Corona Adalah Cermin Mistisnya Negeriku

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Corona Adalah Cermin Mistisnya Negeriku 27/02/2020 1407 view Agama Wikimedia.org

Apabila korban mulai meludahkan darah dan menampakkan gejala radang paru-paru, biasanya ia mati dalam beberapa jam. Demikian kenang Ibnu Batutah, dalam karyanya, Ar-Rihlah. Catatan ini ia sampaikan saat ia memutuskan untuk melihat sendiri wabah penyakit yang sebelumnya ia dengar dari para pelancong saat ia sedang melakukan pertemuan dengan beberapa Ulama di Aleppo.

Ibnu Batutah kemudian melaporkan bahwa terdapat lebih dari 1000 orang meninggal setiap harinya. Pembengkakan yang panas muncul di kaki tangan, disertai mual, sakit di kepala, perut, dan kaki. Korbannya tak bisa tidur dan terus mengigau.

Tulisan Ibnu Batutah ini terjadi pada medio tahun 1340-an. Lebih jauh, masih dalam laporan Ibnu Batutah, desa-desa seperti kota mati. Banyak desa yang tak berpenghuni karena ditinggalkan oleh para penduduknya. Mereka lebih suka pergi ke kota karena di kota mereka lebih mudah untuk mengakses pengobatan.

Laporan yang sama juga ditemukan pada catatan sejarah yang dibuat oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Ross E. Dunn mencatat, setiap harinya, tak kurang dari 2000 orang meninggal dunia dalam kasus wabah penyakit ini.

Sebuah wabah yang tak kalah besar juga pernah terjadi pada 430 SM di Yunani selama perang Peloponnesia. Dalam catatan Robert J. Littman, dalam tiga tahun sebagian besar penduduk terinfeksi, sekitar 75.000 hingga 100.000 orang atau sekitar 25 persen dari populasi kota. Sebab penyakit inilah kemudian Athena kalah oleh Sparta. Tahun 165 M sebuah wabah yang dikenal sebagi Antoninus menyerang masyarakat Eropa. Wabah ini merenggut nyawa sampai lima juta orang.

Satu hal yang sayang untuk diabaikan tentang wabah di Timur Tengah, juga tentang wabah selama perang Peloponnesia, hingga wabah Roma adalah sikap masyarakat dalam masalah penyakit ini. Setiap wabah ini menyebar, isu tentang kemarahan dewa selalu menjadi tema utama.

Dalam keterangan Dunn tentang wabah di Timur Tengah misalnya, dia menyebutkan bahwa setiap kaum agamawan banyak yang menarik penyakit ini ke dalam sudut pandang spiritual. Adanya penyakit ini membuat masyarakat jadi lebih banyak salat dan berdoa.

Di Eropa, orang-orang mengaitkan wabah dengan kematian Marcus Aurelius Antoninus. Karena memang munculnya penyakit ini setelah kematian pangeran Roma itu. Sebuah catatan yang cukup untuk menangkap cara berpikir masyarakat saat itu yang dalam bahasa August Comte disebut sebagai masa mistik-metafisika.

Comte sendiri pernah mencetuskan sebuah teori yang menjadi dasar pemikiran kaum positivistik. Dalam kesimpulannya, Comte menyatakan bahwa manusia itu berangkat dari keadaan (lebih tepatnya) cara berfikir yang mistik-metafisika-positifistik.

Pandangan Comte ini mengandaikan keadaan masyarakat yang semakin tahun semakin baik. Dalam pengandaian Comte, jika pada tahun 1300-an masyarakat masih berpikir mistik dalam menanggapi adanya wabah penyakit, maka pada 2000-an, masih dalam pengandaian Comte, masyarakat akan lebih memakai logikanya dalam memandang keberadaan sebuah wabah penyakit.

Dalam bahasa masyarakat hari ini, pandangan medis akan lebih mendominasi daripada sudut pandang mistis. Sebuah pandangan yang mengaitkan sebuah wabah penyakit dengan kutukan Tuhan.

Gagasan Comte tentang keadaan masyarakat ini kemudian dipertegas oleh Tan Malaka. Bapak Bangsa yang mati dalam keadaan dituduh komunis ini pernah mengajarkan cara berpikir kepada masyarakat Indonesia dalam catatan yang panjang. Ajaran Tan Malaka ini terangkum apik dalam bukunya, Madilog.

Dari judulnya (Materialisme, Dialektika, Logika) jelas, Tan Malaka sedang ingin mengajak masyarakat untuk pergi meninggalkan jiwa tahayul yang bersemayam damai dalam cara berpikir masyarakat Indonesia. Pada saat itu masyarakat Indonesia memang sedang gandrung berpikir mistis. Warisan animisme-dinamisme yang mengakar kuat dalam cara berpikir masyarakat Indonesia. sebuah cara berpikir yang, disebut oleh Tan Malaka sebagai sebab tidak segera majunya peradaban Indonesia.

Tapi sayang, satu abad setelah Tan Malaka merampungkan masterpiece-nya itu, masyarakat Indonesia tak kunjung keluar dari cara berpikir yang mistis. Masyarakat kita sudah terlanjur gandrung dengan cara berpikir yang berbau mistis.

Kasus virus Corona yang heboh akhir-akhir ini adalah tolak ukur sederhananya. Cara pandang yang sifatnya mistis masih saja hadir di tengah-tengah kita. Masyarakat yang katanya berperadaban lebih dari ribuan tahun ini masih terlalu awam untuk diajak berpikir logis.

Pengaitan virus Corona dengan santet dari Indonesia yang sempat menjadi trending topik di tagar twitter beberapa waktu silam adalah wajah mistis negeri ini. Beberapa kaum agamawan juga tak lupa untuk ikut berpartisipasi dalam mewarnai wajah mistis negeri ini dengan menyebut Corona sebagai kutukan Tuhan.

Tanpa bermaksud mengesampingkan Tuhan, tapi cara berpikir yang mengesampingkan rasio ini hanya akan membuat peradaban kita jadi terlihat jauh tertinggal. Di sini terlihat jelaslah apa yang diperjuangkan oleh Tan Malaka. Mengajak masyarakat berpikir kritis serta meninggalkan cara berpikir mistis.

Melihat cara pikir masyarakat Indonesia sekarang ini, ingin rasanya saya mengintip makam Tan Malaka. Kira-kira, di dalam kuburan ia sedang menangis atau tertawa sinis ? Entahlah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya