Fadli Zon dan Bayang-bayang Orde Baru
			      	
			      	
			      	
			      	Pernyataan “tone positif” dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon memang terdengar lembut di telinga. Ia secara tersurat mengklaim bahwa pendekatan ini diperlukan untuk menghindari pencarian kesalahan di masa lalu. Dengan kata lain, sejarah tidak ditulis untuk membuka kembali luka lama, melainkan harus ditulis untuk membangun semangat nasionalisme.
Namun, kalau kita kritisi, “tone positif” tersebut bisa saja digunakan untuk melakukan upaya pengaburan fakta sejarah negara kita yang pahit. Alih-alih membuka ruang refleksi atas masa lalu, “tone positif” justru berpotensi meredam kenyataan pahit sejarah melalui “eufemisme”. Yaitu, pelunakan bahasa yang menyamarkan makna sebenarnya.
Praktik ini bukanlah hal baru dalam politik bahasa di negara kita. Sejak era Orde Baru (Orba), bahasa telah digunakan secara strategis demi mengamankan kekuasaan. Anang Santoso (2012) menyatakan bahwa dalam politik bahasa realitas sebenarnya kerap dibungkus dengan citra positif dengan tujuan mengendalikan persepsi publik.
Maka, “tone positif” yang dilontarkan oleh beresiko mengulang pola yang sama, bahkan lebih bahaya. Yaitu, dijadikan alat cuci tangan negara atas pelanggaran kemanusiaan di masa lalu yang hingga kini belum terselesaikan. Hal ini bisa kita lihat dari draf penulisan sejarah yang menghapus beberapa peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Misalnya seperti tragedi 1965, penembakan misterius 1982 hingga 1985, Talangsari, penghilangan paksa 1997 hingga 1998, kerusuhan Mei 1998, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, dan lain sebagainya. Padahal pengakuan atas tragedi-tragedi di atas merupakan bagian penting dari perjuangan para korban untuk memperoleh kebenaran, keadilan, dan reparasi.
Jadi, “tone positif” tidak dapat dipahami sebagai pendekatan yang netral. Pendekatan ini beresiko membungkam suara-suara korban: perempuan, kelompok marjinal dan minoritas, serta pihak-pihak lainnya yang dikorbankan demi narasi negara membangun persatuan.
Fadli Zon dan Bayang-bayang Orde Baru
Dalam konteks ini, posisi Fadli Zon perlu dikritisi. Secara simbolik dan historik Fadli memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan Orba. Dalam cuitannya di Twitter (X), tahun 2020, ia menyebutkan bahwa mesin tik yang digunakan Pramoedya Ananta Toer (Pram) untuk menulis di Pulau Buru merupakan pemberian dari Soeharto lewat Pangkopkamtib Jenderal, Soemitro.
Fadli menyatakan bahwa tanpa mesin tik tersebut karya-karya Pram tidak pernah ada. Dan, di situ ada jasa Soeharto terhadap Pram. Cuitan Fadli sangatlah problematik karena itu memang adalah bentuk kewajiban negara kepada warganya. Kenapa harus glorifikasi segala? Seakan-akan Soeharto adalah aktor utama di balik lahirnya karya-karya Pram.
Padahal memberikan mesin tik bagi tahanan politik tanpa proses hukum yang jelas bukanlah bentuk kemurahan hari. Kemudian, dalam wawancara bersama Max Lane, Pram mengatakan bahwa mesin tik yang sampai adalah mesin tik bekas sudah rusak. Selain itu, menurut keterangan cucunya, Angga Okta Rachman, meskipun Pram akhirnya diperbolehkan menulis di Pulau Buru, pemerintah tetap menyita sebagian naskahnya ketika ia dibebaskan (Historia, 2020).
Kalau dikritisi, cuitan Fadli menimbulkan pertanyaan: “Kenapa Fadli Zon sampai sebegitunya untuk menghapus citra negatif Soeharto? Pertanyaan ini bisa dijawab oleh pernyataan dari Fahri Hamzah dalam wawancaranya bersama SINDOnews. Fahri Hamzah mengatakan bahwa pada masa demonstrasi era 1990-an, Fadli berada di barisan pendukung Orde Baru. Bahkan, menurut Fahri kedekatan Fadli dengan Prabowo Subianto sejak masa Orba menunjukan bahwa Fadli memiliki hubungan erat dengan keluarga Cendana (SINDOnews, 2020).
Dari dua sumber di atas, terlihat Fadli Zon bukanlah seorang netral. Relasi-relasi tersebut memperkuat dugaan bahwa proyek penulisan ulang sejarah tidak dapat dilepaskan dari upaya negara untuk menghindari tanggung jawab atas pelanggaran dan tragedi di masa lalu. Dalam konteks “tone positif”, penyusunan ulang sejarah menjadi sarana negara untuk menata ulang memori kolektif publik.
Kalau kalian masih tidak percaya kedekatan Fadli Zon dengan keluarga Cendana, kalian bisa tonton tayangan Youtube Mojok dengan judul “JEJAK FADLI ZON DI SENJAKALA ORDE BARU”.
Tinjauan Konstruksionisme Sosial
Dalam kacamata konstruksionisme sosial, sejarah tidak bisa dianggap sebagai kumpulan fakta objektif yang berdiri sendiri. Ia tidak hadir begitu saja, melainkan dibentuk melalui proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Alfred Schutz menjelaskan bahwa kenyataan yang kita pahami merupakan hasil dari kesepakatan bersama yang lahir melalui interaksi antarindividu (Littlejohn, 1996: 190).
Jørgensen dan Phillips (2002: 5–6) memperkuat hal tersebut dengan menyatakan bahwa semua pengetahuan adalah hasil konstruksi sosial. Dalam konteks sejarah artinya narasi sejarah selalu dipengaruhi oleh siapa yang menceritakannya, dalam situasi apa, dan dengan maksud apa. Pandangan ini menjadi penting dalam menanggapi proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang saat ini tengah berlangsung.
Dalam prosesnya SNI berlangsung secara tertutup, minim pelibatan publik, dan tidak ada ruang debat terbuka. Minimnya partisipasi publik menunjukkan bahwa sejarah dalam proyek ini tidak sedang dikonstruksi bersama masyarakat, melainkan diarahkan dari atas untuk membentuk satu versi narasi tunggal. Sejarah seperti ini bukan hanya tidak demokratis, tapi juga rawan dimanipulasi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Gergen, pengetahuan tidak pernah hadir begitu saja, tetapi selalu dibingkai oleh konteks sosial tertentu. Oleh karena itu, penting untuk kita mengajukan pertanyaan mendasar: siapa yang sedang menulis sejarah, untuk siapa narasi ini disusun, siapa yang diuntungkan dari narasi tersebut? Kalian tahu sendiri kan jawabannya?
Artikel Lainnya
- 
		                      
		                      31710/12/2023
 - 
		                      
		                      76520/12/2022
 - 
		                      
		                      119618/10/2021
 
- 
		                      
		                      
Sri Mulyani dan Akuntabilitas Komunikasi Publik
76425/08/2025 - 
		                      
		                      
Roger Bacon: Sang Pelopor Eksperimen dan Ilmu Pengetahuan Modern
54026/11/2024 - 
		                      
		                      
Sekolah Unggul Garuda: Solusi atau Kebijakan Elitis yang Diskriminatif?
54718/01/2025 
