Greta Thunberg dan Peran Akademisi Hari Ini

Stokholm, Swedia, 15 Maret 2019, jutaan pelajar yang tergabung dalam aksi “Global Strike for Future” turun ke jalan, memenuhi pusat-pusat kota, dan menyedot perhatian. Poster bertuliskan “Skolstrejk for Klimatet” (“Mogok Sekolah untuk Iklim”) dibentangkan. Di depan gedung parlemen di Ibu Kota Stokholm, mereka menyuarakan aksi protes terhadap perubahan iklim. Mereka mengecam aksi perusakan lingkungan yang berujung pada perubahan iklim yang parah.
Dari aksi itu, sesuatu menggema ke langit kota Stokholm. Masyarakat menjadi apatis terhadap kebenaran dan para akademisi kehilangan kewibawaan dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan mati. Dalam bahasa Greta Thunberg, “Fakta tidak lagi bermakna karena politikus tidak menggubris para ilmuwan.” Bagaimana persisnya? Dari Thunberg kita bisa bercermin. (bdk.Tempo, 7 April 2019, hlm. 89)
Greta Thunberg hanyalah bocah berusia 16 tahun. Ia anak yang cerdas, namun dikenal introvet. Ia didiagnosis mengidap Sindrom Asperger, yakni gangguan obsesif kompulsif dan mutisme selektif. Sindrom ini memperlihatkan gejala yang mana seseorang hanya berbicara jika ia merasa perlu.
Terlepas dari itu semua, Thunberg bukanlah bocah biasa. Ia istimewa. Ia punya kerja besar. Sejak berumur 15 tahun, tepatnya pada 24 Agustus 2018, ia mengampanyekan perubahan iklim lewat aksi mogok sekolah.
Dari pukul 8.30 hingga 15.00, ia duduk lesehan di depan gedung parlemen di Ibu Kota Stokholm. Sesekali ia berdiri dan berteriak, menyuarakan aksi protes perubahan iklim. Baginya, aksi pengerusakan lingkungan di Swedia telah berujung pada perubahan iklim yang parah. Suaranya bulat: “Saya melakukan ini karena Anda, orang dewasa, tidak peduli dengan masa depan saya.”
Tetapi itu hanyalah apa yang nampak. Lebih jauh, aksi Thunberg yang telah menginspirasi 1,6 juta pelajar di seluruh dunia ini menegaskan satu hal penting. Sebagaimana sedang terjadi di Swedia, Eropa, Amerika, bahkan di negara dunia ketiga seperti Indonesia: masyarakat bersikap apatis terhadap para akademisi. Hal ini barangkali bisa dikatakan sebagai sebuah sikap tidak percaya masyarakat terhadap kaum intelektual.
Pada dasarnya, sikap apatis ini menegaskan bahwa di tangan masyarakat kebenaran justru diterima sebagai sesuatu yang relatif. Kebenaran dianggap ditentukan oleh manusia, seperti ajaran sofis Protagoras tentang relativisme kebenaran. Kebenaran tidak ada pada dirinya sendiri.
Apa yang oleh para akademisi anggap benar, oleh para politikus, misalnya, diabaikan. Sebaliknya apa yang dianggap salah oleh para akademisi, malah dijadikan landasan untuk segala tindakan yang dilakukan. Akibatnya, orang tidak lagi percaya akan kebenaran, persis ketika apa yang orang sebut data (dalam arti yang negatif) berseliweran di mana-mana. Kebenaran menjadi rancau. Mana yang boleh dipercaya dan mana yang tidak, orang tidak punya pegangan.
Masyarakat yang percaya bahwa kebenaran itu relatif adanya punya kecenderungan untuk mencari sendiri apa yang hendak dipegangnya. Sudah sejak zaman dahulu hingga sekarang, orang-orang justru beralih ke kaum sofis, yang dalam sejarah filsafat dikenal sebagai para pembias kebenaran, penjual kebenaran demi reputasi dan kekayaan, musuh Platon dan Aristoteles (bagaimanapun, mereka adalah orang-orang berpendidikan). Bahkan, sofis sekarang tidak lagi berwujud manusia, Protagoras atau Gorgias.
Sebagaimana menurut Setyo Wibowo, sofis yang lebih canggih di abad ke-21 adalah Big Data, yakni kumpulan data-data dalam jumlah besar yang konon bisa mengetahui selera belanja seseorang hanya dengan mengidentifikasi ujung jari jempol manusia. Akibatnya, kebenaran tidak lagi otentis. Orang bisa memanipulasi kebenaran untuk tujuan apa saja.
Pada sisi lain, sikap apatis masyarakat di atas terkait erat dengan minimnya peran para akademisi dalam masyarakat. Para akademisi justru lebih suka berdiam diri di balik buku-buku tebal dan kampus-kampus dengan tembok yang megah.
Mereka hanya menumpuk ilmu dengan gelar-gelar akademis yang tinggi, namun tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di tengah masyarakat. Maka benarlah pertanyaan retoris menukik yang diajukan Thunberg: “Buat apa saya belajar?” Ia kembali menggugat sisi urgensi dari sebuah proses belajar.
Menurut saya, munculnya kecenderungan semacam ini berkaitan erat dengan sistem pendidikan bangsa kita. Sistem pendidikan kita menjadikan para peserta didik bak pisau yang tumpul. Ruh dan andil akademisnya tidak nampak. Pendidikan kita memuat sistem yang membutakan karena tidak menyiapkan peserta didik untuk menghadapi dunia yang konkret.
Sistem pendidikan kita hanya menekankan nilai di atas kertas. Primitif. Sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, anak-anak dibiasakan dengan sistem menghafal, menghafal rumus-rumus, menghafal kata per kata pada buku, tetapi tidak diajarkan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan yang riil.
Model pendidikan yang demikian melahirkan persoalan-persoalan akut yang menggerogoti bangsa. Koruptor, teroris, penyebar hoaks, misalnya, adalah orang-orang dengan jejak pendidikan manis bak kisah dongeng. Orang-orang kampus yang lulus dengan prestasi Cum Laude'atau Suma Cum Laude malah menjajal berbagai “profesi kotor” yang tidak sepadan dengan prestasi dan nilai mereka di atas kertas. Kita terlalu terlena pada romantisme “sekolah adalah ajang unjuk gengsi”, lalu melupakan nilai “sekolah sebagai bekal di masa depan.”
Kita akhirnya mesti sampai pada sebuah kesadaran untuk berbalik. Tidak lain tidak bukan dengan memulihkan peran para akademisi sebagaimana mestinya. Pertama, kita mesti memunculkan kembali kesadaran bahwa para akademisi tidak semestinya diam. Mereka mesti bergerak dalam peran mereka masing-masing demi kemajuan bangsa. Oleh karena itu, saya suka mengutip Soekarno di sini, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri.”
Kedua, sebagaimana Thunberg, siapa pun mesti peduli, mesti menggubris, mesti memberi tempat kepada para akademisi sebab kebenaran ada pada mereka. Kebenaran itulah yang kelak akan memajukan bangsa kita, Indonesia. Sebab kalau tidak, para akademisi hanya akan menjadi patung-patung mati belaka, layaknya patung Marx dan Engels di taman di tengah distrik Mitte di Berlin, Jerman itu.
Konon Thunberg sangat tegas dengan komitmennya dalam mengkampanyekan perubahan iklim. Ia, misalnya, menjadi vegetarian, menanam sayur sendiri, tidak naik pesawat dan menggunakan panel surya sebagai sumber listrik. Kita pun hendaknya menjadi Greta Thunberg, yang tidak hanya belajar untuk menumpuk ilmu, tetapi yang belajar untuk kehidupan. Lantas, benarkah kematian akademisi itu terjadi? Jika jawaban kita adalah “ya” atau “tidak”, percayalah kita telah mengajukan pertanyaan yang salah. Kita butuh berefleksi.
Artikel Lainnya
-
127324/04/2020
-
220930/09/2019
-
129504/01/2020
-
Penumpang Gelap Demo Tolak Omnibus Law
145215/10/2020 -
168331/05/2020
-
106023/05/2020