetap eksis. Justru civil society malah terdepak dari gelanggang kekuasaan karena tidak ada kesadaran politik yang sama untuk merangkul mereka untuk mengambil alih kekuasaan. Yang ada, orang-orang yang dibesarkan di bawah Orde Baru mampu mengambil peran dan posisi melalui celah politik baru yang tidak mampu dibaca oleh civil society.
Yang ada pasca reformasi, justru dinamika ekonomi politik di Indonesia semakin mengalami carut marut. Politik identitas semakin menguat belakangan ini. Tindakan represif terhadap aktivis semakin nampak. Bahkan yang lebih miris, ada sebagian yang mulai meribut-ributkan kembali Pancasila seolah olah Pancasila belumlah final. Sampai di sini kita kembali ke pertanyaan inti, mengapa pasca reformasi semua ini bukannya membaik justru semakin menjauh dari cita cita reformasi yang kita canangkan bersama?
Tantangan Ke Depan
Sampai di sini kita musti berpikir ulang tentang bagaimana semua ini akan membaik seturut cita-cita kita bersama. Namun, saya lebih optimis bahwa civil society menjadi satu-satunya harapan yang mampu meyakinkan saya dan mungkin kita semua tentang Indonesia di masa depan. Sebab, saya bukannya pesimis dengan lembaga dan institusi yang ada atau sebaliknya pesimis dengan elit-elit di negeri ini. Tetapi, realitas politik telah membuka mata saya bahwa di negeri ini justru korupsi, pencaplokan lahan petani, pembungkaman aktivis dan lain-lain justru dilakakukan oleh elit-elit oligarkis.
Bahkan pasca reformasi kekerasan atas nama identitas dan politik identitas turut membuat kita menaruh rasa pesimis. Seringkali Pancasila dijadikan sebagai alat untuk mendiskreditkan orang-orang yang dianggap berbeda dengan menyatakan mereka tidak pancasilais, mereka tidak NKRI. Hal ini hampir dirasakan oleh para mahasiswa dan masyarakat Papua yang terus menyuarakan tuntutan untuk kesejahteraan mereka. Tetapi selalu disikapi secara represif dan brutal tanpa ada jalur dialog.
Inilah tantangan kita bersama ke depan. Pancasila sebagai ideologi negara mesti tidak dijadikan sebagai alat untuk menggebuk orang-orang yang kritis. Di sisi lain jangan jadikan Pancasila untuk dijadikan sebagai alat kepentingan politik dalam rangka memperoleh keuntungan elektoral. Ini sangatlah bejat. Mesti kita bersama-sama untuk membangun satu kesadaran dan pemahaman bersama bahwa Pancasila adalah rumah kita bersama dan tugas kita adalah menjaganya tetap eksis.
Artikel Lainnya
-
69327/07/2022
-
103918/05/2020
-
106508/01/2021