Bergosip, Cara Berpolitik Kaum Perempuan
Beberapa hari ini publik khususnya pengguna sosial media tengah ramai memperbincangkan film pendek berjudul "Tilik". Selain keluwesan para pemerannya dalam beradegan, makna yang dihantarkan dari fenomena pergunjingan para emak-emak di atas truk inilah yang menjadikannya viral.
Bergosip atau bergunjing memang bukan milik gender tertentu. Namun, perilaku ini lebih sering dilekatkan pada citra perempuan. Barangkali karena keterbatasan pengalaman penulis saja, yang jarang berkerumun dengan bapak-bapak, membawa pada kesimpulan bahwa alih-alih mencampuri urusan personal orang lain, laki-laki lebih sering membicarakan topik sekitaran pekerjaan, politik, otomotif atau bola.
Lain halnya dengan perempuan. Dalam realitas sehari-hari, manakala makhluk bernama perempuan mulai berkerumun, maka pergunjingan juga hadir dan sulit untuk dihindarkan.
Budaya bergunjing barangkali sudah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat, khususnya pada masyarakat paguyuban atau tradisional. Bagi perkumpulan emak-emak, bergunjing merupakan alat pemecah kekakuan suasana. Sungguh situasi yang dingin manakala ada segerombolan emak-emak berkerumun misalnya arisan, rewang (memasak bersama), pengajian bahkan melayat tapi tak saling berbincang. Sayangnya, ketika sepatah dua patah kalimat pembuka dimulai, tak jarang terpeleset jua pada urusan personal seseorang yang keberadaannya kebetulan tak hadir dalam pergumulan itu.
Meskipun nampaknya lumrah, namun kesan tidak etis tetap berlaku di masyarakat bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Bahkan pemuka agama pun nyaring mengingatkan bahayanya, 'bagaikan memakan bangkai saudara sendiri'.
Namun jika kita cermat menganalisanya, sebagaimana juga tersirat di dalam film Tilik, dibalik kesan buruk yang melekat, terdapat sisi lain yang menarik. Pergunjingan juga memiliki fungsi penting bagi kehidupan politik di aras emak-emak.
Pertama, bergunjing sebagai media mengkritisi permasalahan publik. Dalam masyarakat tradisional, pengambil keputusan umumnya diambil oleh para laki-laki begitupula ketika berpartisipasi di berbagai agenda kampung. Karenanya, ketika para perempuan berkumpul, mereka mendapatkan kesempatan untuk bersuara menyampaikan perspektifnya.
Di forum informal itulah mereka mengumpulkan dan berbagi informasi berkaitan dengan permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan mereka. Sebagaimana tergambarkan, bagaimana Bu Tejo dan Bu Tri saling bertukar informasi kepada ibu-ibu lainnya agar mewaspadai bahaya pelakor di kampungnya, yaitu Dian.
Kedua, bergunjing sebagai alat pembentuk opini publik. Di dalam sebuah forum pergunjingan biasanya ada satu atau beberapa aktor yang dominan menguasai pembicaraan. Bisa karena ketokohannya atau penguasaannya terhadap informasi. Pengaruhnya digunakannya untuk mem-'propaganda' ibu-ibu lainnya agar bersepakat dan memiliki perspektif yang seragam dengan dirinya. Aktor ini biasanya dicirikan dengan keteguhannya beruasaha meyakinkan ibu-ibu peserta gosip atau yang paling emosional ketika pendapatnya menjumpai rivalnya.
Sebagaimana tergambar dalam adegan perdebatan sengit Bu Tejo yang tidak terima usaha-usaha pembuktiannya mengenai sosok Dian sebagai perempuan tidak baik coba dipatahkan oleh Bu Ning.
Salah satu yang sungguh merepotkan berada di forum pergunjingan emak-emak adalah mengatur air muka. Ekspresi dan reaksi yang ditunjukkan dapat menggolongkan keberpihakan atau aliansi seseorang. Mengambil perhatian dan anggukan bisa menjadi tanda bersepakat. Jika sebaliknya, anda akan dianggap berpihak pada kubu lainnya. Sayangnya mereka yang tidak ingin terlibat alias memilih diam saja, barangkali karna teringat pesan pak ustad, tak jarang justru dituduh apatis atau beroposisi. Sungguh serba salah.
Ketiga, pasca adanya pemahaman terhadap permasalahan bersama dan pembentukan opini publik maka fungsi pergunjingan kemudian adalah menciptakan 'common enemy' (musuh bersama). Dalam ilmu politik, penciptaan musuh bersama merupakan salah satu cara strategis untuk berhadapan dengan permasalahan sosial. Hadirnya musuh bersama akan melahirkan ‘common sense of crisis’ (keprihatinan bersama) yang pada akhirnya akan membentuk ‘common action’ (bertindak melawan bersama) (Bahren, 2020).
Dalam film Tilik, pergunjinngan mengerucut pada kesimpulan bahwa Dian adalah musuh bersama yang patut diwaspadai para ibu-ibu ini. Muncul keprihatinan yang sama terhadap gaya hidup Dian yang mencurigakan. Dari keprihatinan tersebut, ibu-ibu kemudian memiliki kesamaan sikap, salah satunya yaitu menolak usulan dicalonkannya Dian sebagai lurah berikutnya.
Keempat, selain menciptakan musuh bersama, pergunjingan juga digunakan sebagai sarana menggalang solidaritas kepada yang mereka anggap perlu dibela, dikasihani atau yang menjadi korban dari si common enemy ini.
Dalam film Tilik, empati mereka berikan kepada Bu Lurah yang dianggap sebagai pihak yang dirugikan oleh Dian. Adanya asumsi bahwa sakitnya Bu Lurah disebabkan oleh kedekatan anaknya dengan tokoh Dian.
Yang terakhir, forum pergunjingan juga menjadi kesempatan bagi mereka yang berkepentingan untuk melakukan personal branding. Melalui pergunjingan seseorang membangun citra dirinya. Yaitu citra kepedulian terhadap permasalahan publik atau mengkampanyekan potensi dan sumber daya yang dimilikinya.
Yang disayangkan kemudian adalah apabila upaya mengangkat citra diri ini ditempuh dengan cara mengkerdilkan atau menciptakan berita bohong atau fitnahan kepada pihak rivalnya.
Sebagaimana Bu Tejo mem-branding suaminya sebagai pengusaha yang sedang sukses, keluarga utuh, memiliki sumber daya melimpah, kedekatan dengan para pejabat sehingga layak untuk menjadi lurah, yang dicitrakan berkebalikan dengan kondisi Bu Lurah saat ini.
Dengan kata lain bergunjing adalah berpolitik. Ada upaya politik untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Mereka yang senang bergunjing berarti dia tengah aktif berpolitik. Namun demikian, perilaku bergunjing yang melibatkan ghibah (membicarakan keburukan orang) di dalamnya sendiri tidak dapat dibenarkan. Alasannya sederhana, yaitu terdapat cacat pendekatan dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan sosial di dalam proses bergunjing.
Alih-alih mencari kebenaran melalui tabayun atau verifikasi informasi mengenai obyek yang dibicarakan, peserta pergunjingan lebih senang membangun sekaligus menikmati asumsi atau dugaan-dugaan yang beredar secara liar. Akibatnya, masalah diidentifikasi secara subyektif bukannya obyektif.
Selain itu, penyelesaian permasalahan sosial seringkali tidak dititikberatkan pada persoalan namun pada personal seseorang. Sebagai contoh, pergunjingan yang 'bijaksana' semestinya berdiskusi mengenai cara-cara peningkatan gizi anak di masyarakat, daripada hanya sekedar meributkan kondisi anak tetangga yang tengah mengalami obesitas atau bertubuh terlalu kurus.
Akibatnya, solusi yang muncul semu belaka. Pergunjingan tak jarang hanya pepesan kosong, banyak yang dibicarakan namun tak cukup solutif bagi terurainya permasalahan di masyarakat. Sialnya lagi, tak jarang yang tak sadar telah menelan mentah-mentah informasi dan menjadi korban politisasi dalam pergunjingan ini.
Akhir kata, sudah saatnya kaum perempuan, dan juga lelaki, merevisi caranya dalam bergunjing.
Artikel Lainnya
-
218815/08/2019
-
157423/04/2024
-
122702/04/2021
-
Menakar Sisi Lain Kemarahan Bupati Alor ke Mensos
85206/06/2021 -
Menafsirkan Virtue dalam Islam: Akhlak dan Barokah
52213/04/2025 -
146626/05/2020
