Mudik: Momen Bermaaf-maafan dan Ziarah Kehidupan
Mudik berasal dari kata udik yang berarti desa. Dengan imbuhan m- diawal menjadi kata kerja yang berarti menuju desa. Kalau dari tradisi Melayu, mudik berarti pulang dari hilir ke hulu. Ada juga teori yang menyebutkan kalau mudik berasal dari bahasa Jawa “mulih dhisik” (pulang dulu). Teori mana yang benar? Entahlah, yang pasti kata itu menjadi suatu harapan atau keinginan bagi para perantau yang rindu kampung halamannya.
Desa dengan segala dinamika persoalannya adalah lingkungan tumbuh yang paling awal. Di sana kita tampil otentik berkat buaian kultur tradisionalnya. Orang menyebutnya masyarakat desa. Namun akibat pertumbuhan ekonomi yang lebih terpusat di kota maka terjadilah yang namanya urbanisasi. Banyak orang pergi ke kota untuk janji ekonomi yang lebih baik. Meskipun kenyataannya tidak selalu berhasil.
Dengan segala kemajuan teknologi dan infrastrukturnya yang menopang perokonomian, kota menawarkan peluang kesejahteraan yang lebih baik. Iming-iming dan janji manis itulah yang membuat banyak orang merantau ke kota. Lain hal dengan situasi di desa. Karena penyebaran uang di desa tidak secepat di kota, maka ritme hidup masyarakatnya tidak secepat dan sekeras kalau hidup di kota. Itulah mengapa desa dan kota selalu mengalami dikotomi nilai. Kota menjanjikan peluang ekonomi yang lebih baik. Sedangkan desa menawarkan peluang ketentraman diri yang lebih baik. Apakah pembagian itu tidak terlalu bersifat diametral? Tidakkah juga satu bagian mengandung bagian yang lain?
Lalu kenapa penyakit jiwa (misalnya stress atau depresi) lebih banyak kita temukan di lingkungan perkotaan daripada di desa? Bukankah itu semakin menjadi bukti dari hipotesis di atas? Orang kota lebih mementingkan materi daripada moral dan etika?
Tapi senyaman dan semakmur apapun hidup kita di kota, orang tidak akan bisa melupakan desa. Oleh sebab itulah sejauh apapun orang merantau akan selalu rindu kampung halaman, pada orang tua, pada keluarga dan cerita-cerita masa kecil yang menyertainya.
Namun semarak dan gegap gempita mudik tidak selalu menyebar ke hati setiap orang. Mungkin bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, terpaksa harus menunda keinginan untuk mudik. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang sudah berkeluarga. Para perantau yang mengadu nasib di kota tapi tidak dengan keterampilan yang memadai. Walhasil ekonominya pun pas-pasan.
Kalau untuk satu orang saja biayanya masih bisa diusahakan, tapi kalau ditambah dengan dua anak dan istri, biayanya menjadi tidak terjangkau. Mau nekat pakai motor resikonya terlalu besar. Jangan sampai niat berkumpul bersama keluarga yang terjadi malah sesuatu yang tidak dinginkan, kecelakaan misalnya. Maka, mereka melanjutkan menabung sedikit demi sedikit agar cukup untuk biaya mudik. Tapi berkat program mudik gratis yang diselenggarakan oleh misalnya: perusahaan-perusahaan bonafide, pemerintah daerah, atau juga kementerian perhubungan, hal itu – setidaknya, sedikit banyak membantu. Tapi kalau pun tidak bisa mudik di momen lebaran, bisa diusahakan di momen lainnya.
Walaupun, mudik di luar waktu lebaran memang menciptakan rasa yang berbeda. Mudik di saat seperti ini kurang menimbulkan eskalasi rasa sebab tidak didahului dengan puasa Ramadhan. Rasanya tidak ada jarak antara perjuangan dengan apa yang kita inginkan. Jadinya terasa biasa saja. Tidak ada penjarakan dari apa yang kita inginkan, sehingga yang terjadi adalah banalitas.
Mudik saat bulan puasa terasa lengkap hanya jika kita telah sukses berpuasa. Dalam kondisi berpuasa, kita seperti melakukan pembersihan jiwa. Dalam kondisi ini, religiusitas manusia dilatih dan dibangun supaya kembali suci.
Itulah mengapa mudik di saat lebaran punya resonansi kebahagiaan yang lain karena sebelumnya didahului dengan penyiapan dan pengkondisian religiusitas. Satu bulan kita melakukan pengendalian emosi. Kita menahan dari melakukan apa-apa yang bisa membatalkan puasa. Kita melakukan qiyamul-lail, tadarus atau tadabbur Al-Quran, berzikir, kita bersedekah, dan sebagainya. Dan puncaknya, sedikit demi sedikit spiritualitas kita juga terangkat.
Ibaratnya kita melakukan semua itu untuk menghapus dosa-dosa kita kepada Allah. Berkaitan dengan hal ini, bulan puasa memang dipersiapkan sebagai bulan intensifikasi ibadah guna menggugurkan dosa-dosa kita kepada Allah. Dijelaskan dalam suatu hadis: “Ibadah puasa adalah untuk-Ku dan Aku (Allah) yang akan membalasnya”.
Sementara itu untuk dosa kepada sesama manusia kita sendirilah yang harus face to face menyelesaikannya. Itulah tujuan bermaaf-maafan saat Idul Fitri. Masing-masing orang saling meminta maaf kepada orang lain. Muda kepada yang tua, dari lingkungan keluarga sampai tetangga sekitar. Hablun minallah telah selesai, selanjutnya adalah hablun minannas. Selain itu, Islam juga sangat menganjurkan untuk menjalin silaturahmi. Satu muslim dengan yang lain adalah saudara.
Mudik Sebagai Ziarah Kehidupan
Satu pertanyaan mendasar, mengapa orang butuh untuk mudik? Jawaban mudahnya adalah supaya kita kembali mengenal sejarah hidup kita sendiri. Saya menilai itu adalah panggilan terdalam jiwa manusia. Semakmur dan sebahagia apapun kehidupan kita di kota, kita berikrar untuk tidak melupakan kampung halaman. Mudik adalah upaya orang untuk mengingat asal-usulnya. Memenuhi panggilan rohaninya untuk mencari sangkan paraning dumadi (asal-usulnya dan akan ke mana ia). Di tahap dunia ini, tentu sumber itu adalah akar keluarga kita yang pertama-tama.
Kalau dilacak terus peristiwa mudik ini, maka akan ketemu dengan Innalillahi wainna iIlaihi rajiun. Itulah mudik yang paling ultimate. Kita semua ini milik Allah dan hanya kepadanya kita kembali. Kita baru tersadar dengan makna kalimat itu hanya saat ada orang yang meninggal dunia. Padahal kenyataannya, kalimat itu berlaku untuk semua hal dalam hidup kita. Semua yang kita miliki ini hanyalah hak guna pakai. Semua yang kita punyai di dunia ini hanya titipan. Tidak benar-benar kita miliki. Sebagai wakil Tuhan di bumi, kita diberikan kemudahan dalam pengelolalaan alam guna untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapi semua itu bukanlah milik kita sepenuhnya.
Kalau kita pergi ke museum melihat benda-benda peninggalan sejarah kita menjadi curious untuk mencari tahu asal-usul benda tersebut. Peristiwa masa lalu seperti apa yang telah terjadi. Kita, mau tidak mau harus flasback ke masa silam. Kita menengok ke belakang bukan dalam arti sebuah kemunduran, tapi justru untuk semakin mengukuhkan langkah kita ke depan. Semakin kita menggali sejarah, semakin luas juga jangkauan cakrawala navigasi hidup kita.
Demikian pula dengan peristiwa mudik. Mudik juga bisa dipahami sebagai ziarah kehidupan. Kata ziarah sendiri bermakna tamasya. Kita me-rewind pengalaman di masa lalu. Berusaha melihat dengan jujur siapa sebenarnya kita. Coba anda tanyakan pada diri anda sendiri. Unsur apa yang selama ini telah membentuk hidup kita. Lebih banyak kegiatan yang mengandung pahala ataukah dosa? Lebih banyak disibukan untuk hal-hal yang bemanfaat ataukah hal-hal bodoh dan tak berguna? Dengan begitu kita bisa melakukan rekapitulasi sikap
Sebelum mudik, ada baiknya kita mengoptimalkan ibadah menjelang hari-hari terakhir Ramadhan. Kita sudah sangat akrab dengan tradisi itikaf di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Amalan yang disunahkan untuk dilakukan adalah memperbanyak zikir dan melakukan muhasabah diri. Bagaimana progress ibadah Ramadhan kita sejuah ini. Bagaimana kita mengoptimalkan waktu yang tersisa ini? Sudah optimalkah ibadah-ibadah kita? Akan seperti apa rutinitas ibadah kita selepas Ramadhan? Itulah pertanyaan-pertanyaan dari seorang muslim yang concern akan perbaikan diri.
Dengan momentum mudik yang sebelumnya didahului dengan amalan itikaf, kita bisa melakukan refleksi perjalanan hidup selama satu tahun. Lebih-lebih kita dalam kondisi berpuasa di mana kondisi pikiran dan jiwa kita dalam kondisi kontemplatif. Outputnya seharusnya adalah pernyataan yang jujur tentang diri sendiri.
Dus, mudik adalah perjalan kembali kepada sumber kehidupan kita di dunia. Mudik bukan hanya tentang Hari Raya tapi juga Idul Fitri. Mudik bukan hanya peristiwa budaya tapi juga religi (Caknun).
Artikel Lainnya
-
268820/04/2020
-
268423/10/2020
-
50909/10/2023
-
Modelling dan Marketing Social: Strategi Mengubah Perilaku Menyampah
188513/07/2020 -
Senjakala Industri Pertelevisian Indonesia
87927/05/2022 -
Pemilu Tanpa Presidential Threshold
48808/01/2025
