Microsoft Matikan Kolom Komentar, Bukti Survei DCI Benar?
Baru-baru ini, Microsoft telah merilis “Indeks Keberadaban Digital” atau “Digital Civility Index” yang menunjukkan tingkat keberadaban pengguna internet atau warganet sepanjang tahun 2020. Hasilnya mengejutkan, sebab warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara atau bisa disebut paling tidak sopan di wilayah tersebut.
Terbayang di ingatan penulis di masa sekolah dulu, guru-guru mengajarkan bahwa identitas bangsa Indonesia di mata dunia adalah keramah-tamahan masyarakatnya. Sifat orang Indonesia yang ramah merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebudayaan yang ada di masyarakat. Hampir seluruh budaya di Indonesia mengajarkan tentang sopan santun dan bersikap baik.
Tentunya hal ini kontras dengan hasil survei DCI. Jadi apakah survei tersebut tidak valid alias tidak mempresentasikan masyarakat Indonesia secara umum? Tunggu dulu, jangan cepat menyimpulkan. Sebaiknya kita bahas dulu apa itu suvei DCI. Survei DCI adalah sebuah riset yang dilakukan oleh Microsoft untuk mengukur tingkat kesopanan pengguna internet yang dilaksanakan setiap tahun sejak 2016. Microsoft melakukan survei tahunan ini guna mendorong warganet melakukan interaksi yang lebih sehat, aman dan saling menghormati.
Survei dilakukan pada rentang bulan April hingga Mei 2020 dan melibatkan 16 ribu responden remaja dan dewasa dari 32 negara. Indonesia berada pada peringkat 29 atau paling tidak sopan se-Asia Tenggara, sementara Singapura berada di posisi pertama se Asia dan ke empat secara global. Adapun Belanda dinobatkan menjadi negara paling sopan dari 32 negara tersebut.
Dalam survei tersebut diberlakukan skor dari 0 sampai 100, di mana makin rendah skor berarti paparan risiko online makin rendah, sehingga tingkat kesopanan di internet negara itu disimpulkan makin tinggi.
Melansir Kompas.com, Kamis (25/2/2021), menurut riset Microsoft, skor kesopanan daring di Indonesia naik delapan poin dari tahun sebelumnya menjadi 76 pada tahun 2020. Artinya tingkat keberadaban warganet saat ini lebih buruk dari tahun lalu.
Ada tiga indikator risiko terbesar warganet yang dipaparkan Microsoft dalam penilaiannya, yakni hoaks dan scam (bertambah tiga belas poin), ujaran kebencian (bertambah lima poin), dan diskriminasi (berkurang dua poin).
Yang menarik, survei ini menempatkan warganet di kelompok dewasa sebagai yang paling buruk perilakunya. Sementara, kelompok remaja justru tampak lebih terdidik soal etika di internet. Remaja tak memberi kontribusi positif ataupun negatif terhadap skor kesopanan warganet Indonesia. Kemerosotan kita yang bertambah 16 poin sepenuhnya didorong oleh warganet dewasa. Mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 196,7 juta orang (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia-APJII, November 2020) atau lebih dari 72 persen total penduduk (Sensus BPS 2020), angka ini tentu mencemaskan.
Menurut pendiri sistem analisis jaringan sosial Drone Emprit, Ismail Fahmi, hal ini disebabkan karena faktor keterbiasaan. Remaja tumbuh dengan segala sentuhan pada teknologi dan interaksi internet. Sementara orang dewasa melewatkan banyak hal dalam proses pembelajaran bermasyarakat daring.
Selain itu seperti yang dimuat di Kompas.com, Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani berasumsi bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil survei tersebut. Yang pertama adalah faktor ketidakpastian dalam masa pandemi membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber dan tanpa melakukan cek dan ricek langsung meneruskan informasi tersebut. Hal itu membuat mata rantai informasi hoaks semakin panjang.
Yang kedua adalah faktor kesulitan ekonomi, membuat maraknya kasus penipuan. Sebagian orang akan mencari cara mendapatkan uang, meski harus menipu orang lain.
Dan yang ketiga adalah respon rasa frustasi. Dituturkan Endang, ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi merupakan respon dari rasa frustasi yang dialami selama pandemi. Selain menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional, ujaran kebencian dapat muncul dari dorongan untuk melampiaskan rasa frustrasi, “Harus ada yang disalahkan”. Dan siapa saja bisa menjadi sasaran. Apalagi dalam dunia media sosial, seseorang dapat menyembunyikan identitas diri sebenarnya, seperti menggunakan nama samaran. Sehingga, lebih berani melemparkan kata-kata yang tidak pada tempatnya untuk merundung pihak lain.
Walaupun demikian, apapun faktor penyebab hasil survei DCI yang mencoreng nama Indonesia saat ini, harusnya menjadi bahan introspeksi bagi warganet. Sayangnya, alih-alih membuktikan bahwa survei tersebut salah, warganet malah beramai-ramai menyerbu akun Instagram Microsoft. Setidaknya apa yang dilakukan Microfoft baru-baru ini yakni mematikan kolom komentar di Instagram, sedikit menjawab benar atau tidaknya hasil survei tersebut.
Artikel Lainnya
-
119617/02/2021
-
214211/02/2020
-
157408/09/2020
-
UU Cipta Kerja dan Kerusakan Alam
125314/10/2020 -
Jangan Anggap Remeh Politik Emak-Emak
209015/12/2019 -
Teologi Yang Mampu Membebaskan
129823/07/2020