Pramoedya, dan Lawan Politiknya

Beberapa pemuda bergerumun dan bergumam, ketika membaca majalah sastra. Ada beberapa paragraf menarik, sehingga beberapa pemuda mulai mendiskusikan perihal tersebut dengan perasaan yang begitu penuh tanya.
Orang-orang mulai ramai-ramai bereaksi kala waktu itu, Lekra begitu sering menjunjung tinggi Manipol. Di samping itu muncul “Manifes Kebudayaan,” sebagai tonggak keresehan para seniman. Dituliskan di halaman 27-29 Majalah Sastra Manikebu menyampaikan eksistensinya.
“Hidup buruh, hidup petani, ganyang Nekolim,” selalu muncul tersirat dari guratan kertas dan kanvas karya-karya yang mengandung manipol secara terang-terang. Namun, ada beberapa sastrawan dan seniman geram.
Ada sekitar 20 nama tercantum yang terdiri dari 16 penulis, 3 pelukis dan 1 komponis menandatangani nomenklatur Manifes Kebudayaan, sebagai langkah alternatif pada dunia sastra dan seni yang mengalami fragmentasi sehingga kaku dalam laku dan manifestasinya.
September 1963, jadi sebuah saksi awal bagaimana benturan pemikiran antara Manifes Kebudayaan dengan Lekra mencuat. Alhasil, dengan penuh tanda tanya, pada Desember 1964, Ir. Soekarno resmi melarang perkumpulan itu dengan dalih Anti Revoulsi.
Memang, manifesto politik harus tertanam dalam karya seni ataupun sastra. Bila saja, karya seni dan sastra tak selaras dengan manifesto politik presiden, maka hal itu dinilai sebagai anti revolusi. Itu semua terjadi ketika konsep sosial politik Indonesia bersifat terpimpin.
Sastrawan, pelukis dan komponis, menyampaikan sebuah ide baru. Seni tidak melulu dikaitkan dengan politik semata. Seni itu memiliki esensi bebas kaitanya dalam menyampaikan ekspresi.
H.B Jassin menyampaikan, bahwasannya sastra yang digiring dengan begitu kaku agar segala bentuk karya mengandung unsur politik, sungguhlah membuat kaku. Retoris pandang luas mengenai sastra dan seni, kaku sehingga tak bebas.
Realisme sosialis muncul sebagai pemerkuat. Sastra dan seni harus memiliki keberpihakan. Kebepihakan itu harus kentara dari setiap guratan teks dan coretan di kanvas, harus memiliki intrik-intrik tentang revolusi.
Keberadaan Pramoedya Ananta Toer membuat corak sastra dan seni di Indonesia berwarna. Perdebatan dan hujatan melahirkan dialektika menarik, pada sastra dan seni. Seperti halnya majalah sastra dan bintang timur.
Tepat pada 6 Februari lalu, kita memperingati Pram. Pram dikenal sosok yang tegas. Pram adalah Pram. Dia tak bisa disetir oleh siapapun.
Pram lahir dari seorang bangsawan. Gelar “Mas”, rela ia copot sebagai bentuk bunuh diri kelas. Baginya, semua orang itu sama, untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa, tidak perlu klasifikasi yang eksklusif.
Kondisi sosial mengalami perubahan. Kehidupan pram pun terguncang dan terkoyak oleh kemiskinan. Beberapa hal Pram lakoni agar bisa mengunyah sesuap nasi agar melanjutkan vitalitasnya sebagai manusia.
Bahkan di tahun 1946, Pram pernah berhimpun dalam angkatan bersenjata, dan keluar karena tindak korupsi dan sewenang-wenang terjadi. Ia pun mengukuhkan diri keluar dan 1947 ia menjadi redaktur penerjemah.
Pram melahrikan beberapa karya-karya roman dengan tulisan dikonsep berupa Roman. Perburuan (1949), Keluarga Gerilya (1950), Tetralogi Pulau Buru, semuanya Pram tulis sebagai coretan historis yang kontemplatif.
Pram diguncang oleh pelbagai narasi miring, ketika gagasannya tak selaras dengan kelompok lain. Sebut saja –Manifes Kebudayaan. Kelompok seniman yang digawangi oleh Wiratmo Soekito dkk, menawarkan konsep alternatif atas sastra dan seni, sebagai alternatif seni saklek dengan narasi Manipol yang mengikat.
Orde lama hancur dilumat waktu. Ir. Soekarno dengan politik mercusuar dirasa begitu mesra dengan Kurchev ataupun paman Aidit, terpaksa meletakan mandat atas kericuhan terjadi pada awal tahun 1965, karena ketidaksepakatan masyarakat Indonesia waktu itu.
Wiratmo Soekto, H.B Jassin, Goenawan Mohammad, tercengang kala menyaksikan Pramoedya di gelandang ke Pulau Buru, dengan dalih berafiliasi dengan Lekra yang dianulir sebagi bagian dari PKI.
Seniman manikebu hanya bisa terdiam dan bingung. Ingin saja bersuara agar kekejian militer itu tak melakukan sedemikian rupa, akan tetapi mereka juga bimbang, ketika bersuara malah akan dianggap berpihak pada mereka.
Pergolakan antara Pramodeya dan beberapa tokoh yang berafisiliasi di manifest kebudayaan mengakar sampai ketika, Mohtar Lubis mengganyang Pram sebagai seorang komunis.
Pada wawancara, majalah Gatra 23 September 1995, Mohtar Lubis dengan urat leher mencolok mengganyang Pram tidak pantas mendapatkan nominasi Magsaysay. Bahkan lebih pedas lagi, ia tuduh Pram sebagai Komunis. Protes itu pun berujung kepada pengembalian penghargaan Magsaysay pada tahun 1958 sebagai bentuk protes oleh Mohtar Lubis.
Disusul lembaran selanjutnya dengan judul “Yang Tidak Kuat, Matilah”, sebagai wawancara Pramoedya ketika berpolemik dengan 26 seniman yang menolak penghargaan oleh Ramon Magsaysay, yang tak juga kalah hebatnya Pram menanggapi ucapan Mochtar.
Majalah Bintang Timur yang juga digawangi oleh Pramoedya, memberikan beberapa kritik pedas terhadap sastrawan yang jauh dari Manifes Politik. Bagi Pram, kondisi pada waktu itu dimana kolonialisme Inggris yang masih terus membombardir Indonesia, harus didukung juga melalui sebuah karya Sastra, agar masyarakat terpantik kesadaran revolusioner.
Selanjutnya, Pram juga mempertegas dengan judul “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun,” bahwasannya sastra itu harus mengandung unsur-unsur politik. Dengan ini, karya sebuah sastra dan seni menjadi sebuah tenaga dan semangat penyadaran masyarkat Indonesia.
Bagi pram, kebudayaan Indonesia dan semangat perlawanan kolonialisme yang dibalut dengan Manifesto Politik itu penting adanya karena dalih revolusi nasional belum selesai. Ketegasan Pram untuk membabat karya sastra yang kurang menanamkan nilai-nilai keberpihakan politik itu, mempengaruhi Soekarno untuk membabat karya-karya yang anti revolusi.
Termasuk Mochtar Lubis juga digelandang pada era Orde Lama, karena karya sastranya itu tak selaras dengan Manipol, begitu juga H.B Jassin yang terdepak sebagai dosen Universitas Indonesia karena dituduh kebarat-baratan.
Pram memang seorang yang tegas dan berani. Ia begitu terang-terangan agar menyuruh orang yang tak sejalan dengannya agar berbicara tak hanya diam dan membisu atau “Cengeng.”
Prahara Budaya tulisan Taufiq Ismail menuduh Pram disebut mempengaruhi pembredelan buku dengan dalih anti revolusi dan dianggap menindas kebebasan kreatif, ditanggapi Pram dengan santai, “Saya hanya membuka polemik.”
Pergulatan antara Realisme Sosialis dengan Humanisme Universal menjadi sebuah ingatan kita, bahwasannya keberadaan mereka mencoretkan hidupnya dinamika intelektual pada waktu itu, begitu hidup dan penuh ironi.
Disamping polemik yang menyampaikan bahwasannya penghargaan Magsaysay itu adalah produk Neokolonialisme dan Imperialisme, kata Pram. Tak bisa kita tolak, Pramoedya adalah mahaputra sastrawan Indonesia. Melalui dia, kita tahu bahwasannya sastra itu juga perlu adanya menyuguhkan perihal keberpihakan. Sekian.
Artikel Lainnya
-
144214/10/2019
-
163825/06/2020
-
46305/09/2021
-
Vlog: Ambivalensi Wilayah Publik dan Privat
92414/07/2020 -
Ketika Gadamer Membaca Ihwal Jurnalistik
37520/07/2022 -
Catatan Penting Dari Wabah 2019-nCoV Acute Respiratory Disease (Coronavirus Wuhan China)
112010/02/2020