Natal dan Keterasingan

Pegiat HAM
Natal dan Keterasingan 26/12/2020 2102 view Agama htvexels.com

Dalam kehidupan masyarakat modern saat ini, kita bisa tiba-tiba merasa asing, diasingkan atau terasingkan.

Shoshana Zubofff mengawalinya dengan pertanyaan yang berasal dari the oldest political questions: Home or exile? Lord or subject? Master or slave? untuk menjawab pertanyaan ini ia melanjutkan dengan mempertanyakan “Can the digital future be our home?” untuk menemukan jawabannya, Zuboff melakukan penelitian selama tiga puluh tahun dan menuliskannya dalam sebuah buku In the Age of the Smart Machine: The Future of Work and Power-2019.

Mengenai keterasingan, beberapa filsuf sebelum Marx telah mengemukakan teori dan terbelah dalam dua kubu, Hegelian Muda dan Hegelian Tua. Marx semula berada di kubu Hegelian Muda, seperti halnya Feuerbach, menolak basis spiritual, dan mengadaptasi model dialektika Hegel ke teori materialisme (historis). Marx mengartikulasikan teori ini dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dan The German Ideology (1846).

Teori ini merupakan transisi dari filosofis- antropologis ( humanisme Marxis) konsep (misalnya keterasingan internal dari diri) ke penafsiran-historis struktural (misalnya keterasingan eksternal oleh perampasan tenaga kerja), disertai dengan perubahan dalam terminologi dari keterasingan menjadi eksploitasi menjadi fetisisme komoditas dan reifikasi (Frédéric Vandenberghe Sejarah Filsafat Sosiologi Jerman Bab Satu: Karl Marx: kritik terhadap tiga inversi subjek dan objek: alienasi, eksploitasi, dan fetishisme komoditas. 2009). Kostas Axelos mengklasifikasikannya menjadi: alienasi ekonomi dan sosial, alienasi politik, alienasi manusia, dan alienasi ideologis (Axelos, 1976).

Penelitian Zuboff kemudian semakin memperjelas keterasingan di masa kini "now the oldest questions must be addressed to the widest possible frame, which is best defined as “civilization” or, more specifically, information civilization. Will this emerging civilization be a place that we can call home? All creatures orient to home. It is the point of origin from which everyspecies sets its bearings. Without our bearings, there is no way to navigate unknown territory; without our bearings, we are lost dan muncul rasa keterasingan.

Seseorang bisa saja merasa terasing di sebuah komunitas, kota atau tehnologi terbaru. Bisa karena keluarga, pekerjaan atau kebutuhan pendidikan. Saat baru tiba di perantauan pun saat kembali pulang setelah bertahun-tahun merantau. Saat Natal tiba dan mengikuti sebuah misa di gereja, tiba-tiba disergap rasa asing seperti pulang ke rumah tanpa seorang pun mengenal dan dikenal. Mungkin seperti itu juga yang terjadi pada Yusuf dan Maria saat pulang kembali ke kampung halamannya. Seusai misa yang meriah, terasa ada kekosongan. Menyadari kesendirian, tidak ada pesta dan hadiah seperti masa kecil dulu. Kemudian mulai mengenang Natal dari waktu ke waktu.

Natal selalu meriah, identik dengan perayaan, makan, baju baru, sepatu baru dan hadiah. Rumah, mall, gereja dan berbagai tempat mulai dihias dengan lampu-lampu kecil dan pohon Natal beraneka bentuk. Natal menjadi saat seluruh keluarga berkumpul, saling berkunjung dan tukar menukar hadiah. Namun kehidupan masyarakat modern turut merubah pola perayaan Natal. Kartu ucapan, hadiah natal dan saling berkunjung tergantikan dengan saling mengirim ucapan melalui media sosial dan bingkisan Natal terkirim melalui aplikasi belanja online. Fitur-fitur komunikasi menggantikan kunjungan baik melalui video call ataupun lainnya. Terlebih di masa pandemi saat mau tidak mau semua harus berjarak. Bahkan misa offline pun dibatasi jumlahnya.

Makna Natal pun mengikuti perubahan ini, dan Kelahiran Yesus seperti kisah yang berulang setiap tahun selama puluhan tahun. Satu hari terlewati satu pesta dan keesokan harinya adalah hari-hari santai menunggu tahun baru, sebuah pesta yang lain. Natal menjadi penanda bahwa bumi tetap berputar pada porosnya, satu di antara 365 hari. Menjadi pengingat apa saja rencana yang belum berjalan dan target yang belum tercapai. Terbayang bagaimana Maria dan Yusuf sebagai orang asing dalam perjalanan. Seperti mereka yang saat ini merasa sendiri, terasing di sebuah kota dan saat datang ke gereja, merasa terasing karena terabaikan, dalam penjara atau rumah sakit. Merasa terasing karena tahun ini Natal dan dunia sedang merayakan Kelahiran Yesus tapi ia atau sekelompok orang merasa berada di dunia yang berbeda. Dan kemudian keterasingan tersebut dialihkan pada media sosial seperti Facebook, Instagram dan lain-lain.

Bagi sebagian lainnya mengalami keterasingan di luar keinginan atau kemampuan dirinya seperti berada dalam situasi bencana, di tengah pusaran konflik atau tidak lagi memiliki lahan akibat penggusuran. Kita mungkin akan berkilah dan mengatakan nasib tiap orang berbeda. Tidak perlu ikut campur, biar Tuhan yang mengatur. Kira-kira seperti itu juga yang mungkin ada dalam benak orang-orang ketika sepasang suami istri mencari tempat untuk menginap dengan sang istri dalam keadaan hamil tua. Jika itu terjadi di masa kini, lalu dimanakah bayi Yesus?

Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud, supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung. Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Yusuf dan Maria mendapat penghiburan dari para gembala yang datang, orang-orang Majus yang berkunjung sambil membawa hadiah dan para malaikat yang mengelilingi. Untuk sesaat, Yusuf dan Maria tidak lagi mengalami keterasingan tersebut. Lalu penghiburan apa yang diperoleh mereka yang berada dalam pengungsian karena takut, mereka yang lahannya dirampas atau mereka yang dianggap pekerjaannya terlalu hina untuk diperhatikan?

Yesus lahir dalam kondisi terancam akan dibunuh. Setelah orang-orang majus itu berangkat, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: "Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia. (Lukas 2:1-20).

Sama seperti mereka yang saat ini berada dalam pusaran konflik, lari dan mengungsi. Yesus lahir, tumbuh besar hingga disalibkan membawa jalan panjang karya penebusan. Kita menerima bagian saat Yesus mengajar dan kebangkitan-Nya di antara orang mati sebagai sebuah kemenangan. Dan Kelahiran Yesus menjadi titik awal bagi pembebasan manusia untuk masuk dalam kerajaan Allah. Beratus tahun sesudahnya, kita merayakan kelahiran-Nya dengan segala kemeriahan. Satu hari perayaan bagi seorang bayi yang bahkan dilahirkan saat dalam keterasingan. Jadi dimana bayi Yesus sekarang?

Pandemi belum berakhir, kita belum tahu kapan akan berakhir. Di masa awal pandemi banyak kaum urban yang terjebak di jalan dan tidak dapat pulang karena diberlakukannya PSBB. Kita pasti akan melewati masa sulit ini, pandemi dan krisis ekonomi. Kita akan memasuki tahun yang baru dengan pola hidup yang baru. Kesulitan apapun yang akan menghadang, seperti Yesus yang lahir untuk membebaskan, kita punya tugas untuk membebaskan keterasingan tersebut. Tidak membiarkan sesama dan lingkungan kita terasing karena perbedaan strata sosial, ekonomi, ras dan agama. Yesus tidak lagi lahir dalam keterasingan, kita yang akan merangkulnya. Selamat Natal.

I saw him crying, shedding floods of tears upon Calypso’s island, in her chambers. She traps him there; he cannot go back home.
HOMER, THE ODYSSEY

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya