Donald Trump Ditembak, “Amerika” Melawan

Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
Donald Trump Ditembak, “Amerika” Melawan 19/07/2024 212 view Politik CNN.com

Tembakan Thomas Matthew Crooks mengarah ke Donald Trump dan dunia dibuat geger kemudian. Peristiwa yang terjadi di Butler, Pennsylvania itu menjadi momen yang sangat krusial. Penembakan ini bukan saja menjadi penembakan kedelapan dalam konteks kepresidenan Amerika, namun juga menambah panjang daftar kekerasan dalam politik Amerika. Masih segar dalam ingatan bagaimana publik Amerika pendukung Trump menyerbu Capitol Hill karena tidak dapat menerima hasil pilpres tahun 2020.

Trump masih selamat dalam insiden penembakan di Pennsylvania, meninggalkan luka di telinga dan beberapa korban lain dalam forum tersebut. Peristiwa ini menjadi heboh karena terpampang jelas di layar kaca hingga dapat disaksikan semua orang dari berbagai penjuru dunia. Insiden ini mendorong para pemimpin dunia memberikan perhatian dan empati.

Para pemimpin dunia, mulai dari Xi Jinping hingga Abdul Fattah As-Sisi, mengecam penembakan tersebut dan mendoakan yang terbaik untuk keselamatan dan keamanan Trump dan rakyat Amerika. Demikian juga dengan Joe Biden, kandidat presiden dari Partai Demokrat, yang menyampaikan empati dan dukunganya pada Trump.

Selang sehari setelah penembakan, Trump mengumumkan dia akan berangkat ke Wisconsin untuk mengikuti konvensi nasional Partai Republik. Ini menunjukkan semangat yang diusungnya untuk tetap kuat dan menyeru warga Amerika untuk “bersatu”. Kuat dan trengginasnya Trump selepas insiden penembakan merupakan pukulan tersendiri untuk Biden yang dianggap telah uzur dan bermasalah dengan kebugaran dan kesehatannya.

Keterbelahan Politik

Seruan untuk bersatu menjadi relevan digaungkan karena polarisasi yang tumbuh dan berkembang semenjak beberapa tahun terakhir. Sejak 2008, saat Barack Obama berada di tampuk kekuasaannya, warga Amerika terpecah kepada situasi segregratif demokrat yang makin liberal dan republik yang kian konservatif. Mereka terbelah kepada pemihakan masing-masing terhadap isu-isu pengendalian senjata, imigrasi, hak aborsi, hak komunitas gay, dan nasib minoritas di AS semisal warga muslim dan Afro-Amerika.

Publik Amerika juga terbelah karena faktor media massa dan media sosial. Kecenderungan politik yang ditunjukkan media massa disajikan tanpa tedeng aling-aling. Media-media besar seperti CNN, FOX, dan media lainnya tidak segan menyuarakan afiliasi politik mereka. Di tengah situasi tersebut, media sosial juga tidak kalah nyaring mengamplifikasi keterbelahan politik, berebut ruang sosial tanpa wasit.

Dapat dipastikan, penembakan ini akan memicu perdebatan sengit warga Amerika. Dari “sebelah” kanan akan bersuara bahwa peristiwa ini sudah terencana dengan matang dan terstruktur. Sementara itu, mereka yang kekiri-kirian akan menilai peristiwa maut ini hanyalah gimik politik belaka. Dalam konteks pemilihan Presiden Amerika, negara pengekspor demokrasi utama, besar kemungkinan perdebatan akan dihiasi bermacam teori konspirasi. Hal demikian menjadi mungkin karena Amerika adalah pendulum kepentingan ekonomi dan politik dunia.

Untuk sementara, percobaan pembunuhan calon Presiden Amerika ini juga akan efektif meminggirkan isu-isu penting Amerika. Beragam isu nasional yang mulai hangat dibahas dan menjadi pokok perhatian kampanye akan memudar sementara, berganti isu penembakan dengan semua spekulasi di baliknya. Donald John Trump adalah Donald John Trump yang padanya melekat segala atribusi yang dibangunnya sendiri. Dalam Donald Trump, The Making of Donald Trump and The Breaking of America (2022), Maggie Haberman menggambarkan sosok Trump yang enigmatik, mampu melahirkan hal-hal besar sekaligus memantik perhatian bersama.

Gimik Politik

Jurnalis The New York Times tersebut melansir setidaknya delapan langkah kontroversial Trump, mulai dari wacana memecat Ivanka Trump dan Jared Kushner dari jabatannya di Gedung Putih hingga kecenderungannya bersikap rasial pada staf Gedung Putih dengan menyebutnnya sebagai pembantu. Buku yang berasal dari wawancara mendalam terhadap 200 orang dan beberapa kali dengan Trump ini ditolak keabsahannya oleh Trump dan menyebutnya sebagai fitnah tidak bertangung jawab.

Poinnya, Haberman mampu menghadirkan sosok Trump yang sangat percaya diri dan cenderung abai pada tatanan. Trump sangat percaya diri dengan langkah politik yang ditempuhnya, dan pada saat yang bersamaan Trump memilih jalan yang diyakininya sendiri, meski cenderung memantik kontroversi.

Dalam batas pengabaian ini, menarik untuk melihat ekspresi Trump saat penembakan berlangsung. Dengan wajah berdarah-darah karena luka penembakan dan dalam dekapan Secret Services, ia masih sempat mengepalkan tangan dan menyuarakan semangat perlawanan, ”fight” adalah kata yang terucap darinya.

Dus, bisa jadi, kata “fight” akan menjadi gimik politik yang dipakainya ke depan menuju kontestasi pilpres Amerika. Trump memang belum secara resmi diumumkan sebagai calon presiden dari Partai Republik, namun momen penembakan di Butler dan enigma kepalan tangan dengan wajah berdarah-darahnya sudah berupa kemenangan menjadi Presiden Amerika bagi para pendukungnya.

Trump memompa dan menyuarakan perlawanan terhadap berbagai hal negatif yang diarahkan padanya. Nyaris saja jalan pencalonan presidennya mati dini karena upaya hukum yang diarahkan padanya. Ia bisa jadi calon Presiden Amerika pertama yang masuk bui karena berbagai tuduhan yang dikenakan padanya. Namun demikian, citranya sebagai orang yang terus diserang dan dizalimi oleh musuh politiknya akan makin kuat tertanam dan peristiwa penembakan di Butler menjadi pemuncaknya.

“Tembakan” pada Biden

Serangan pada Trump sesungguhnya dapat dibaca sebagai serangan pada Biden. Serangan tersebut dapat dimanfaatkan Partai Republik yang dapat dengan segera membungkam kritik yang diarahkan pada mereka. Apapun motif yang melandasi Thomas Crooks untuk menembak Trump, publik kadung melihat Trump sebagai korban atas inisiatif brutal lawan politiknya.

Kondisi demikian dapat melemahkan posisi politik Biden terutama dalam jabatannya sebagai Presiden Amerika yang harus mampu menjamin keamanan semua warganya, termasuk Trump. Saat bersamaan, Partai Republik segera membersihkan noda politik yang diarahkan ada Trump dan mengkapitalisasinya sebagai korban yang dengan sendirinya harus mendapat simpati.

US Secret Service tentu menjadi pihak berikut yang patut disorot. Kemampuan menjamin keamanan untuk figur VVIP mendapat pertanyaan serius dengan peristiwa penembakan ini. Berbagai fakta terkait penambakan tersebut sejauh ini mengerucut pada kondisi di mana aksi penembakan dilakukan dalam jarak aman yang bisa dikuasai.

Terdapat kondisi yang berbeda antara pengamanan Presiden Amerika dan calon Presiden Amerika. Protokol keamanan bagi Trump tentu berbeda dengan Biden. Namun begitu, celah yang mampu dieksploitasi penembak ini terang akan menjadi fokus perhatian aparat keamanan setempat.

Amerika adalah negara yang mengampanyekan demokrasi dengan dukungan perangkat canggihnya di berbagai bidang. Peristiwa penembakan pada calon presiden merupakan tamparan keras bagi faktor keamanan yang harus ditegakkan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya