Beas Perelek dan Solusi Ketahanan Pangan di Masa Adaptasi Kebiasaan Baru

Beas Perelek dan Solusi Ketahanan Pangan di Masa Adaptasi Kebiasaan Baru 10/08/2020 1719 view Budaya pixabay.com

Pandemi Covid-19 rupanya membawa dampak yang signifikan terhadap pola perilaku di kalangan masyarakat, banyak hal yang perlahan mulai berubah dari kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya dijalankan dengan segala kebutuhan yang tersedia.

Salah satunya adalah munculnya kekhawatiran masyarakat dunia akan terjadinya krisis pangan global, terlebih ketakukan tersebut semakin membesar tatkala Food and Agriculture Organization of the United Nations atau biasa disingkat FAO mengeluarkan pernyataan akan dampak dari bencana non alam yang menimbulkan krisis pangan yang berkepanjangan.

Dalam pernyataannya FAO menyerukan negara-negara anggota salah satunya Indonesia untuk tetap menjaga rantai pasokan pangan agar bisa meminimalisir terjadinya krisis pangan global.

Kekhawatiran tersebut setidaknya sebuah keresahan yang mendasar, mengingat pandemi Covid-19 membuat beragam sektor lumpuh, terutama perekonomian sebagai basis utama penggenjot bisnis sektor pangan dan pertanian yang kompleks.

Di tengah kepanikan akan munculnya krisis pangan, hingga supermarket-supermarket pernah diserbu oleh masyarakat yang takut kelaparan solusi menarik itu muncul. Sejak gencar-gencarnya perilaku konsumtif yang semakin menggila di kisaran Maret hingga April 2020 lalu, media-media di Indonesia mulai banyak mengulas terkait solusi serta alternatif bagi masyarakat untuk bertahan hidup di tengah wabah yang dianggap berbahaya tersebut, salah satu solusi adalah dengan menggiatkan kembali tradisi kelokalan yang telah punah dimakan zaman.

Beberapa daerah tentunya memiliki beragam tradisi nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun terkait solusi ketahanan pangan tersebut, namun saat ini saya hanya ingin fokus menjabarkan terkait peran budaya Sunda di Jawa Barat terhadap ketahanan pangan dengan beragam tradisinya yang unik dan mudah diaplikasikan.

Salah satu yang saya kira perlu untuk diterapkan kembali di masa sekarang adalah tradisi Beas Perelek. bagi sebagian orang mungkin tradisi tersebut sangatlah asing, mengingat beberapa orang tua ‘modern’ enggan untuk mewariskan tradisi ‘ajaib’ tersebut, atau bahkan cenderung tidak tahu. Mengapa saya katakan ajaib, karena fungsi dari beas perelek adalah fungsi kasih sayang yang disiapkan oleh orang tua Sunda zaman dahulu agar para keluarga dan orang terdekatnya, dalam hal ini tetangga, bisa terbantu dan ikut merasakan makan sama seperti sang pemilik beras.

Lantas bagaimana cara mengaplikasikan beas perelek di masa new normal, adaptasi kebiasaan baru, adaptasi kenormalan baru atau apapun itu namanya. Caranya sebenarnya cukup sederhana, prinsipnya sama seperti kita menabung uang di celengan.

Mula-mula kita sediakan wadah bambu dengan ukuran apapun untuk ditaruh di depan rumah, wadah bambu tersebut nantinya akan digunakan sebagai tempat beras yang bisa kita taruh kapan pun, dan sebanyak apapun.

Ketika kita rutin menyimpan beras, semakin cepat dia akan segera terkumpul. Biasanya bagi masyarakat Sunda zaman dahulu, ketika beras sudah terkumpul maka sang pemilik akan menaruh beras di sebuah ruangan sederhana bernama Leuit.

Leuit sendiri merupakan tempat penyimpanan beras yang terbuat dari kayu atau bambu, sedikit mirip saung atau tempat berteduh di tengah sawah, namun leuit hanya memiliki fungsi ruang sebagai tempat penyimpanan atau penampungan beras.

Yang menarik leuit bisa digunakan ketika masyarakat desa di Jawa Barat mengalami suatu bencana, terutama yang menyangkut tentang krisis pangan. Di saat genting seperti itu, beras yang sudah terkumpul banyak dan bisa dibagikan kepada masyarakat yang benar-benar terdampak akibat bencana tersebut.

Selain itu beras-beras tersebut bisa juga digunakan untuk memasak di dapur umum darurat agar bisa lebih memudahkan nilai gunanya ketika memang sedang sangat dibutuhkan untuk langsung dimakan.

Secara tidak langsung tradisi beas perelek sendiri bisa dijadikan sebagai opsi yang implementatif di saat saat seperti sekarang.

Selain sebagai bentuk ketahanan pangan, beas perelek juga bisa dijadikan sebagai solusi ketahanan ekonomi versi kearifan lokal Sunda, mengapa demikian? Dan Bagaimana caranya?

Sedikit mengutip dari gagasan Dedi Mulyadi (tokoh Sunda Purwakarta) dari laman Kompas, pernah berujar bahwa, selain digunakan untuk keperluan pangan saat bencana, beas perelek yang telah terkumpul di leuit pun bisa dijadikan sebagai solusi ketahanan ekonomi, serta media pembangunan desa.

Ketika beras sudah terkumpul sangat banyak, maka akan memiliki nilai jual yang cukup tinggi di masa krisis maupun bencana, dari situ masyarakat setempat atas kesepakatan bersama bisa menjualnya guna menunjang pembangunan di desa seperti memperbaiki sarana dan prasarana desa (jalan dan irigasi), memperbaiki fasilitas ibadah warga, hingga yang terakhir bisa membantu merenovasi rumah dari warga yang memiliki kekurangan dari segi ekonomi.

Sehingga dalam hal ini beas perelek tidak hanya membantu menjaga ketahanan pangan di masa pandemi Covid-19, tetapi juga bisa dijadikan sebagai medium untuk memperbaiki perekonomian desa hingga warga melalui kearifan lokal Sunda.

Dalam hal ini saya belajar bahwa budaya serta kearifan lokal Sunda bisa bersaing dan tentunya bermanfaat baik di Indonesia maupun di mata dunia, tatkala bencana datang seperti masa pandemi Covid-19 saat sekarang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya