Paskah, Seruan Imperatif, dan Sikap Reflektif
Realita dunia kita sekarang penuh dengan bayang-bayang konflik. Dari hari ke hari ada saja persoalan yang datang. Ironisnya dunia semakin pelik ketika persoalan yang satu teratasi atau tertunda diselesaikan, muncul persoalan yang baru. Sejauh saya melihat, persoalan-persoalan yang konkret seperti covid-19 belum usai, bencana alam menguar terus, krisis minyak bumi, eksploitasi alam 'bukan main', konflik Rusia-Ukrania berefek krisis multidimensi, dan juga stereotip negatif antar agama yang masih seliweran.
Di bumi Indonesia pun, persoalan-persoalan seperti korupsi, tindak kriminalitas, kemiskinan, bullying, pelecehan seksual, intoleransi, semakin hidup saja. Agaknya angka 'kematian' dari problem yang ada masih jauh atau belum dapat diprediksikan. Sebab barangkali berbagai persoalan tersebut sudah dicap sebagai bagian dari hidup kita, sehingga tampak biasa, tetapi memicu dampak yang luar biasa.
Kita boleh saja mengapresiasi usaha pihak tertentu untuk mencari solusi, tetapi akan lebih baik lagi, apresiasi itu diberikan kalau sungguh usaha pihak tersebut berbuah sejahtera. Kalau tidak, kita hanya membuang energi entah melalui tulisan, diskusi, obrolan, spontanitas untuk berapresiasi.
Namun demikian, kita sebaiknya jangan bergantung pada pihak tertentu semisal pemerintah untuk mengatasi sebuah masalah. Apalagi sampai saling mempersalahkan. Hemat penulis bolehlah kita bercermin sedikit, berkaca sejenak, sejauh mana keterlibatan kita baik secara personal maupun kelompok, untuk menyuarakan hidup sejahtera, tenteram, dan damai. Di sini penulis akan mengulasnya bertolak dari moment Paskah yang akan dirayakan oleh umat Kristiani, mengingat Paskah tidak hanya sebuah ritual tahunan, tetapi sebuah peristiwa kaya makna bagi umat, terutama untuk terlibat membawa dunia ini semakin mantap dalam wajah kesejahteraan.
Paskah dan Seruan Imperatif
Paskah Kristiani adalah ritual tahunan dalam rangka merayakan kebangkitan Kristus. Paskah tidak sekadar sebuah ritus tetapi mengintensifkan kemenangan dan harapan bagi umat Kristiani, ketika Tuhan Yesus 'sukses' mengalahkan maut dan bangkit kembali sesudah melewati derita dan duka di kayu Salib.
Karl Barth dalam bukunya yang berjudul "Kotbah Masa Kini 7: Pembebasan Bagi Para Tawanan" (2013:121), menerangkan bahwa Paskah adalah hari kemenangan ketika Kristus rela wafat di kayu Salib untuk menebus dosa manusia dan menggantikannya dengan hidup kekal. Dalam diri Kristus semua umat beriman dibebaskan untuk hidup yang kekal. Dengan kata lain kita juga ikut bangkit bersama Kristus. KebangkitanNya memperlihatkan adanya pengharapan dan kemenangan bagi orang yang percaya. Kebangkitan Tuhan menunjukkan kasih luar biasa kepada manusia, karena kita juga ikut bangkit di dalam namaNya. KebangkitanNya juga adalah sebuah bukti Dia sungguh Allah Yang Maha Kuasa dan maut tidak akan pernah mengalahkanNya.
Peristiwa kebangkitan Kristus mengajak kita (baca: umat Kristiani) supaya keluar dari perbudakan dosa dan maut. Artinya kita jangan lagi beridentitas hamba yang kerap kali tunduk di bawah kuasa maut atau iblis. Maut atau Iblis yang dimaksud bukan sesuatu yang berwujud pocong, kuntilanak, dan sejenisnya. Akan tetapi sesuatu berupa kehendak pribadi bercirikan manusiawi, terutama yang hendak memisahkan kita dengan kehendak Tuhan. Kehendak itu adalah sikap individualis dan ego dengan idealisme tinggi. Sikap tersebut mengarah kepada satu titik yang disebut kehendak dan dalam keberadaannya sebagai manusia, siapapun sulit melepaskan diri dari kehendak. Dia itu muncul dan keluar karena adanya tujuan tertentu yang merupakan keinginan kita.
Yesus teladan bagi umat Kristiani, pernah berkata siapa yang mau menjadi murid dan mengikutiNya harus menyangkal diri dan memikul Salib. Seruan ini sifatnya bukan sebatas ajaran yang tertulis rapih dalam Alkitab, melainkan perintah imperatif bagi umatNya agar sungguh melaksanakan ajaran itu. Kelihatan juga bahwa perintahNya merupakan tuntutan yang mengikat dan mendalam, karena dapat mempengaruhi perubahan karakter seluruh umat beriman.
Mengenai penyangkalan diri, umat Kristiani ditantang berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kehendak dan hasrat sebagai sifat dasariah manusia. Artinya umat Kristiani harus berani berhadapan dengan iblis atau musuh terbesar dalam hidupnya, yaitu keinginan diri yang fana. Sikap berani menunjukkan bahwa setiap orang menantang kehidupan yang bergerak atas kehendak sendiri.
Ketidaksiapan kita untuk mengambil sikap berani sama halnya menciptakan jurang pemisah antara diri manusia dengan kehendak Tuhan. Semakin kita betah pada posisi itu, semakin lebar pula jurang pemisah. Atau bahkan kita mungkin tidak bisa mengukur seberapa lebar jurang tersebut. Pada titik ini, kita telah sangat jauh dari Tuhan.
Dalam praktiknya, penyangkal diri tidaklah mudah, karena akan selalu ada konsekuensi yang menyertainya. Konsekuensi itu menggarisbawahi apa yang terkandung dalam seruan Yesus perihal 'memikul salib'. Kosuke Koyama, pernah mengatakan bahwa tidak ada gagang pada Salib. Artinya Salib bukan sebuah barang ringan, bukan juga identitas yang mudah untuk diletakkan begitu saja.
Memikul Salib pada dasarnya adalah sebuah beban. Dalam konteks penyangkalan diri, memikul Salib berarti berjuang 'mati-matian' menghadapi kehendak dan hasrat kita. Di sana kita ditantang untuk keluar dari zona nyaman, berani meninggalkan ego yang sepanjang hari makin menguat. Perlu digarisbawahi seruan Yesus perihal memikul Salib, tidak terdapat ruang bagi pribadi yang menyandang sebagai pengikutNya, untuk memilih pilihan lain yang sifatnya ringan. Sebaliknya seruan itu mengikat dan yang mengaku muridNya, seharusnya melaksanakan ajaran itu.
Tindakan-Aksi
Lalu apa tindakan aksi umat beriman dalam menyuarakan hidup sejahtera, tenteram, dan damai di tengah peliknya realita di sekitar kita, melalui moment Paskah.
Pada posisi ini, umat beriman perlu bersikap reflektif dalam kesadaran dan tindakan untuk meninggalkan makna personal yang penuh ego. Sikap reflektif ini pun sekaligus hendak menyuarakan bahwa rumah kita bukan tempat untuk menyembah kepentingan diri. Dengan meninggalkan ego, semua umat apapun latar belakangnya, dapat bersatu, saling mengasihi, dan bersama-sama menghidupi nilai-nilai yang lebih baik. Di sinilah Yesus menuntut umatNya untuk memikul beban. sebab melalui peristiwa Salib, Dia menanggapi penderitaan dengan pengorbanan. Dia membawa seruan bahwa penyangkalan diri bisa dilakukan demi kesejahteraan bersama.
Sonny Eli Zaluchu, Teolog dan Dosen, dalam sebuah artikel "Paskah dan Ketiadaan Diri", menulis bahwa kehadiran Yesus di dalam sejarah untuk menjadikan manusia sebagai mitra kerja manusia perjuangan, membebaskan manusia dari kehendak pribadi. Semua umat beriman perlu berefleksi ketika dunia semakin pelik. Apakah di tengah situasi itu, kita sungguh menyangkal diri untuk menyelamatkan dunia. Atau juga rela berkorban demi kepentingan bersama, agar krisis semakin berkurang.
Kita bisa berkaca dari persoalan di sekitar kita. Sebut saja eksploitasi tambang berlebihan. Dalam praktiknya, apakah umat beriman setuju-setuju saja mengiyakan aktivitas itu. Perlukah umat beriman menyuarakan pentingnya dunia yang ekologis, agar rumah kita selalu sehat. Sudahkah kita mengajak dan mendorong orang lain untuk menjaga dan merawat lingkungan supaya tidak tergerus oleh aktivitas yang mengganggu keseimbangan alam.
Demikian juga dengan praktik intoleransi. Sudahkah umat beriman melaksanakan ajaran Kristus tentang saling mengasihi. Akhir-akhir ini juga sering diberitakan kasus pelecehan seksual. Melihat situasi tersebut, kita sekiranya harus membebaskan diri dari hasrat duniawi, memandang setiap pribadi sebagai anugerah Tuhan dan amat berharga, sehingga tidak boleh semena-mena merendahkan sesamanya. Begitu pun dengan pelbagai persoalan lainnya, seperti telah disebutkan pada bagian awal tulisan, bahwa patutlah umat beriman menanggapi situasi sekeliling secara bijaksana. Salah satunya adalah mengambil langkah reflektif.
Penderitaan dan wafat Yesus di kayu Salib menunjukkan sebuah solidaritas sosial untuk melawan ego pribadi. Peristiwa Paskah mengingatkan kita untuk berani berkorban dan menyuarakan pada dunia bahwa tempat kita berpijak sekarang adalah rumah bersama.
Peristiwa kebangkitan Tuhan pun mengingatkan pada umat beriman bahwa kebangkitanNya berarti kebangkitan umat beriman juga. Kita bangkit dari segala kelemahan, keterpurukan, atau beragam konflik lainya, untuk menghidupkan spirit nilai-nilai yang lebih baik. Moment Paskah tahun ini di tengah banyaknya persoalan, merupakan kesempatan untuk memaknai peristiwa Salib dan kebangkitan Tuhan. Lalu menyuarakan sukacita hidup bersama yang sejahtera, tenteram, dan damai. Ini sangat menguntungkan ketimbang nyaman dalam posisi ego, karena berefek merusak dan situasi di sekeliling kita semakin kacau balau.
Artikel Lainnya
-
196328/06/2021
-
293828/03/2020
-
28429/04/2024
-
Masalah Kesehatan Mental dalam Ranah Pendidikan
59912/07/2023 -
Pak Ribut dan Dilema Pendidikan Seksual pada Anak
117505/04/2022 -
Local Lockdown dan Upaya Melawan Corona di Tengah Keresahan Sosial
118730/03/2020
