Pandangan Ibn Qayyim Al-Jauziah dalam Keadilan Seksual dan Kespro

Pegiat Literasi Pesantren di Corner Institute Semarang
Pandangan Ibn Qayyim Al-Jauziah dalam Keadilan Seksual dan Kespro 29/07/2021 1460 view Agama Ilustrasi Ade Tagar. I

Menikah adalah pilihan terbaik bagi seorang pria atau wanita yang sudah dewasa. Sebagian orang mendefinisikan pernikahan adalah final bagi pasangan suami istri agar tidak terjatuh dalam perbuatan yang diharamkan oleh agama. Selain itu ada yang mengatakan pernikahan adalah cara yang paling ahsan (baik) untuk menyalurkan keinginan alamiahnya yang siafatnya biologis. Oleh karena itu dengan menikah dapat menjaga dan mengembangkan keturunan yang memiliki nilai penting untuk masa depan umat manusia.

Pada intinya disyariatkannya pernikahan adalah untuk menjaga kehormatan satu sama lain dan menjaga keturunan selanjutnya. Berawal dari sebuah agenda pernikahan, akan muncul kesalingan dan tanggung jawab antara kedua pasangan mempelai. Melalui pernikahan pula mereka akan bekerja keras untuk menjalankan tanggung jawabnya masing-masing agar mencapai kebahagiaan.

Maksud dari tanggung jawab di sini bukan hanya pada urusan materi dalam rumah tangga akan tetapi meliputi seksual juga. Sebagai manusia sudah semestinya diciptakan dengan dibekali hasrat seksual, karena seks adalah naluri yang inheren dalam diri manusia. Dalam Islam sendiri naluri seks adalah naluri kemanusiaan yang memiliki porsi tersendiri atau tempat yang sangat berharga. Oleh karenanya hasrat seksual tidak boleh dikekang melainkan harus tersalurkan pada tempatnya.

Saya teringat pendapat Ibn Qoyyim al-Jauziyah dalam karyanya Zaad al-Ma’ad fi Hadi Khairi al-Ibad Juz dua, ia mengatakan bahwa “ketika air mani harus tersalurkan pada tempatnya (maksudnya tidak terkekang) maka akan selamat dari sejumlah penyakit kejiwaan, bahkan pengekangan air mani dapat menyebabkan hilangnya akal (gila)”. Sepintas pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah ini agak ekstrem karena terdapat sanksi yang tidak diinginkan oleh semua orang. Namun disisi lain Ibn Qoyyim adalah ulama ahli fiqih masa klasik sehingga tidak heran dengan pandanganya tersebut, karena ulama fiqih dahulu penguasaan ilmunya tidak hanya berkutat dalam disiplin ilmu al-Qur’an atau hadis saja melainkan juga soal kedokteran/kesehatan. Dalam kesempatan lain, Ibn Qoyyim al-Jauziyah juga menjelaskan manfaat dari berhubungan seksual dalam kitab al-Insyirah fii Adabin Nikah diantaranya soal kesehatan.

Kajian ini sebenarnya tidak hanya untuk laki-laki, tetapi juga perempuan karena perempuan juga diberi naluri seksual yang sama dengan laki-laki. Dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan ini secara universal Islam mengaturnya melalui jalan perkawinan. Di samping maksud perkawinan sebagai media untuk menghasilakan keturunan, ia juga merupakan wahana untuk penyaluran naluri biologis (pemenuhan seksual) kata lain dari tanggung jawab non materi.

Sebenarnya nikah itu adalah hubungan seksual namun rumusan ini bukan satu-satunya. Melainkan banyak sekali rumusan pernikahan dan berbeda-beda tergantung dengan perspektif dan kecenderungan masing-masing orang.

Setelah kita mengerti soal tanggung jawab dan penyaluran naluri seksual di atas tadi, ada bab yang harus dimengerti bersama soal kerelaan satu sama lain ketika melakukan hubungan badan. Maksudnya kedua pasangan suami istri saling menerima tanpa ada ancaman dan paksaan ketika melakukan hubungan seksual tersebut. Ada satu ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan relasi seksual laki-laki dan perempuan dengan kalimat yang sangat indah:

هن لباس لكم وانتم لباس لهن

“Mereka (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (istri),” (QS.al-Baqarah[2]:187).

Kutipan ayat di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa Islam telah cukup membekali kita untuk benar-benar memperhatikan kesalingan harmonisasi dalam berhubungan seksual. Sebagai mana ayat-ayat yang lain soal “gaulilah istri-istrimu dengan media yang baik” telah memberikan kebebasan kepada kita untuk menentukan kehidupan dan kenikmatan bersama tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Artinya teori al-Qur’an ini mengajarkan kita untuk beretika dalam menikmati hubungan seksual dan menganjurkan kita untuk saling menerima dan bersedia agar naluri seksual tersalurkan dengan baik sehingga organ reproduksi perempuan dapat terjaga dengan baik pula.

Membincangkan masalah kesehatan reproduksi adalah bagian dari hak yang dimiliki oleh perempuan dan hak-hak perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia. Itu artinya membicarakan hak reproduksi terbilang sangat penting karena menyangkut persoalan-persoalan kemanusiaan. Dalam realitas sosial kebudayaan di sekitar kita, perempuan masih belum sepenuhnya mendapatkan perlakuan sebagaimana laki-laki.

Pada waktu yang sama, terkadang perempuan masih mengerjakan kerja-kerja ganda untuk melangsungkan kehidupan rumah tangga lebih-lebih wanita karir. Tidak panjang pikir, hal demikian masih menjadi kewajaran di kalangan masyarakat umum. Keadaan seperti ini jelas akan menimbulkan gejala kelelahan, pegal-pegal dan membahayakan fungsi-fungsi reproduksi dan tubuh perempuan.

Oleh karenanya, sangatlah seram apabila perempuan dianggap sebagai pelayan laki-laki. Dalam bahasa lain, laki-laki adalah pemilik kuasa atas tubuh perempuan. Diktum ini sangatlah berbahaya apabila diterapkan dalam pemenuhan hasrat seksual.

Pada intinya pernikahan adalah media untuk berpatner antara laki-laki dan perempuan. Dari keduanya tidak ada yang lebih unggul (superior) dan rendah (inferior). Karena pernikahan adalah ikatan janji yang diamini oleh kedua belah pihak untuk sama-sama hidup beribadah kepada Allah SWT secara totalitas dan menyadari bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu segala hal yang menyangkut dengan pekerjaan dalam pernikahan harus diselesaikan dengan seksama.

Berangkat dari semangat kesalingan (mubadalah) dalam rumah tangga sehingga dalam urusan seksual pun harus memperhatikan kerelaan dan kesediaan kedua belah pihak. Tidak ada paksaan dari salah satunya. Misalnya kasus suami yang ingin menjalankan ibadah berhubungan seks tetapi istri tidak berkenan karena ada udzur dan kesibukan lainya. Itu artinya suami tidak boleh memaksanya karena berhubungan dengan tekanan dan paksaan tidaklah sehat. Wallahu a’lam

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya