Agama dan Pengenalan Jati Diri

Redaktur Opini Gebrak Gorontalo
Agama dan Pengenalan Jati Diri 02/08/2020 2356 view Opini Mingguan pixabay.com

Manusia adalah makhluk hidup yang lekat dengan ketamakan diri. Sebab berbeda dengan makhluk lain yang hanya hidup sesuai insting dan fungsinya, kerap kali penguasaan atas sektor politik dan ekonomi menjadi motivasi terbesar manusia dalam menjalani hidup. Bahkan saling berlomba-lomba, menyenggol, bahkan menjatuhkan satu sama, sudah menjadi hal yang lumrah bagi manusia. Mungkin bagi mereka, ketamakan adalah bukti eksistensi diri dan sumber kebahagiaan.

Kalau mau tahu bung, manusia-manusia ini sangatlah haus dengan titel “paling kaya”, “paling tinggi jabatan”, “paling sukses”, dan lain sebagainya. Semua itu, sebut saja sebagai nafsu materialisme, yang mendorong manusia untuk mengejar banyaknya angka pencapaian yang harus diraih selagi masih hidup. Kalau prestasi yang diukir hanya sedikit, manusia yang bersangkutan berarti dinyatakan gagal sebagai anggota masyarakat.

Inilah yang sering tidak diperhatikan oleh manusia; bahwa semakin manusia meningkatkan derajat dirinya, semakin pula dia mendegradasi kedudukan orang atau makhluk lain. Alhasil, relasi akhir yang terbentuk diantara manusia, makhluk hidup, dan alam semesta adalah bak hubungan antara majikan dan budak. Budak hanya dipandang sebagai suatu eksistensi yang lebih inferior, sehingga keberadaannya hanya untuk memuaskan kebutuhan sang majikan.

Akibatnya sebagaimana yang kita lihat, banyak sekali tindakan amoral di negeri ini. Mulai dari tingginya angka korupsi, kesenjangan ekonomi antar lapisan masyarakat, hingga kerusakan lingkungan. Semua ini dikarenakan pola pikir manusia yang mengedepankan pemenuhan nafsu pribadi dan mengejar materialisme.

Tentu tindakan amoral ini menjadi sebuah keironian bagi negeri yang katanya paling religius di dunia. Sebab idealnya, semakin religius suatu bangsa, semakin baik pula etika masyarakatnya dalam bernegara, bersosial, dan berkehidupan. Karena bangsa yang religius mengamini bahwa segala perbuatannya akan dilihat oleh Sang Maha Kuasa dan dipertanggungjawabkan setelah kematian. Sepertinya manusia lupa bahwa agama mengajarkan kita tentang kehadiran manusia di muka bumi hanyalah sebagai pemukim sementara hingga ajal menjemput.

Adapun menurut Aristoteles, setiap benda memiliki materi (matter) sebagai yang digerakkan dan bentuk (form) sebagai penggerak. Adapun manusia adalah benda yang hanya memiliki materi yang utuh namun dengan bentuk seadanya. Dengan demikian sebagai benda material, eksistensi manusia bukanlah tiadaklah di bumi.

Dalam ajaran Jainisme, sebuah agama kuno di India, bentuk, materi, dan hubungan manusia-alam dibedah secara gamblang. Pertama, observan (manusia) adalah entitas yang hakikatnya adalah Jiv (jiwa) atau Jiwas dan objek yang diobservasi adalah materi (pudgal) atau Ajivas. Alam semesta pun sama; eksistensi yang memiliki Jivas adalah jiwa yang hidup dan Ajivas.

Namun yang membedakan manusia dan alam semesta adalah kedudukan, dimana keberadaan manusia hanyalah anggota bahkan serpihan dari alam semesta. Kedudukan yang lebih kecil ini, kemudian menjadikan manusia sebagai mikrokosmos dari makrokosmos. Agar tidak menghancurkan kerapihan tatanan dan struktur makrokosmos, maka mau tak mau manusia perlu menjaga hubungan baiknya dengan alam semesta, manusia, dan anggota kosmos lainnya.

Konsekuensi selanjutnya, manusia akan menyadari hakikat dunia dan relasinya dengan anggota kosmos lainnya. Implikasinya, pemahaman atas struktur alam semesta ini telah mendorong tergeraknya bentuk (form) yang dimiliki manusia. Pemahaman ini pun kemudian menambah keutuhan aspek materi yang dipunyai manusia. Alhasil, manusia akan sangat memahami betul dirinya secara utuh.

Pemahaman atas hal ini akan berpangkal pada pendefinisan ulang manusia terhadap objek-objek di sekitarnya. Sebab, akal sudah mencapai titik pengaminan terhadap bentuk yang melekat pada objek lainnya. Persis betul dengan titik tolak ajaran Jainisme yang menggarisbawahi adanya jiwa dalam diri hewan dan tumbuhan. Ataupun Islam yang kaffah, yang mengedepankan prinsip beragama di segala sektor kehidupan.

Baik itu alam semesta, hewan, dan tumbuhan, manusia akan memperlakukan mereka dengan baik. Hal ini berlaku pula dengan manusia lainnya. Pada tahap selanjutnya, terjadi proses penyucian jiwa manusia. Jiwa yang tadinya kotor dibersihkan sehingga terlepas dari cara berpikir yang sarat dengan materialisme. Sebab manusia yang memahami islam secara kaffah, akan senantiasa mewujudkan rahmatan lil alamin.

Islam sendiri memandang manusia sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi, bukan untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati. Konteks memakmurkan di sini menunjukkan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan tatanan alam dan jumlah makhluk hidup lainnya. Bahkan kalau bisa, manusia terus memperkaya jumlah makhluk hidup lainnya. Jelas hal ini menunjukkan bahwa jati diri manusia adalah mikrokosmos utama yang wajib memakmurkan mikrokosmos lainnya dan makrokosmos.

Inilah agama yang sesungguhnya; membuat manusia untuk mengenal jati diri yang sesungguhnya. Ajaran yang memanusiakan manusia, sehingga manusia akan mengedepankan penegakkan keadilan di muka bumi. Tidak mengeksploitasi manusia lain, makhluk hidup yang berbeda, dan alam semesta untuk kepentingannya sendiri. Namun, berbuat untuk kebahagiaan dan kebaikan bersama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya