Teks, Pram dan Republik

Penulis Lepas
Teks, Pram dan Republik 27/01/2025 30 view Budaya Majalah Tempo, 28 Mei 2008

Ricouer sempat bergumam bahwasannya realitas itu bersandar pada teks. Kibaran bendera yang dibelai angin genit, gerombolan pemuda bergunjing menyoal republik ataupun sejumput jarum merajut, semuanya datang dari teks membumbung membenam dalam kesadaran manusia.

Kita menapakan kaki setelah itu beraktivitas dalam realitas republik. Republik Indonesia menyeruak, muncul dan diakui melalui ikhtiar tanpa henti para pemikir Republik. Kita teringat terpancang muka tokoh-tokoh Founding Fathers kita; Sjahrir, Agus salim, Njoto, ataupun Chairil. Mereka muncul menyuluh ide mengenai negara dan kita.

Para pemikir itu tak pernah luput dari teks. Pelbagai gagasan hadir menyaruakan ide memandang republik. Pramoedya Aanta Toer misalnya, Pria berbintang Aquarius itu begitu mencintai Republik. Meskipun acap kali dibalas dengan air tuba. Pram mungkin tak pandai dalam urusan Matematika seperti yang dikisahkan oleh Savitri Scherer. Meski demikian kedekatannya dengan sesosok ibu itu, Pram menjadi pria pemberani dan rekat nasionalisme tanpa balas budi.

Pramoedya menyuguhkan karya. Di mana karya-karyanya memperkaya khasanah kesusastraan kita. Ibunya mengajarkan untuk menjadi Pram. Tidak menekuk yang lemah. Kemudian menegaskan agar setia kepada kebenaran, kejujuran dan keindahan.

Pram terpantik agar menyuguhkan karya-karya yang membikin pembacanya lebih berani. Apa yang Pram rasakan, tersirat dalam karya-karyanya, Pram tak ingin apa yang ia rasakan maupun lihat hanya sebatas renungan tak berujung mengganggu waktu tidurnya. Keluarga Gerilya, Perburuan, Midah dan Gigi Emasnya, Arok Dedes, dan sebagainya.

Sejak dr. Wahidin Soedirohoesodo berinisiatif membincangkan suku atas dominasi penjajah, Boedi Oetomo yang dibikin dengan rekan-rekannya menyaut dan menyalakan ekspresi perlawanan. Mereka menegaskan bahwa dirinya mampu untuk memegang kendali, menentukan masa depan sesuai dengan inisiatifnya sendiri.

Majalah Tempo (25 Mei 2008) sempat merayakan seratus tahun kebangkitan nasional. Dari pelosok republik, anak-anak bangsa bergumam menyoal kebebasan dan secarik ide tentang negara, rakyat dan kuasa. Aras perjuangan bangsa nan panjang itu, Tempo merekamnya dari sisi teks melalui media perbukuan. Seratus buku pilihan Tempo terpampang dalam edisi tersebut.

Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Njoto, Hamka, Mas Marcokartodikromo, Hatta, Soekarno, dan sebagainya. Setiap tokoh dibahas dalam satu lembar. Menariknya, Pram dibahas sebanyak dua kali yang di mana dibahas oleh sastrawan pentolan pula. Eka Kurniawan dan J.J Rizal berkesempatan menulis dalam momen tersebut. Mereka membahas karya yang pernah digubah Pram.

J.J Rizal dengan Di Tepi Kali Bekasi. Eka Kurniawan membas Tetralogi Pulau Buru. Di Tepi Kali Bekasi (1951) sejumput kisah tentang sikap. Latar waktu pada medio revolusi, menampilkan silang-sengkarut bagaimana telaah menyoal revolusi itu berimbas pada pertikaian ide. J.J Rizal menulis dengan menggebu-gebu, penuh letupan.

“Revolusi itu persis orang membakar sampah. Ia bukan sekedar membuang, melemparkan dan menabun yang kotor juga tak berguna. Ia melapangkan membawa hawa bebas. Membakar sampah mengingatkan saya pada revolusi.” Rizal mengutip kegemaran Pram membakar sampah. Sampah yang mengepul asap sangit dan memedihkan mata, merenungkan Pram atas masa silam nan kelam.

Di sela-sela ‘Revolusi’, malapetaka sempat menghinggapi Pram. Perseteruan acap kali tak dapat dipungkiri. Pram sempat akrab dan rekat tatkala menjadi bagian gelanggang. Perdebatan sengit sarat akan muatan ideologis menjuntal. Pram alhasil muram, memukul genderang dan memilih jalannya sendiri termasuk perihal kesusastraannya.

Polemik itu menampilkan wajah Pram sebenarnya. Naas, persinggungan pelik itu membawa Pram ke dalam kurungan. Karya-karyanya berbicara, begitupun jua gumaman Pram menyoal ‘Sampah’ nan membekas sampai liang kubur.

Farid tokoh utama dalam novel Di Tepi Kali Bekasi (1951) disampaikan Rizal secara teliti. Farid yang nasionalis, tak mau kompromi dengan penjajah. Berkompromi dengan penjajah di saat gegap gempita pembebasan mengusik nuraninya. Mempertegas Farid untuk lantang menyikapinya.

Farid menyingsingkan lengannya siap mendamprat siapapun yang berkhianat. Meskipun yang menghalangi itu sanak familinya sendiri. Rizal menyiratkan ingatan Pram dengan medio revolusi yang membikin pram harus menggegat gigi.

Eka Kurniawan menyuguhkan resensi mengenai Tetralogi Pulau Buru. Ia membahas dengan menekankan Tirto Adhi Soerjo. Mafhum, Tirto dikenal sebagai perintis surat kabar nasional. Dari kisah Tetralogi Pulau Buru, Pram menilai Tirto layak sebagai pemantik tentang ‘Nasionalisme Indonesia’.

Kepiawaian Tirto dalam menata kata membikin panjajah memerah kupingnya. Di samping ia menganggap pena sebagai hulu ledak, Tirto menyuluh dan membuka ruang kolektif. Ruang itu bukan untuk menimbulkan martir-martir berujung tergeletak kunarpa-kunarpa. Akan tetapi perlawanan yang disampaikan melalui ide dan gerakan.

Tirto menggalang kesadaran kolektif dengan membikin Serikat Dagang Islam. Kelompok itu mulanya diusulkan dibikin di Jawa bagian barat. Namun, inisiatif itu menghasilkan sambutan menarik dari seorang juragan batik dari Surakarta. Adalah Samanhudi.

Minke menyuluh makna persatuan tak berakhir bahagia. Setelah kesadaran menyeruak pentingnya merdeka di bawah kaki sendiri, Minke dilupakan. Penarasian akan perjuangan untuk hengkang dari penjajah tak luput dari peranan teks. Medan Prijaji yang dibuat oleh Tirto peranannya cukup mahal bagi kemerdekaan.

Syahdan, Tetralogi Pulai Buru melekat di hati pembaca. Tetralogi Pulau Buru yang dibuat dengan sebab-musabab historis mencengangkan itu, mengetuk pembaca lebih dalam merasakan cipratan keberanian di setiap kata yang terangkai rapi.

Eka kurniawan memberikan pengertian, bahwa Tetralogi bikinan Pram baru ditulis dua belas tahun kemudian, setelah terbesit ide dari tahun 1950. Pram sempat mencecap nestapa bui di beberapa waktu. Pada masa Agresi Militer Belanda, Pram digelandang ke dalam penjara karena membawa selebaran gelap; kemudian pada masa Soekarno Pram dibui lantaran karyanya Hoa Kiau di Indonesia di mana Pram memasang badan untuk etnis China.

Pada 1969 Pram digelandang ke Pulau Buru. Dasawarsa setelahnya Pram keluar dari penjara. Pram terbetik bagaimana ia diperlakukan oleh nation yang ia cintai itu. Di pulau itu ia menulis. Meskipun sebelumnya ditolak oleh para sipir. Gubahan Pram itu kini ada di hadapadan kita menyuguhkan bagaimana realitas historis sarat pengorbanan dan risiko. Pram hingga kini masih hidup. Pram tersemat di setiap karya-karyanya yang setia menyuluh nasionalisme.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya