Diskursus Lockdown di Tengah Pandemi Covid-19
Tampilnya virus corona atau covid-19 rupanya melahirkan sejumlah pandangan kritis akan sebab-musababnya, statusnya saat ini, daya-upaya penanggulangan, maupun pencegahannya. Hal tersebut, memang mesti dilakukan dan memang haruslah ada, di tengah situasi simpang-siur informasi tentang keberadaan covid-19. Sehingga, kita tak hanya percaya pada satu pendapat yang bisa saja membangun ego yang cukup ketat dan berlebihan.
Ego yang berlebihan pada setiap opini yang diutarakan, dapat saja melahirkan perspektif pertimbangan benar-salah bagi pihak yang menjadi acceptor informasi. Bahwasannya, orang akan menliai dan menilik apakah informasi yang diutarakan benar ataukah hanya akal-akalan semata. Orang akan bingung, tak dapat membedakan, bahkan bisa saja orang menolak keberadaan informasi yang disampaikan.
Untuk itu, diskursus yang kritis sekaligus praktis guna mencapai konsensus, sebagaimana disampaikan filsuf Habermas, amatlah baik bagi pembahasan sebuah problem dalam lingkup ruang publik - kehidupan bermasyarakat. Apalagi bila diskursus tersebut, mencuat pula dalam konteks adanya usaha untuk menangkal pandemi covid-19.
Kita dapat melirik diskursus kritis dan praktis tersebut, dalam tema lockdown yang menjadi sebuah ulasan menarik akhir-akhir ini. Sebuah diskursus yang menyajikan benteng argumen yang sama-sama kuat diperhadapkan. Harapannya, konsensus sebagai akhir dari perang argumen dalam ruang publik, kehidupan masyarakat, menjadi pencapaian yang haruslah diperjuangkan
Lockdown sebagai sebuah term yang berkembang seiring dengan meluasnya keberadaan covid-19, dipahami sebagai tindak mengunci masuk-keluar suatu wilayah/daerah/negara. Dalam pemahaman Undang-undang Nomor 20 tahun 2018, tentang Karantina Kesehatan, term lockdown menurut Menteri dalam Negeri, Tito Karnavian memiliki kemiripan dalam pemahamannya. Ia menyebut secara terperinci dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang menyebutkan empat jenis pembatasan. Bahwasannya, pemahaman tentang lockdown masuk dalam jenis pembatasan yang ketiga, terkait karantina wilayah (Tempo.Co, 19 Maret 2020).
Diskursus lockdown mengemuka dalam berbagai cara dan tindak yang ditampilkan oleh sejumlah kalangan di negeri ini. Berbagai media massa menampilkan realitas tersebut. Termotivasi dengan tindakan sejumlah negara yang telah melakukan lockdown (Malaysia, Spanyol, Italia, Perancis, Denmark, Irlandia, Belanda, dan Belgia), dibayangi dengan sedikit anxiety effect akibat pandemi covid-19; membuat publik Indonesia semakin berani, tampil mengemukakan kesan, usul, saran, tanggapan atas setiap kebijakan diberlakukan lokcdown atau tidak, di wilayah Indonesia.
Semakin memanas dalam diskursus ini, tatkala Bapak Presiden kita, menelurkan pendapatnya tentang lockdown dalam konferensi pers di Istana Bogor pada 16 Maret 2020. Beliau mengemukakan akan pentingnya social distancing dalam menghadapi persebaran virus covid-19.
Ada dua aspek yang sekurang-kurangnya menjadi titik tolak pro-kontra diskursus perlu atau tidak perlu diberlakukan lockdown. Pertama, aspek pertimbangan ekonomi. Pemberlakuan lockdown dapat menurunkan kinerja pemerintah ataupun masyarakat Indonesia sendiri dalam meningkatkan ataupun memenuhi kebutuhan perekonomiannya. Pemerintah pastinya akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memikirkan penyediaan logistik bagi setiap wilayah di negeri ini. Kebijakan yang demikian, pastinya tidak mungkin dijalankan tanpa adanya persiapan-persiapan yang tentu saja, haruslah efektif dijalankan.
Bagi kehidupan masyarakat Indonesia sendiri, apabila lockdown diberlakukan tentu saja akan sangatlah berbahaya bagi kebanyakan masyarakat yang kemampuan dan kehidupan ekonominya yang boleh kita sebut ada pada tingkat “biasa-biasa saja”. Masyarakat yang hidup pada taraf ekonomi yang demikian, biasanya menggantungkan hidupnya dari aktivitas kerja harian. Tentu saja, apabila lockdown diberlakukan, maka sangatlah sulit bagi masyarakat kelas ini untuk mengusahakan hidup perekonomian bagi dirinya serta keluarganya.
Kedua, mereka yang mendukung diberlakukannya lockdown, mempertimbangkan banyak dari masyarakat Indonesia yang mulai ada dalam status ODP (Orang dalam Pemantauan), PDP (Pasien dalam Pengawasan), Suspect, atau pun positif terjangkit covid-19. Bagi kaum pro-lockdown, adanya pertimbangan tersebut, semestinya telah membangun kesadaran bagi pihak pemerintah untuk segera melakukan lockdown di wilayah Indonesia, guna menurunkan angka korban covid-19.
Melihat dua pertimbangan tersebut, rasanya akan lebih baik bila publik Indonesia mesti mencermati secara jeli makna dan motivasi dasar dari setiap pertimbangan yang dikemukakan, sehingga tak salah kaprah dalam menciptakan argumen pro-kontra dalam menilik keberadaan lockdown. Patutlah kita mengapresiasi hadirnya dua pertimbangan dalam diskursus lockdown di atas. Dua pertimbangan yang sama-sama punya alasan yang esensial dan cukup mendesak untuk disetujui.
Kita juga dapat melihat kebijakan Jokowi, yang belum memberlakukan kebijakan lockdown di negeri kita ini, sebagai sebuah jawaban yang menarik atas diskursus tersebut. Kebijakan Jokowi yang belum memberlakukan lockdown, bukan serta merta meniadakan akan keberadaannya di wilayah Indonesia. Sebab, kita mesti menilik adanya aspek pertimbangan yang hati-hati, rasional, terukur, yang menjadi aspek yang sangat penting dalam setiap kebijakan yang ditampilkan di wilayah kepemerintahan.
Di tempat lain, barangkali sisi persiapan mendapat tempat dalam kebijakan Jokowi, sehingga tidak timbul efek kebijakan yang “kejut” semata, sebagaimana diujar Fadjroel Djaman, juru bicara presiden (CNN, 18 Maret 2020). Kebijakan pemerintah yang kejut semata, akan mencederai kebijakan itu sendiri dalam cara pandang publik, yang dapat pula menciptakan ruang korban bagi masyarakat sendiri.
Kita tinggal berharap, apabila kebijakan lockdown diambil, maka haruslah menyertakan motivasi dengan konsensus yang turut mempertimbangakan dua aspek penting dalam diskursus lockdown di atas. Sehingga, dalam pertanggungjawabannya dapatlah rasional di mata publik.
Artikel Lainnya
-
191918/11/2020
-
13122/06/2025
-
82617/02/2022
