Analisis Semiotik Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Paradigma Islam dan Barat
Seiring berkembangnya zaman, banyak sekali aspek yang juga turut mengalami perubahan secara besar-besaran salah satunya adalah aspek ilmu pengetahuan. Dalam perkembangnya, ilmu pengetahuan menjadi salah satu aspek penting dalam menuntun kehidupan manusia menuju peradaban besar. Perkembangan ilmu pengetahuan juga mengalami peningkatan dan berkembang secara massif di seluruh dunia. Terlebih, pada zaman ini, teknologi yang dibuat oleh manusia mampu memberikan dampak yang positif untuk membantu aktivitas keseharian manusia itu sendiri. Contoh senderhana misalnya, ialah teknologi AI (Artificial Intelligence) atau dalam bahasa Indonesianya disebut dengan kecerdasan buatan. Seperti contoh misalnya rupa.ai, suno.ai, chat-gpt dan mungkin masih banyak lagi dimana itu dikembangkan oleh ummat manusia itu sendiri.
Tenu saja, berkembangnya ilmu pengetahuan juga tidak lepas dari peran manusia yang terus-menerus melakukan riset dan inovasi terhadap kebutuhan yang diinginkan oleh zaman. Contoh sederhananya adalah kebutuhan tentang komunikasi, dimana handphone mengalami peningkatan massif terhadap jumlah kebutuhannya. Pada zaman ini, ilmu pengetahuan sangat penting untuk dikembangkan guna menjadikan sebuah negara tersebut terakreditasi maju dan bertaraf internasional.
Menurut Ki-Seok Kwon salah satu professor dari National University, Korea Selatan menerangkan bahwa salah satu yang menjadi perhatian penting untuk memajukan sebuah bangsa adalah melalui inovasi dan ilmu pengetahuan. Menurut beliau, salah satu dasar dari inovasi adalah teknologi yang terjangkau dan berhasil diaplikasikan di pasar. Tanpa kesuksesan di pasar, teknologi tersebut belum bisa dikategorikan sebagai sebuah inovasi.
Paradigma Islam terhadap Ilmu Pengetahuan
Dewasa ini, perkembangan ilmu telah berada pada kemajuan yang sangat luar biasa dan bisa memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pola kehidupan manusia. Dalam sudut pandang agama Islam, menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di dalam Surah Mujadalah ayat 11, yang artinya: “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Pada dasarnya, adanya ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran secara rasional dan empiris sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Adanya ilmu pengetahuan, membuat manusia bisa mendapatkan wawasan baru melalui proses yang disebut dengan ‘belajar’ untuk mendapatkan sebuah khazanah keilmuan yang luas. Sejak zaman setelah Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam wafat, perkembangan ilmu pengetahuan terus mengalami pertumbuhan. Karena ummat muslim ketika itu banyak sekali bersinggungan dengan peradaban persia dan romawi, dimana tidak bisa dipungkiri bahwa kedua peradaban itu juga turut memberikan warna baru bagi peradaban Islam, sehingga lahirlah banyak ilmu pengetahuan baru seperti filsafat Islam, ilmu mantik, ilmu kalam dan lain sebagainya.
Islam memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu hal yang wajib dipelajari oleh ummat manusia, karena mempelajari suatu ilmu merupakan suatu ibadah yang telah diperintahkan oleh Tuhan dan Nabinya. Namun, harus digarisbawahi adalah ada salah satu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap ummat Islam yaitu tentang ilmu tauhid. Inilah dasar yang membedakan antara paradigma Islam dengan Barat tentang ilmu pengetahuan, bagaimana Islam memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu entitas yang dimiliki dan diciptakan oleh Tuhan untuk kemudian diajarkan kepada hambanya melalui Nabi atau utusan sebagai petunjuk untuk mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Dalam paradigma Islam, ilmu juga merupakan suatu kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh manusia manapun di muka bumi ini. Maka dari itu dalam Islam jika ilmu itu dimiliki tanpa iman maka seperti halnya hewan berjalan tanpa ada kepala.
Bagaimana Barat Memandang Ilmu Pengetahuan
Pada tahun 476-1000 Masehi Barat mengalami zaman kegelapan dengan ditandai berakhirnya peradaban Romawi. Para pakar menganggap bahwa zaman ini dianggap sebagai zaman kegelapan, karena minimnya kemajuan ilmu dan budaya di dalam diri masyarakat. Kemudian pada tahun 1500 Masehi bangsa Barat mengalami kemajuan yang disebut sebagai zaman Renaisans atau peradaban pencerahan. Dibalik itu, zaman modern ini juga terkenal sekali dengan cara berfikir masyarakat yang rasional dan empiris, hal tersebut juga membuat masyarakat berfikir tentang mencari dan menemukan sebuah kebenaran dibalik sebuah makna. Salah satu filosof asal Perancis Rene Descartes, merumuskan sebuah prinsip yang berpusat pada rasionalitas yaitu Cogito Ergo Sum ‘aku berpikir maka aku ada’. Dari adanya prinsip tersebut, Descartes telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria dalam mengukur kebenaran.
Namun, pada akhir tahun 1800 bangsa Barat masuk ke dalam zaman post-modernisme, dimana para saintis ketika sudah tidak lagi yang namanya mencari kebenaran, namun mempertanyakan kebenaran. Salah satu filosof berkebangsaan Jerman Friedrich Wilhelm Nietzsche mengatakan dalam buku The Gay Science bahwa ‘Tuhan Telah Mati’. Alasannya adalah pada waktu itu agama sudah tidak dijadikan lagi sebagai landasan dalam kehidupan, alhasil banyak dari masyarakat ketika itu hidup secara sekuler dan juga banyak gereja-gereja melegalkan perkawinan sesama jenis. Hal ini juga dijelaskan di dalam buku berjudul “Wajah Peradaban Barat” yang ditulis oleh Adian Husaini bahwa bangsa barat telah mengalami kemorosotan di mana gereja-gereja telah jauh dari hukum yang telah diatur oleh Tuhan. Inilah yang menjadi bukti semiotik sederhana bahwa ilmu pengetahuan dalam paradigma barat masih belum menjadikan aspek agama sebagai pondasi dasar bagi mereka dalam mencari ilmu.
Salah satu guru besar asal Malaysia Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga menjelaskan, bahwa salah satu problematika ilmu pengetahuan yang dialami oleh bangsa Barat saat ini adalah para ilmuwan mereka yang cenderung tidak bebas nilai. Semua ilmuan di Barat menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak lepas dari paradigma saintis yang mana masing-masing itu memiliki nilai-nilainya sendiri. Maknanya ialah bahwa kualitas ilmu pengetahuan ditentukan oleh para ilmuan mereka sendiri, di mana jika ilmu pengetahuan itu semakin netral dari agama maka ilmu pengetahuan itu dianggap semakin objektif. Inilah yang menjadi perbedaan antara ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh orang mukmin dan orang-orang di Barat. Di mana keimanan menjadi sesuatu hal yang mendasar bagi kaum muslimin dalam pencariannya mencari sebuah ilmu melalui makna dan bahasa.
Artikel Lainnya
-
28923/10/2023
-
90731/08/2021
-
74004/01/2023
-
Seni Mencintai Ala Erich Fromm
191625/03/2022 -
Pandemi COVID-19 dan Euphoria Epidemiolog Dadakan
139524/03/2020 -
Buku dan Band Penyelamat Anak-Anak
8121/08/2024