Cimplo: Tradisi Tolak Bala, Solidaritas Sosial dan Peneguhan Identitas Wilayah
Di Indramayu, Jawa Barat, ada satu tradisi unik yang hanya dilakukan pada bulan Safar (bulan kedua dalam kalender Hijriah, Islam), yaitu tradisi Cimplo. Belum bisa dipastikan sejak kapan tradisi Cimplo ini lahir, namun tradisi ini hingga sekarang terus dilestarikan secara turun menurun oleh masyarakat setempat.
Cimplo sendiri merupakan sejenis makanan tradisional ringan berbentuk kue yang terbuat dari beras, tepung terigu dan ragi instan. Bahan tersebut diadon hingga mengembang, lalu dimasak di wajan bulat. Terdapat gula merah yang direbus hingga mencair dan kelapa yang diparut. Cimplo yang sudah jadi, disajikan dengan gula merah dan parutan kelapa. Cara makannya hanya dengan mencocolkan Cimplo ke dalam gula merah yang telah disediakan.
Umumnya, pembuat Cimplo adalah ibu-ibu, dengan jumlah produksi yang begitu banyak dan tidak untuk dijual, melainkan dibagikan ke tetangga dan saudara. Sebelum dibagikan, Cimplo sudah dikemas dengan plastik atau mika, yang masing-masing berisi 5-8 Cimplo per bungkusnya, beserta gula merah yang sudah dibungkus plastik. Setelah dikemas, Cimplo baru bisa dikirim ke tetangga dan saudara.
Tujuan dibuatnya Cimplo tidak lain sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah Tuhan yang memberi banyak kenikmatan dalam hidup serta sebagai simbol untuk menghindari bala, sebagaimana keyakinan masyarakat Indramayu, bulan Safar merupakan bulan diturunkannya musibah atau bala.
Sebagai sebuah tradisi, pembuatan dan pembagian Cimplo hanya dilakukan di bulan Safar. Di luar bulan Safar Cimplo hampir tidak dibuat secara masal atau dibagikan dengan cuma-cuma. Tradisi pembuatan dan pembagian Cimplo ini dimulai dari tanggal 1 hingga 30 Safar.
Lebih jauh, tradisi Cimplo sebenarnya identik dengan tradisi Rebo Wekasan yang diyakini sebagian masyarakat ihwal datangnya bencana di hari Rabu terakhir bulan Safar. Hal tersebut tidak lepas dari pemaknaan atau pemahaman masyarakat Indramayu terhadap bulan Safar disertai dengan momen penting di dalamnya.
Setidaknya bulan Safar dan penghindaran atas bala menjadi poin penting bagi lestarinya tradisi Cimplo di Indramayu. Pertanyaannya, mengapa media yang digunakan untuk menolak bala di bulan Safar berupa makanan, atau Cimplo itu sendiri, bukan yang lain atau bentuk makanan lain?
Jawabannya, masyarakat Indramayu meyakini bahwa dengan memberi sedekah dalam bentuk makanan akan terhindar dari bala di bulan Safar.
Sebenarnya, makanannya bebas, tidak terkecuali Cimplo. Namun, makanan yang dianggap paling dekat dan bisa merepresentasikan masyarakat Indramayu, mudah dalam pembuatannya, dan dianggap ekonomis ialah Cimplo. Oleh karena itu, wajar apabila Cimplo yang notabenenya kue tradisional menjadi media dalam tradisi tolak bala bagi masyarakat Indramayu.
Pada dasarnya dalam konteks food rituals, makanan seperti Cimplo dapat dianggap sebagai bagian dari ritual untuk menolak bala yang sudah lama ditradisikan oleh masyarakat Indramayu. Bahkan, ritual untuk menolak bala yang dihubungkan dengan makanan, seperti Cimplo, bisa memberi gambaran penting tentang pemahaman masyarakat seputar kesadaran musibah, Tuhan, lingkungan sekitar dan makanan yang dikonsumsi.
Tradisi Cimplo merupakan kebiasaan membuat dan mengirim kue Cimplo ke saudara dan masyarakat sekitar yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu di bulan Safar dengan tujuan untuk menolak bala. Menariknya, tradisi Cimplo bukan hanya sekadar tradisi makanan dan ritus keagamaan atau kebudayaan, melainkan mengantarkan pada satu pemahaman pentingnya solidaritas sosial di masyarakat.
Potret solidaritas sosial ini bisa tergambar dari ibu-ibu yang saling bersatu membantu dalam pembuatan Cimplo, mulai dari mempersiapkan bahan, membuat adonan, merebus gula merah, memarut kelapa, memasukkan ke dalam bungkus, hingga mengirimkan. Saat pendistribusian, hampir tidak memandang kelas sosial-ekonomi, agama, atau jenis kelamin, baik kaya-miskin, Muslim non-Muslim, laki perempuan, seluruh lapisan masyarakat mendapatkan Cimplo.
Bagaimanapun tradisi Cimplo yang tergambar dengan bentuk makanan tradisional merupakan peneguhan atas identitas wilayah (food as identity), khususnya wilayah Indramayu. Peneguhan identitas ini, kerap diafiliasikan pada aspek sejarah, ritual dan kepercayaan, serta tradisi dan sosial masyarakatnya.
Harus diakui pula bahwa tradisi pembuatan dan pengiriman Cimplo ini tidak hanya berlaku di Indramayu, melainkan mencakup wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan). Dengan demikian, ketika mendengar istilah Cimplo, maka tidak lepas dari empat kota tersebut.
Artikel Lainnya
-
157019/04/2020
-
17310/10/2025
-
109405/04/2021
-
Daya Kritis Konsumen Media Online di Tengah Pandemi Covid-19
170531/03/2020 -
179525/10/2021
-
Dunia Pendidikan Kita dan Peperangan Melawan Korupsi
85023/09/2021
