Poitisi PDKT dengan Seniman, Bolehkah?

Fenomena terkini, adalah aksi Erick Tohir, salah seorang menteri di kabinet pemerintahan yang sekarang ini (Pemerintahan Jokowi periode kedua), yang mendekati para seniman selebritis, yang memiliki pengikut yang besar. Video reels maupun video tiktokan Erick Tohir dan para seniman selebritis tersebut, bersliweran di berbagai media sosial.
Tak sedikit juga yang gerah, beberapa politisi, bahkan terlihat mengkritisi aksi Erick Tohir, yang terkesan mengeksploitasi popularitas para seniman selebritis tersebut, untuk mendongkrak popularitas dirinya, supaya bisa ikut bersaing, dalam kontestasi Pemilu 2024. Sekali lagi, hal ini pada dasarnya, adalah sah-sah saja, persoalannya kemudian adalah ketika berbicara tentang moral atau etika politik, yaitu apakah secara moral, hal yang dilakukan oleh Erick Tohir mendekati para seniman selebritis itu adalah etis atau tidak? Apakah tugas beliau sebagai salah seorang pejabat publik sudah berjalan dengan baik? Apakah departemen yang dipimpinnya, sudah bisa membantu mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya bisa menjadi tolok ukur, untuk menjawab pertanyaan, apakah sikap dan langkah para politisi dan penguasa mendekati para seniman masih bisa diterima atau tidak?
Di sisi lain, seniman memang tidak boleh teralienasi dari politik, karena pada dasarnya segala sendi kehidupan berkaitan dengan politik, baik itu berupa kebijakan politik pemerintah, maupun aksi-aksi politik rakyat secara umum. Salah seorang penyair berkebangsaan Jerman, Bertolt Brecht pernah mengatakan, bahwa buta yang paling buruk adalah buta politik, karena dengan buta politik, maka seseorang tidak akan paham bahwa semua hal yang berkaitan dengan hidupnya dan masyarakat secara umum, pada dasarnya tergantung pada keputusan politik (Andre Vincent Wenas, “Bertolt Brecht: Buta Terburuk Adalah Buta Politik”, dalam https://redaksiindonesia.com/, diakses 25 Juli 2022). Artinya, seorang seniman, yang melek politik dan memiliki keberpihakan politik, pada dasarnya adalah jauh lebih baik, daripada para seniman yang buta politik, atau yang pura-pura buta politik, akan tetapi diam-diam mendukung suatu kekuatan politik tertentu, yang proimperialis yang menyengsarakan mayoritas rakyat.
Mungkin salah satu musisi yang cukup melek politik, adalah Ahmad Dhani, pimpinan grup musik Dewa 19, walaupun terkesan sok tahu, dan sombong, tapi dia secara politik paham, tokoh atau kelompok politik mana yang seharusnya dia dukung, yang sekiranya sesuai dengan interes politik yang dia miliki. Walaupun memang kegandrungannya akan simbol-simbol Partai Nazi, yang dalam sejarahnya telah membantai jutaan manusia, tetap tidak bisa ditolerir. Akan tetapi, ia paham bahwa hidup seniman sebagai bagian dari masyarakat, juga tergantung pada keputusan politik. Karena itulah, di berbagai video, baik itu berupa podcast ataupun acara lainnya, ia selalu menyuarakan bahwa seniman adalah kaum yang cukup sulit hidupnya, khususnya di masa pandemi corona. Selain itu, seniman juga tidak bisa mengajukan pinjaman atau hutang ke bank, karena tidak punya penghasilan tetap, selayaknya pekerja kantoran. Terakhir, belum lama ini, pemerintahan yang sekarang ini, mengeluarkan Peraturan Pemerintah, Nomor 24 Tahun 2022, yang salah satu poinnya adalah bahwa kekayaan intelektual seperti lagu dan film, bisa dijadikan sebagai jaminan hutang (Dikutip dari rbg.id, “Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan Hutang”).
Kembali lagi ke konteks awal, yaitu terkait pertanyaan, sejauh mana langkah penguasa, politisi, maupun aktivis politik, bisa diterima ketika mendekati para seniman? Bagi saya, sejauh kepentingan politik yang diusung penguasa, para politisi, dan aktivis politik itu bertujuan untuk menyejahterakan dan menyelamatkan rakyat, maka pendekatan mereka terhadap para seniman, masih bisa ditolerir. Akan tetapi, jika mereka hanya melakukan pendekatan guna kepentingan pribadi mereka, baik itu untuk memperkaya diri lewat kekuasaan, maupun hal lainnya, maka langkah penguasa, politisi, dan aktivis politik tersebut, sudah tidak bisa ditolerir. Untuk itu, para seniman harus melek politik, mau belajar politik, karena popularitas mereka pada dasarnya adalah hal yang cukup penting dalam setiap kontestasi politik, walaupun memang bukan hal yang paling penting. Karena Salvador Allende dalam sejarahnya bisa memenangkan kontestasi pemilu di Chile, karena turun langsung ke rakyat, mendatangi tiap-tiap rumah rakyat, mendengarkan keluh kesah rakyat secara tulus, dukungan penyair Pablo Neruda ke beliau memang cukup membantu, akan tetapi bukanlah hal yang paling utama untuk menentukan kemenangan Salvador Allende.
Akhir kata, hubungan kolaboratif antara penguasa, politisi, aktivis politik, dan seniman harus senantiasa dijaga, dengan syarat kolaborasi tersebut memang sebenar-benar bertujuan untuk kemaslahatan rakyat banyak, dan bukan untuk kepentingan pribadi si politisi belaka. Para aktivis politik sejati, secara esensial adalah penyambung lidah rakyat, sementara seniman adalah pihak yang memberikan unsur keindahan/estetis pada perjuangan politik untuk rakyat.
Artikel Lainnya
-
111720/08/2020
-
182609/02/2020
-
146720/03/2020
-
New Media Sebagai Produsen New Culture
68109/11/2022 -
Generasi Muda dan Budaya Manggarai
413507/04/2024 -
Kedermawanan Sosial dan Tanggung Jawab Influencer Di Tengah Pandemi
179018/05/2020