Citra Soeharto di Mata Orang Pinggiran

Mahasiswa Terujung
Citra Soeharto di Mata Orang Pinggiran 11/02/2020 1783 view Ekonomi wikimedia.org

Orde Baru (Orba) akan selalu dikenang sebagai salah satu rezim paling kejam dalam sepanjang perjalanan Indonesia berdiri. Tak jarang umpatan, makian dan hinaan selalu beralamat pada Soeharto dan kroninya hingga hari ini. Mungkin jika dikumpulkan dalam bentuk draft, seluruh umpatan terhadap Soeharto bisa dijadikan kitab bagi mereka yang ingin mendalami budaya carut marut di Indonesia.

Bukan cerita semata, faktanya memang demikian. Bagi mereka yang pro akan demokrasi dan kebebasan berpikir dan bertindak, Soeharto adalah Tembok China yang bakal menghalangi lompatan mereka. Di masa akhir jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pun, Ia dapat melenyapkan aktivis dari berbagai daerah hanya dengan senyumannya yang khas.

Sinergi aparat dan Soeharto mengakibatkan banyak nyawa harus melayang sebagai pahlawan atau korban hilang, hingga detik ini tidak jelas di mana pusaranya. Kenangan masa lampau pada masa orba ini merupakan catatan hitam yang penting untuk dikenang dan diingat, supaya bangsa ini tidak lagi terpeleset di lubang yang sama.

Di balik buruknya citra Soeharto di dalam sudut pandang aktivis dan pecinta demokrasi, ternyata di mata orang desa Soeharto adalah pahlawan yang mengangkat derajat mereka pasca runtuhnya ekonomi Indonesia pada masa Paduka Yang Mulia Soekarno.

Suatu fakta yang tidak dapat dinistakan, bahwa Soeharto adalah orang yang paling berjasa memperbaiki situasi ekonomi Indonesia di tengah-tengah badai yang menerjang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena Soekarno meninggalkan kursi istana bukan hanya sebagai tokoh yang tenggelam dalam imajinasinya sendiri, namun juga Indonesia yang pesakitan, tidak saja di mata penduduk lokal tapi juga dunia.

Perbaikan-perbaikan ekonomi mulai dilancarkan oleh Soeharto sebagai pimpinan tertinggi republik, melalui rencana kerja yang dibuat lima tahun sekali (baca: Repelita), sehingga kinerja pembangunan mulai terarah dan terkonsentrasi pada fokus kerja yang telah dianggarkan.

Masyarakat kampung merupakan salah satu golongan yang paling merasakan dampak nyata dari perubahan ekonomi Indonesia pasca ambruknya imajinasi mercusuar Soekarno. Di Sumatera Barat, bahkan beberapa wilayah terpencil di Riau, banyak sekali orang-orang kampung yang bercerita bahwa lebih layak hidup di zaman Soeharto daripada sekarang.

Mulai dari cerita murahnya sembako, lapangan kerja yang memadai, dan sebagainya. Bahkan ada yang menyambung cerita dari kakek ke ibu, ibu ke anak: seperti folklore. Di Sumatera Barat sendiri pada penghujung dekade 80-an, seluruh masyarakat desa yang kurang mampu diberi pilihan material untuk memperbaiki taraf hidup, seperti kolam, mesin bordir dan alat-alat pemotong besi dan las. Di beberapa wilayah di Sumatera Barat, peninggalan material Soeharto tersebut masih dapat kita jumpai, terutama kolam-kolam ikan.

Hal ini dilakukan oleh Soeharto dan abdi negerinya agar masyarakat desa mulai berani berwirausaha. Walaupun terkesan politis dan penuh pencitraan, bukti nyata dari kepedulian Soeharto pada pembangunan desa dapat dilihat pada tahun 80-an dalam acara TVRI “Dari Desa ke Desa” yang memperlihatkan seluruh aktivitas Soeharto di desa.

Harus Adil Sejak Dalam Pikiran

Walaupun para aktivis dan mereka yang teraniaya pada masa orba berkata bahwa pembangunan era Soeharto merupakan jalan licik untuk melegitimasi kekuasaan, tapi dampak yang dirasakan rakyat kecil bukanlah sebuah kejahatan hasil legitimasi kekuasaan Soeharto, bukan?

Kita memang tidak dapat melupakan kesalahan Soeharto, tapi menutup mata dari setiap kebajikan yang ditinggalkan Soeharto merupakan sebuah ketidak-adilan sosial yang paling nyata. Karena seorang intelektual seharusnya telah adil sejak dalam pikiran, kira-kira begitulah ungkapan Pram.

Kenangan masyarakat kampung akan indahnya masa hidup di bawah kekuasaan Soeharto juga bukan sebuah dosa, karena begitulah yang mereka rasakan. Sebab selama ini hukum-hukum dan pembangunan ekonomi lebih banyak dititik beratkan oleh pemerintah pusat di perkotaan, sehingga kampung-kampung mulai ditinggalkan oleh para pemuda untuk mengadu nasib ke kota.

Keberhasilan Soeharto dalam membangun perekonomian di desa pada dekade 80-an, nyatanya telah diwacanakan oleh beberapa presiden untuk kembali dicoba dengan format yang berbeda, namun faktanya tidak juga berhasil. Malah dana-dana yang seharusnya disediakan untuk kemakmuran wilayah tertinggal lari ke kantong perangkat desa. Bisa jadi kasus dana siluman yang viral beberapa waktu lalu juga masuk ke kantong perangkat desa siluman.

Bantuan material untuk masyarakat desa serupa Soeharto pun telah coba dicontoh oleh presiden setelahnya, namun setelah selesai acara serah terima, kabarnya material yang dicanangkan untuk masyarakat desa pun dibungkus dan dimasukkan kembali dalam gudang.

Oleh karena itu wajar saja, kemudian masyarakat desa membanding-bandingkan penguasa yang satu dengan yang lainnya. Dan kenangan indah mereka akan pembangunan ekonomi tertuju pada sosok bapak pembangunan Indonesia, yaitu Soeharto.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya