Semakin Langka, Semakin Baik: Refleksi Menulis di Era AI
Sejak hadirnya kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence), banyak orang yang merasa terancam. Keterancaman itu bermula sebab konsep AI menyasar pada kemampuan kognitif. Di mana hal itu, sejauh peradaban manusia, hanya dimungkinkan manusia itu sendiri yang menguasainya.
Namun untuk sekarang, kemampuan itu sudah direplikasi sedemikian rupa oleh para teknolog. Adanya AI membuktikan bahwa tugas-tugas yang dulunya diemban manusia, perlahan digantikan oleh mesin komputasi. Kerja-kerja semisal design fotografi, menulis skrip, penerjemahan, otomasi pada bidang-bidang tertentu, menyebabkan beberapa sektor pekerjaan direnggut dari manusia. Sebut saja menulis.
Menulis merupakan media klasik untuk menyambung estafet pengetahuan, ekspresi, dan laku peradaban yang bisa ditinggalkan dalam bentuk aksara. Dulu orang menulis dengan pena bulu, berinovasi menjadi bolpen atau pensil, lalu berkembang menjadi mesin tik. Lalu yang paling mutakhir adalah dengan adanya keyboard baik komputer maupun laptop.
Namun garisbawahnya, hal-hal di atas berlaku secara manual. Mudahnya begini. Jika adanya laptop, orang bisa dengan jelas membaca tulisan sebab tersaji secara digital. Tetapi hal itu perlu dikerjakan dengan mandiri; mengetik menggunakan tangan, berpikir, menghapus, mengedit, dan sterusnya.
Sekarang ini menjadi lain. AI menawarkan shortcut yang efisien. Orang tidak lagi harus mengetik tulisan berpanjang-panjang dan pusing. Orang cukup memasukan prompt atau perintah untuk bisa men-generate skrip yang diinginkan.
Misalnya, orang ingin membuat artikel berjudul: “sejarah singkat kemerdekaan Indonesia.” Maka orang tak perlu lagi bersusah payah untuk berpikir, mencari referensi mendalam, apalagi harus memikirkan apakah ada salah ketik atau tidak. Cukup masukkan perintahnya, lalu eurika! Tulisan langsung tersaji tidak sampai 1 menit.
Belakangan, fenomena ini menjadi kekhawatiran banyak penulis. Mereka yang menghidupi diri dari tulisan, karya puisi, novel, cerpen, esai, dan sebagainya. Kerja-kerja demikian dengan mudah digantikan oleh AI. Dari sinilah kemudian banyak yang bertanya (meragukan?) ihwal: “Apakah ini artinya era kehancuran kegiatan menulis?”
Beberapa penulis yang sempat saya temui, dari yang level kecil-kecil seperti saya ini, bahkan maestro yang sudah punya nama besar nasional, memiliki keresahan yang sama: AI tak lama lagi merenggut bidang kepenulisan!
Tapi, bagi saya tidak. Baiklah jika AI mampu membuat cerpen, novel, puisi, dan karya prosa lain dalam sekejap. Bagi saya, menulis adalah seni. Ia hadir bukan dengan hasil pikiran matematis sebagaimana yang dihasilkan oleh AI. Menulis adalah seni, ia lahir dari hasil kejernihan hati mendaras makna hidup, lahir dari pikiran yang diperas sehingga menghasilkan saripati aksara yang memiliki “ruh”.
Hal itu yang membawa keunikan tersendiri. Karya seorang penulis yang sudah top, katakanlah begitu. Akan tetap berbeda hasilnya dengan orang yang tak pernah sama sekali mengerti dunia menulis, lalu tiba-tiba men-generate dengan AI. Tulisan karya manusia (human writer) akan sangat-sangat berbeda rasanya dengan machine writer.
AI, menurut saya, ia hanyalah sebuah pabrik yang mampu menghasilkan ribuan produk dalam waktu yang relatif singkat. Baik, memang dalam kecepatan ia menang telak. Namun justru di sanalah titik lemahnya. Tulisan hasil generate AI akan hambar, nirmakna, tak memiliki jiwa yang mampu mengetuk hati. Sebabnya apa? Ia hadir, lagi-lagi, bukan atas dasar kejernihan jiwa. Melainkan sebatas mesin yang implikasinya adalah penyeragaman.
Justru merekalah yang masih menulis dengan manual, utuh untuk tetap telaten mengetik satu per satu huruf di atas keyboard laptop. Inilah seni. Di sinilah yang menjadi uniqueness point dan yang membedakan dengan hasil AI.
Ini seperti, misalnya, seseorang yang suka membeli sambal kemasan pabrik. Tentu beda rasa dengan sambal uleg hasil resep sendiri. Memang sambal pabrik terlihat menarik, praktis, dan easy using. Namun konsekuensinya adalah, rasanya sama, varian resepnya pasti masih seragam, tidak alami, tidak memiliki kekhasan di lidah konsumennya. Berbeda dengan resep sambal uleg sendiri yang dibuat dengan resep khusus. Ada rasa nyess tersendiri.
Kita buka fakta lapangan saja. Jika diminta untuk makan sambal geprek hasil uleg-an dengan sambal hasil sachet, mana yang lebih enak? Tentu pilihan akan jatuh ke sambal hasil uleg sendiri. Meski nanti pada praktiknya ada yang memilih sambal sachet sebab faktor tertentu: alasan efisiensi misalnya.
Ini berlaku juga dengan tulisan. Tulisan hasil karya AI memang menarik, terkesan praktis. Tapi tetap saja, barisan aksara itu tidak mampu menembus kalbu jika dibandingkan dengan karya tulis manual; ngetik, berpikir, butuh proses.
Jadi sebagai poin akhir. Silakan, yang mau berkenan untuk menulis cuma bermodalkan prompt ya monggo. Yang mau utun dan sabar untuk mengetik manual ya monggo. Pada intinya, tulisan sama halnya dengan seni. Ia akan kering makna jika bermulanya diproduksi oleh pabrik. Pabrik butuh kepraktisan dan keseragaman. Sedang karya seni membutuhkan sentuhan jiwa. Ia hadir dalam pembacaan jiwa-jiwa manusia, sehingga dari sanalah kemudian tulisan hasil karya sendiri, akan memiliki nilai yang “berbeda” daripada hasil pabrikan.
Artikel Lainnya
-
91724/12/2023
-
86127/07/2022
-
274923/09/2019
-
Hilirisasi Tantangan Global Industri Teh Indonesia
33812/03/2025 -
Inaugurasi Biden-Harris dan Absenya Warga Amerika Serikat
133721/01/2021 -
Bumi dan Manusia dalam Konsep Ekoteologi
309222/04/2022
