Bayang-Bayang Golput di Pemilu

Penulis Lepas
Bayang-Bayang Golput di Pemilu 13/04/2023 409 view Politik Koran Tempo

Medio 1971 dan 1982, pekik suara agar mencoblos bagian putih pada kertas pemilu begitu masif. Mereka juga menancapkan segilima bergaris hitam dengan kaver berwarna putih di samping bendera-bendera partai yang menghiasi jalan-jalan kota ketika genderang pemilu akan dihelat.

Ali Murtopo sempat menyebut kelompok itu sebagai bau tak sedap. Adalah Golput. Golput muncul pada pemilu 1971. Keberadaan Golput terbilang begitu nekat, pasalnya mengajak agar tak nyoblos lambang partai di kertas pemilu. Golput benar-benar jadi penyengat rezim penguasa pada waktu itu yang sering mempengaruhi pemilu.

Tempo 13 Maret 1982, dengan judul Sebelum Kampanye Menggebuk Si Putih menyiratkan sebab musabab pergumulan solidaritas golongan putih itu muncul kembali. Penyebabnya ialah rasa muak ketika partai politik tidak dapat bekerja dengan baik sehingga aspirasi politiknya tak dapat dirangkul oleh partai politik. Ibaratkan masuk telinga kanan keluar telinga kiri, begitu kiranya untuk menganalogikan.

Selanjutnya Imam Waluyo waktu itu sebagai koordinator Lembaga Pembangunan Nasional (Lappenas) mengganggap pemilu itu sebagai formalitas semata. Mafhum, dari pelbagai macam warna bendera partai, bisa dipastikan si kuning yang jadi juaranya. Imam Waluyo menghimbau agar siapapun yang merasa seperti yang dirasakanannya, agar mencoblos bagian putih dalam kertas pemilu.

Golput dirundung pro dan kontra. Tarik menarik menyoal kepentingan hingga kritik pedas akan Golongan Putih, disambut dengan tenang oleh Arief Budiman. Feisal Tamin notabene waktu itu sebagai jurubicara Depdagri menyinggung soal Golput. Menurutnya dengan menyoblos bagian putih di kertas pemilu bukanlah hal yang salah, karena itu jadi hak asasi setiap manusia. Permasalahannya ketika mengajak agar berbondong-bondong menyoblos bagian putih pada kertas pemilu.

Tak hanya itu, Feisal Temin juga mengutip hak pilih dalam perspektikf agama. Baginya seorang warga negara yang tak memilih itu kategori seorang yang berbuat dosa. Hal tersebut dikarenakan hak pilih setiap individu berpengaruh terhadap corak aras pembangunan ke depan. Feisal juga menyadur wahyu Qur’an agar tak sembrono menyoblos bagian putih dalam kertas pemilu.

Menyoal politik dan pemilu, sebentar lagi kurang dari satu tahun, kita akan merasakan pesta demokrasi. Beberapa calon legislatif ataupun eksekutif, sudah mulai tercium guna meramaikan pesta politik di tahun 2024. Golongan putih terus membayangi. Mereka menjadi bagian dari skeptisisme atas elite politik yang acap kali jauh dari rakyat.

Buku terbitan Tiara Wacana, dibuat oleh Cheppy Haricahyono dengan judul Ilmu Politik dan Perspektifnya (1981) menjabarkan substansi Partai Politik. Syahdan, partai politik itu, jadi bagian penting dalam demokrasi. Rasa patah hati terhadap partai politik, dipengaruhi oleh beberapa hal termasuk sering kali menyimpangnya substansi partai politik. Termasuk, Arief Budiman dan Imam Waluyo yang sudah terkhianati, sehingga timbulah segilima hitam pertanda Golput.

Edmund Burke dikutip pada buku itu menjabarkan substansi partai politik. Adalah a group of men who had agreed upon a principle by which the national interest might be served. Burke memberitahu kita bahwa partai politik itu harus didasari oleh prinsip mengabdi untuk kepentingan nasional bukan untuk kepentingan kelompok sendiri.

Tempo 10 Februari 2019 mengulas lebih dalam mengapa golput riskan terbentuk di pemilihan umum. Aspek yang menjadi sebab musabab ialah keberadaan partai politik kurang bisa menawarkan solusi atas kuldesak di Indonesia. Walaupun, partai politik sejatinya sebagai ruang untuk menyokong demokrasi, kepiawaian atas kebijakan yang tepat menjadi beban berat atas demokarasi dan tetek bengeknya.

Golput itu sebagai cambuk bagi rezim. Di Era Orde Baru, titik krtik diletakan kepada Golongan Karya yang sering nangkring selalu ikut campur untuk memenangkannya. Hari ini kita dihadapkan oleh konsep populisme baru bagi setiap calon agar menarik hati masyarakat Indonesia. Di samping akses begitu kuat, nila setitik partai politik, akan berimbas kepada kepercayaan. Korupsi, kongkalikong premanisme hingga perspektif moralistik merupakan beberapa contoh penyebab ketidakpercayaan berujung Golput menjamur.

Citra partai politik betul diperhitungkan oleh pemilih. Kendati demikian, keberadaan partai politik itu bukan hanya logo atau tanda semata. Melainkan sebuah pengabdian untuk mengakomodir suara-suara rakyat. Golput sering menghantui Pemilu. Golput akan terus berkembang ketika elite politik acuh atas golongan papa yang perlu diusung.

Walaupun partai politik itu sebagai kunci dari demokrasi, keberadaannya sering membuat bingung rakyat. Majalah Basis Nomor 07-08/62/2013, menyiratkan sebab musabab pemilih kikuk dengan partai politik. B. Herry Juliawan berkontribusi untuk menulis opini tersebut dengan judul Panggung Politik Para Badut dan Monster. Judulnya begitu menohok, namun ada secarik makna bagaimana titik puncak memilih golongan putih itu lahir.

Juliawan mengutip Winters (2011) bahwa penguasaan demokrasi oleh segelintir orang saja dengan sebutan oligarch. 1 Persen orang kaya menguasai 46,6 persen kesejahteraan masyarakat lainnya (Global wealth Report, 2018). Atas landasan itulah menyebabkan boycott atas dominasi satu persen melalui perselingkuhan antara uang dan politik (baca; money politik), yang semakin membuat tak percaya atas kontestasi politik di Indonesia.

Kesadaran akan politik melahirkan telaah masing-masing menyoal kondisi di lapangan. Arief Budiman lain mungkin masih saja hidup sebagai pendulum menyuluh kritik oto kritik atas demokrasi di Indonesia. Menyoblos atau tidak itu hak setiap warga negara, tidak ada asap tanpa api yang melahap. Perlu ada sebuah introspeksi partai politik agar benar-benar berjalan di rel seharusnya sehingga membuat kuat kepercayaan rakyat untuk menyongsong demokrasi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya