Gerakan KAMI dan Demokrasi Kita
Konsep demokrasi paling dasar mensyaratkan adanya kekuatan penyeimbang/kontrol bagi eksekutif/pemerintahan. Ada prinsip check and balance. Secara formal, semestinya fungsi itu dijalankan oleh parlemen. Namun pada praktiknya itu akan sulit dilakukan secara optimal terutama saat lembaga tersebut justru diisi oleh koalisi partai politik pendukung pemerintahan.
Ini tergambar dalam pemerintahan Jokowi pada periode kedua. Gerindra yang merupakan pemimpin koalisi kompetitor pada Pilpres lalu berhasil ditarik masuk dalam gerbong pemerintahan dengan kompensasi posisi dua kursi Menteri yang cukup strategis. Bergabungnya Gerindra dalam pemerintahan jelas membuat kekuatan politik yang bisa menjadi penyeimbang pemerintah semakin tidak memadai. Akibatnya, apapun rencana kebijakan/program yang dirancang pemerintah hampir selalu lolos saat dalam tahap pengambilan keputusan di DPR.
Kita memang masih bisa mendengar suara-suara kritis dari sebagian politisi yang terkenal cukup rajin menyoroti kinerja pemerintah. Tetapi apalah artinya bila ternyata partai politik tempat mereka bernaung punya pendapat/keputusan yang berbeda? Yang timbul dalam persepsi publik justru penilaian bahwa mereka sedang bermain politik “dua kaki”.
Gerakan KAMI
Ketika partai politik sepertinya tak bisa diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintahan, perhatian publik lalu tertuju pada gerakan moral sebagai poros kekuatan alternatif yang digagas para tokoh/aktivis.
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menjadi salah satu gerakan yang mendapat perhatian publik. Organisasi ini memang belum resmi dideklarasikan dan baru pada tahap perkenalan ke publik. Menurut informasi, pendeklarasiannya akan dilaksanakan dalam bulan ini. Sepertinya bulan bersejarah ini sengaja dipilih karena berdekatan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Ada beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai penggagas berdirinya KAMI. Nama-nama mereka pastinya sudah sering beredar di ruang publik. Siapa tak kenal dengan nama Din Syamsudin (mantan Ketua PP Muhammadiyah), Rocky Gerung (aktivis, akademisi), Said Didu (mantan pejabat BUMN), Ahmad Yani (Politisi), Ichsanuddin Noersy (pakar ekonomi) dan beberapa nama lain. Konon kabarnya, gerakan ini juga mendapat dukungan dari tokoh-tokoh lain seperti Gatot Nurmantyo, Refly Harun (pakar hukum tata negara, mantan komisaris BUMN), Rachmawati Soekarnoputri, dan sebagainya.
Sekilas tidak ada yang berbeda dengan kritik, tuntutan yang sekaligus menjadi alasan hadirnya gerakan ini. Pasalnya, para tokoh tersebut dalam kesempatan berbeda sudah sering menyuarakannya di ruang publik. Menjadi menarik ketika mereka sepakat berkumpul dan berniat “memformalkan” kegelisahannya dalam satu wadah gerakan/organisasi.
Ihwal gerakan seperti apa yang akan dilakukan, bagaimana struktur organisasinya, isu-isu apa yang menjadi fokusnya, serta rekomendasi dan tuntutan apa yang akan digemakan tentu masih harus menunggu deklarasi resminya. Namun, informasi mengenai rencana gerakan ini sudah mendapat respon yang cukup ramai. Tentu saja, akan selalu ada yang pro dan kontra. Pihak yang pro tentu saja sangat mendukung dan berharap organisasi ini benar-benar bisa memberikan kontribusi yang baik untuk negeri.
Sementara mereka yang kontra akan menuding gerakan ini sebagai kumpulan orang-orang sakit hati dan pendendam abadi rezim Jokowi. Memang bila mengacu pada nama-nama tokoh seperti yang disebutkan di atas, kita mengenal beberapa nama yang pernah ikut membantu rezim berkuasa namun di tengah jalan diberhentikan.
Din Syamsudin sendiri, sebelumnya sempat dipercaya menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban . Bila ditarik lebih jauh lagi, Din pun sempat dikabarkan masuk radar sebagai kandidat yang mendampingi Jokowi di pertarungan Pilpres lalu.
Ada lagi nama-nama yang sejak awal memang sudah menunjukkan “kebencian” pada rezim ini. Kritik-kritik yang disampaikan selalu tajam dan menusuk. Apapun kebijakan yang diambil pemerintah, akan selalu salah dalam penilaiannya.
Demokrasi kita
Bagaimana semestinya kita merespon gerakan ini? Menurut hemat saya, kita harus bisa berpikir secara adil dan objektif. Hal paling dasar, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi kita. Dengan demikian, inisiasi gerakan KAMI merupakan sesuatu hal yang legal, wajar dan sah-sah saja. Tidak boleh ada upaya mengebiri apalagi menghalangi niat tersebut. Anda dan saya boleh-boleh saja meragukan kemurnian motif serta tujuannya sebagai gerakan moral. Namun mereka pun boleh menyatakan diri sedang peduli dan punya niat baik untuk bangsa ini.
Langkah terbaik menurut saya, dukung serta berikan keleluasaan gerakan ini untuk membuktikan dirinya sebagai gerakan yang memang murni bertujuan untuk “menyelamatkan” bangsa ini. Kita juga harus belajar membuka diri terhadap seluruh pandangan/informasi. Katakanlah memang ada motif tertentu (politik) dari tokoh-tokoh gerakan ini, namun tak membuat kita lantas langsung menihilkan kapasitas dan kompetensi masing-masing.
Kita butuh pandangan-pandangan kritis Ichsanuddin Noersy berkaitan ekonomi nasional khususnya di tengah-tengah masa pandemi saat ini dan nanti. Bukankah saat ini sudah banyak negara yang mengalami resesi? Indonesia pun setahap lagi akan mengalaminya. Lalu, apa yang harus dilakukan? Kita juga selalu butuh pemikiran bernas seorang ahli hukum Tata Negara, Refly Harun agar sistem ketatanegaraan dan demokrasi kita semakin baik lagi. Sebagai seseorang yang pernah duduk di jabatan Komisaris, kita juga butuh pendapat Refly demi membangun eksistensi BUMN kita masa kini dan mendatang.
Seharusnya, kita justru bersyukur bila ada orang-orang yang mau peduli dengan kondisi bangsa ini, berpikir dan berkontribusi memberikan masukan atas setiap permasalahan yang dihadapi pemerintah meski tidak dibayar atau mendapat jabatan dalam pemerintahan.
Demikian sebaliknya, waktu akan menguji kemurnian hati para tokoh sekaligus gerakan ini. Bila benar tujuannya ingin “menyelamatkan” bangsa ini, maka mereka akan memberikan gagasan/pertimbangan terbaiknya untuk dipertimbangkan bahkan dieksekusi pemerintah. Publik pun akan leluasa menilai apakah gerakan ini memang layak untuk didukung atau tidak. Apakah gerakan ini memang benar-benar lahir dari kegelisahan dan tujuan luhur membantu bangsa ini keluar dari masalah berat yang sedang dihadapi atau sekadar tempat kumpul-kumpul mereka yang sakit hati dan benci setengah mati pada rezim Jokowi?
Sekali lagi, demi kebaikan dan kemajuan demokrasi kita, gerakan KAMI memang harus mendapat kesempatan untuk menjalankan tujuan-tujuan baiknya. Tidak usah nyinyir atau berusaha menghambat. Bangkitnya gerakan sosial sebagai alternatif kekuatan publik untuk mengawasi pemerintah merupakan harapan bagi kita di tengah-tengah ketiadaan peran dan fungsi partai politik sebagai penyeimbang pemerintah.
Akhirnya, semoga gerakan ini tidak dikhianati dan lari dari tujuan awalnya yang sangat mulia. Bila itu yang terjadi, publik akan patah hati, tidak tahu harus berharap pada siapa lagi.
Artikel Lainnya
-
59227/12/2022
-
240907/01/2022
-
216301/04/2020
-
Keriuhan Kapitalisme yang Tertahankan
140904/04/2021 -
Pandangan Mochtar Lubis Terhadap Kemunafikan Manusia Indonesia
326022/01/2021 -
Etica Negativa dan Etika Humanisme di Tengah Wabah
178903/04/2020
