Meniti Jalan Profetik Menerabas Jalan Menuju Kemuliaan

-
Meniti Jalan Profetik Menerabas Jalan Menuju Kemuliaan 04/05/2024 335 view Agama sumber elKariem

Kaum eksistensialis pada tahun 1940 an telah memperkenalkan istilah ini untuk menunjukkan eksistensi manusia melalui kehendak dirinya. Jean Paul Sartre seorang filsuf eksistensial menganggap manusia tidak dapat terbelenggu dengan sesuatu hal, yang membuat dirinya dapat kehilangan hakikat hidupnya. Manusia dianggap memiliki kebebasan terhadap dirinya (merdeka), untuk menentukan sebuah kebenaran dan berekspresi sesuai kebenaran yang ia yakini tanpa bergantung pada otoritas maupun tradisi.

Sekilas membaca pemikiran kaum eksistensialis akan membawa kita kepada salah satu aliran teologi dalam Islam yang disebut dengan Qadariah. Aliran teologi ini juga beranggapan bahwa segala tindakan atau perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Artinya manusia punya kebebasan untuk menentukan sendiri eksistensinya selama berada di dunia.

Aliran pemikiran Eksistensialis dan Qadariah adalah dua aliran pemikiran yang hadir sebagai anti tesis dari beberapa aliran pemikiran baik barat maupun Islam. Eksistensialis adalah anti tesis dari aliran rasionalisme, sementara Qadariyah adalah anti tesis dari pemikiran Jabariyah. Aliran pemikiran tersebut, sudah lama mengakar di masyarakat dan menjadi sebuah paradigma berpikir dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Merujuk dari kedua aliran pemikiran di atas, dapat kita temukan adanya semangat nilai yang telah diajarkan oleh agama Islam. Habib Ja’far mengatakan identitas seorang muslim adalah melihat kebaikan dan menutup mata terhadap keburukan. Perbedaan terhadap cara pandang akan sesuatu hal adalah sunatullah yang menjadi alat pendewasaan bagi setiap kalangan. Tujuan Allah menciptakan manusia menjadi bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbeda bahasa, berbeda warna kulit adalah agar kita saling mengenal.

Saling mengenal inilah, perlu kita perluas konteksnya. Yaitu mengenal terhadap cara pandang dan pemikiran suatu golongan untuk kemudian mengambil ajaran positifnya dan menjadi laku dalam kehidupan sehari-hari. Kata Quraish Shihab, ketika seseorang menemukan kebenaran, maka itu adalah salah satu kebenaran yang berserakan yang ia dapatkan, masih banyak kebenaran yang berada di tempat lain.

Sehingga kebenaran itu tidak hanya menjadi kebenaran satu golongan atau kelompok, melainkan kebenaran yang absolut hanya milik Tuhan. Jalaludin Rumi mengilustrasikan kebenaran sebuah cermin utuh. Kemudian cermin tersebut pecah berkeping-keping, sehingga datanglah manusia mengambil masing-masing kepingan kebenaran tersebut. Anehnya, kepingen kebenaran yang telah dipegang tersebut, dianggap adalah kebenaran mutlak.

Menuju Kemuliaan

Kepongahan kita mempertahankan sebuah perspektif adalah sebuah jalan menuju kebenaran dan kemuliaan. Itulah mengapa kita tidak boleh memaksakan kebenaran yang kita yakini, untuk dapat menjadi keyakinan kolektif. Sebab jika kita ingin menyeragamkan semuanya, justru kita sedang melawan kehendak Tuhan.

Konsekuensi seorang yang beragama ialah bagaimana menunjukkan eksistesnsinya sebagai manusia beragama. Kehendak beragama ada pada setiap manusia, itulah hakikat hidup seorang manusia. Untuk menjadi eksis tanpa adanya ketergantungan terhadap sesuatu, Tuhan sudah memberikan dua cara.

Pertama ialah manusia untuk eksis maka ia melakukan seruan terhadap perbuatan yang amar ma’ruf, yaitu perbuatan yang mengajak kepada kebaikan. Kedua ialah manusia melakukan tindakan pencegahan terhadap perbuatan nahi munkar, yaitu perbuatan yang sifatnya buruk, merusak ekosistem, menindas.

Dari kedua aspek tersebut, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan baik apa saja, dan melarang atau tidak melakukan perbuatan buruk apa saja. Kehendak inilah yang kemudian tidak boleh diintervensi oleh siapapun, manusia punya kehendak besar untuk melakukan tugas ini, sebagai bagian dari menjaga eksistensi dan hakikat seorang manusia.

Itulah kemuliaan yang besar dilakukan oleh manusia. Menyadari hakikat dirinya sebagai mahkluk terbaik (Q.S. Ali Imran 110) yang menyuarakan dan menebarkan kebaikan pada setiap sendi kehidupan manusia. Kesadaran inilah yang patut dimiliki setiap manusia agar kehidupan ini, harmonis berdasarkan nilai-nilai teologis.

Meraih Kemuliaan

Kemuliaan seseorang tidaklah dipandang dari aspek kehidupan sosialnya. Namun pada aspek spiritual, kemuliaan manusia dilihat dari kemampuannya menjadi sosok manusia yang bermanfaat, taat terhadap jalan yang telah digariskan untuk dilalui (Taqwa).

Dalam ilmu filsafat, kemuliaan tertinggi yang didapatkan seseorang yang berilmu ialah ketika ia mampu menjadi seorang yang bijaksana. Begitupun dalam agama, seorang yang mulia ketika ia mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Dua aspek tersebut, menjadi pondasi dasar dalam menjalankan kehidupan.

Olehnya itu, kehendak bebas dan eksistensi seorang manusia beragama ialah ketika ia mampu menjadi wujud kaki tangan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup untuk disebarluaskan dan menjadi laku kehidupan, tanpa membedakan kelompok dan golongan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya