Dinamika Perang Sipil Tanpa Pertumpahan Darah di Negeri Demokrasi

Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM dan Kabid PA HMI Cabang Bulaksumur Sleman
Dinamika Perang Sipil Tanpa Pertumpahan Darah di Negeri Demokrasi 21/09/2023 558 view Politik www.aa.com.tr

Demokrasi merupakan salah satu pemerintahan paling modern yang dianggap efektif oleh beberapa negara di dunia. Salah satu yang menjadi topik perhatian dalam demokrasi ialah kebebasan individu yang terjamin oleh negara.

Selain itu, demokrasi juga memiliki sisi-sisi sensitif, di mana demokrasi tidak bisa mengayomi seluruh kebebasan seorang individu. Dengan adanya hakikat kebebasan manusia yang terayomi oleh otoritas negara, demokrasi kerap menjadi sebuah paradigma bagi seluruh warga negara yang terlibat.

Dalam buku Democracy and Moral Conflict karya Robert B. Talise dijelaskan bahwasanya, demokrasi merupakan perang sipil tanpa pertumpahan darah. Hal ini dikarenakan masyarakat akan selalu mengklaim dirinya bebas berpendapat. Namun, dalam kebebasan berpendapat itu masyarakat kerap meninggalkan sisi-sisi pluralitas atas perbedaan yang ada.

Terkadang demokrasi diasumsikan sebagai negara yang bebas mengakui individu berpendapat tapi tidak dengan perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan masyarakat kerap menjadikan kebebasan berpendapat ini sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni dalam demokrasi ini dianggap sebagai penyatuan prinsip pada satu konsep yang sama walaupun cara berpikirnya berbeda. Adanya argumen paradigma tersebut, Robert pun mencetuskan bahwa, demokrasi merupakan perang sipil tanpa pertumpahan darah.

Refleksi Perang Sipil Tanpa Pertumpahan Darah Pada Demokrasi di Amerika Serikat

Refleksi demokrasi sebagai perang sipil ialah bentuk perdebatan antar golongan yang memiliki kepentingan untuk membela hak moral individu. Sebagai contoh, perdebatan mengenai pemahaman moral terkait aborsi di Amerika Serikat. Pada negara tersebut, sejak tahun 2009 hingga sekarang selalu memperdebatkan hak aborsi. Dalam perdebatan tersebut banyak pihak akan terlibat untuk menyuarakan pandangan moral tentang aborsi. Bagi segelintir golongan yang mendukung aborsi sepakat dengan adanya aborsi yang dilegalkan oleh hukum. Golongan tersebut sepakat dikarenakan aborsi merupakan hak individu secara moral untuk menentukan keputusan medis.

Golongan yang pro terhadap aborsi menilai lebih baik bayi di dalam kandungan digugurkan atau diaborsi untuk menghindari penyakit menular yang dibawa bayi semenjak dalam kandungan.

Selain itu, tindakan tersebut juga diperkuat untuk menekan pertumbuhan penduduk dan resiko lahirnya bayi dalam keadaan cacat. Bahkan, golongan pro dengan menilai adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni. Maka, keamanan terkait adanya aborsi yang dilegalkan akan terjadi.

Klaim-Klaim tersebut berbanding terbalik dengan golongan yang kontra dengan aborsi. Golongan yang kontra dengan aborsi menganggap aborsi merupakan keputusan yang melawan takdir Tuhan. Hal ini diyakini bahwasanya, setiap orang yang ada di dalam kandungan memiliki hak untuk hidup apapun keadaanya. Walaupun cacat dan membawa penyakit menular, bayi yang lahir layak mendapatkan hidup. Golongan kontra menganggap jika aborsi ini dilegalkan maka, generasi muda akan semakin mudah melakukan hal maksiat.

Logika berpikir yang coba disampaikan ke publik oleh golongan kontra ialah, ketika aborsi dilegalkan maka, generasi muda akan sering melakukan sex bebas dan ini akan menimbulkan tertularnya beragam penyakit.

Selain itu, golongan kontra juga menilai dengan dilegalkannya aborsi dalam hukum, maka akan menumbuhkan bisnis tak moral terkait aborsi. Padangan ini dikarenakan aborsi merupakan keputusan medis yang membutuhkan biaya yang cukup mahal. Oleh karena itu, jika aborsi dilegalkan maka, masyarakat akan mengalami kegagalan moral yang bersamaan.

Melalui perdebatan yang tidak menimbulkan ujung ini, tesis Robert mengenai demokrasi adalah perang sipil tanpa pertumpahan darah dapat dibenarkan. Demokrasi memang tempat berdebat paling baik dan modern dalam menyuarakan sebuah isu.

Sebagai bentuk negara yang berdaulat di tangan rakyat, demokrasi dalam regenerasi penguasanya menggunakan sistem pemilihan umum. Dengan adanya sistem pemilu tersebut, perdebatan mengenai pemilihan umum akan terjadi. Dengan adanya pemilihan umum, demokrasi bukan hanya sebagai tempat perang sipil tanpa pertumpahan darah. Melainkan demokrasi adalah perang bakal calon penguasa untuk mendapatkan kekuasaan tanpa perlu melibatkan kekerasan.

Refleksi Perang Sipil Tanpa Pertumpahan Darah Dalam Konteks Pemilu

Pemilihan umum dalam demokrasi merupakan puncak utama dari perang sipil tanpa pertumpahan darah. Hal ini bakal terjadi dikarenakan beragam isu yang telah lama hilang akan diangkat kembali untuk menurunkan kepercayaan calon penguasa.

Selain itu, menjelang pemilihan umum dalam negara demokrasi juga terjadi pembunuhan karakter kepada orang yang telah banyak bersuara untuk mengkritik negara. Adapun argumen tersebut dapat direfleksikan dengan kondisi politik di Indonesia ini.

Menjelang pemilihan umum 2024, dinamika masyarakat sedang mulai memanas untuk mempersiapkan argumen terbaik dalam perang sipil. Selain itu, dalam berbagai informasi yang tersebar di media berita, bakal calon presiden pun diumumkan ke publik untuk menarik atensi publik.

Dengan adanya pengumuman resmi terkait bakal calon presiden tersebut, masyarakat mulai terpecah-pecah untuk menentukan hak dukungnya. Dengan terpecahnya masyarakat ini atas hak dukungan, maka perang sipil tanpa pertumpahan darah pun dimulai. Dinamika menjelang pemilihan umum adalah dinamika yang membicarakan moral. Sebagai contoh, bakal calon presiden yang telah diumumkan ini pun mulai diserang publik atas isu-isu kontroversial yang menimpanya di masa lalu.

Pertama, dimulai dari Ganjar Pranowo yang selalu dilemahkan lewat isu agraria selama menjabat gubernur. Kedua, dilemahkannya Anies Baswedan melalui isu politik identitas. Ketiga, dilemahkannya Prabowo atas isu-isu HAM di masa reformasi. Adanya perdebatan terkait isu yang menyeret bakal calon tersebut merupakan hal yang wajar. Inilah yang disebut sebagai dinamika perang sipil tanpa pertumpahan darah. Perang sipil tanpa pertumpahan darah ini akan terus berkembang dan puncaknya akan berakhir ketika pemilihan umum dimenangkan salah satu pihak.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya