Betapa Belum Menyenangkannya Sistem Pendidikan Kita

Mengapa kekerasan di lembaga pendidikan terjadi?
Terdapat aneka macam analisis untuk menteorisasi pertanyaan di atas. Penulis ajukan salah satu alternatif teori berikut: kekerasan di lembaga pendidikan terjadi karena sistem pendidikan kita tidak pernah berhasil menciptakan suasana saling belajar yang menyenangkan. Namun, mengapa sistem pendidikan kita tak pernah berhasil menciptakan suasana saling belajar yang menyenangkan?
Pada mulanya, Negara ini dibentuk untuk antara lain "mencerdaskan kehidupan bangsa." Dengan kata lain, bikin cerdas anak bangsa adalah salah satu tujuan pendirian Negara Indonesia.
Para "founding fathers" mengimpikan suatu Tanah Air yang bebas dari penindasan kolonial dan kapital dengan barisan anak-anak bangsa yang cerdas cendikia. "Beri aku 10 pemuda, maka niscaya akan kuguncang dunia," demikian salah satu mimpi Sukarno. Impian ini tentu bertolak dari refleksi bahwa kolonialisme dan kapitalisme memperbodoh rakyat, terutama rakyat kelas pekerja.
Multatuli menulis "Max Havelaar" untuk menyadarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan masyarakat global bahwa ada penindasan terhadap jutaan penduduk Pribumi. Kartini menulis "Habis Gelap, Terbitlah Terang" untuk menyadarkan segenap pembaca bahwa kebodohan merupakan undangan tak tertulis bagi terbitnya kolonialisme, merekahnya feodalisme, dan menyingsingnya fajar kapitalisme.
Namun, dalam sejarah perjalanan sebagai sebuah bangsa yang merdeka, tak pernah ada kata sepakat mengenai sistem pendidikan yang pas untuk mencerdaskan anak bangsa.
Ki Hajar Dewantara hanya memberi kisi-kisi berupa visi pendidikan Taman Siswa "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Rumus sederhana "di depan jadi panutan, di tengah jadi pembimbing, di belakang jadi pemberi semangat atau dorongan" tak selalu mudah diterjemahkan menjadi sebuah sistem pendidikan yang menyenangkan.
Akan tetapi, pertanyaannya balik lagi, mengapa Indonesia paska kemerdekaan tetap tak sanggup menghasilkan sistem pendidikan yang menyenangkan?
Di Eropa, J.J. Rousseau memberi saran agar pendidikan dijalankan senatural mungkin. "Back to nature" menjadi slogan bagi model pendidikan yang membiarkan para peserta didik belajar langsung di dan dari alam.
Filsafat pendidikan Rousseau bertolak dari asumsi filosofis bahwa seorang anak manusia lahir putih bersih tanpa cela, tetapi kemudian struktur sosial kemasyarakatan yang bobrok menodai kesuciannya. Pergi ke alam untuk belajar langsung dari sana jadi semacam terapi alamiah untuk "menarik keluar" berbagai macam potensi si anak.
Barangkali, sistem pendidikan kita tak sanggup menciptakan suasana saling belajar yang menyenangkan karena sistem pendidikan warisan era kolonial ini tunduk di bawah logika kapitalisme yang sejak awal mau dilawan habis-habisan oleh para founding fathers.
Logika kapitalisme menekankan kompetisi, efisiensi, dan persaingan bebas. Di dalam tuntutan logika kapitalisme, semua peserta didik dituntut berprestasi dengan meminimalisasi kemungkinan untuk berbuat salah. Barangsiapa paling banyak berbuat salah dia akan harus siap dihantam dengan aneka sanksi: rapor merah sampai korban bullying.
Dalam situasi demikian, siswa dengan tingkat berbuat salah paling kecil akan keluar sebagai siswa unggul dengan penghargaan yang setimpal. Sementara itu, siswa dengan tingkat berbuat salah paling besar akan keluar sebagai pecundang.
Pola pendidikan seperti ini bertentangan dengan kehidupan sehari-hari yang selalu ditandai dengan keserbasalahan dan/atau kegagalan.
Dalam dunia nyata, kesalahan atau kegagalan adalah prasyarat kesuksesan. Seseorang mesti salah atau gagal berulang kali untuk meraih kesuksesan. Dalam pola pendidikan dewasa ini, kesalahan atau kegagalan dalam sekolah justru dianggap sebagai aib. Anak-anak kemudian menjadi takut untuk berbuat salah.
Soal-soal tersebut di atas adalah fenomena permukaan dari gunung es persoalan berkuasanya kapital dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dalam segala lini, ongkos pendidikan yang berkualitas membutuhkan kapital yang besar. Semakin berkualitas pendidikan semakin banyak kapital dibutuhkan.
Sebaliknya, semakin kecil kapital, semakin menurun pula kualitas pendidikannya. Konsekuensinya, pendidikan yang berkualitas hanya bisa diakses oleh kelas kapitalis yang punya alat-alat produksi. Kelas proletar yang tidak punya alat-alat produksi hanya sanggup mengakses pendidikan berkualitas rendah.
Dengan sistem pendidikan kapitalistis yang menekankan persaingan bebas, anak-anak dari kalangan proletar akan selalu rawan menjadi korban kekerasan atau bullying. Mereka rentan menjadi korban kekerasan karena posisi tawar yang lemah sebagai konsekuensi logis ketidakpunyaan alat-alat produksi.
Pada akhirnya, memikirkan cara mencegah berbagai kasus kekerasan membawa kita pada persoalan ketimpangan penguasaan alat-alat produksi di tengah masyarakat. Dengan kata lain, basis produksi menentukan kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Semakin seseorang tidak memiliki alat produksi, semakin ia rawan menjadi korban kekerasan. Barangkali, itulah rumus dasar hubungan antara ekonomi dan kekerasan.
Kondisi sistem pendidikan yang kapitalistik diperparah dengan absennya Negara dalam mengadministrasikan keadilan sosial, terutama dalam bidang pendidikan.
Negara sibuk membangun infrastruktur fisik, tetapi lupa mengurus sumber daya manusia putra-putri bangsa, khususnya dari kalangan proletar. Beasiswa pendidikan yang difasilitasi Negara acapkali tak menyasar anak-anak dari kalangan proletar. Alhasil, alih-alih menyelenggarakan keadilan sosial, beasiswa pendidikan malah mereproduksi ketimpangan ekonomi politik di tengah masyarakat.
Dengan uraian panjang lebar tentang betapa belum menyenangkannya proses saling belajar di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, kita mau agar Negara memfasilitasi terciptanya sistem pendidikan yang menyenangkan bagi semua peserta didik dari berbagai lapis kelas sosial.
Bagi anak-anak dari kalangan proletar, Negara mesti tunjukkan perhatian lebih. Beri mereka akses yang mudah kepada pendidikan yang berkualitas. Sebab, anak-anak dari kalangan proletar inilah yang rentan menjadi korban kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan.
Artikel Lainnya
-
338407/05/2020
-
88919/05/2021
-
7016/09/2025
-
Kado Ironi untuk Pejabat Indonesia Jelang Hari Anti Korupsi Sedunia
141809/12/2020 -
Dunia Akademik yang Berundang-undang dan Beretik
80016/01/2024 -
Pudarnya Republikanisme di Indonesia
189004/04/2022