Menyoal Ilmu dan Pendidikan Karakter

Mahasiswa
Menyoal Ilmu dan Pendidikan Karakter 06/12/2019 2084 view Pendidikan Siedoo.com

Menteri Pendidikan Indonesia, Nadiem Makarim, memilki antusiasme dalam menyelaraskan mutu pendidikan yang sejalan dengan Revolusi Industri 4.0. Sistem pendidikan yang konservatif akan diubah dan diarahkan kepada sistem pendidikan yang lebih modern dan accessible. Keseluruhan logika tujuan yang diidealkan Menteri Pendidikan adalah pendidikan Indonesia harus disesuaikan dan selaras dengan tuntutan Revolusi Indutrui 4.0.

Dengan demikian Pak Nadiem melihat Revolusi Industri 4.0 sebagai katabatis dan eksistensi pendidikan Indonesia sebagai anabatis. Tuntutan zaman yang semakin modern berbicara kepada manusia (katabatis) dan manusia merespons tuntutan tersebut (anabatis). Membaca logika pemikiran tersebut, tanpa bertendiensi untuk merendahkan maksud Pak Nadiem, hemat saya logika seperti itu harusnya dibalik. Manusialah yang menjadi katabatis dan teknologi serta kemajuan zaman menjadi anabatis.

Pendidikan Indonesia jika memang perlu diarahkan untuk sesuai dengan Revolusi Industri 4.0, maka kualitas manusia terlebih dahulu diperhatikan. Konteks Sumber Daya Manusia (SDA) Indonesia menjadi variable penentu. Jika kita mau menyongsong Revolusi Industri 4.0, maka kualitas masyarakat sendiri harus “5.0” (merujuk ada perkembangan IPTEK dari 1.0, 2.0, dst.). Bukannya Revolusi Industri 4.0 tapi kualitas dan kompetensi masyarakat sendiri masih 2.0 atau 3.0.

Negara maju seperti Jepang dan Jerman di mana Revolusi Industri 4.0 sudah merambah ke seluruh bidang (misalnya receptionist yang sudah memakin robot), hal itu berdampak baik karena kualitas sumber daya manusia Jepang sendiri sudah mumpuni dan melampaui perkembangan IPTEK sendiri. Di Jepang sendiri, yang sudah memakai sistem robotik, masyarakatnya memiliki ruang untuk Ethics Discouerses. Jadi mereka tidak terganggu dengan kehadiran sitem robotik yang ada, karena kualitas masyarakat sendiri sudah melampaui perkembangan teknologi.

Konteks itu berbeda dengan Indonesia. Dalam dunia pendidikan masih begitu banyak sekolah-sekolah yang masih belum siap dengan kehadiran sistem teknologi yang canngih, tertutama sekolah-sekolah di pedesaan. Masih ada yang kosong dan belum terselesaikan yang mesti menjadi perhatian kita bersama dalam dunia pendidikan.

Membaca fenomena di atas menyoal ilmu-ilmu dalam pendidikan hemat saya perlu ditinjau kembali. Filosofi ilmu-ilmu dalam dunia pendidikan sejauh ini masih belum merepresentasikan maksud telologis dari kurikulum pendidikan berkarakter.

Filosofi Ilmu

Ada tiga hal penting ketika kita membicarakan filosofi ilmu yaitu, unsur ontologis, epistemologis, dan etis dari ilmu. Unsur ontologis berkaitan dengan hakikat atau inti dari ilmu. Dalam konteks Indonesia ilmu secara keseluruhan kurang mengalami proses dialektis. Padahal yang kasuistik adalah krisis ontologis, epistemologis dan etis dari ilmu. Unsur epistemologis berkaitan dengan teori pengetahuan tentang ilmu.

Dalam bukunya yang berjudul "Melampaui Positivisme dan Modernitas", Budi Hardiman menjelaskan bahwa krisis pada tatanan epistemologis ilmu-ilmu di Indonesia adalah soal pengandopsiannya metode-metode yang digunakan di Barat. Riset dalam ilmu-ilmu di dalam masyarakat Indonesia masih lazim menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan yang mencari “objektivitas” dan “kebebasan nilai” ini banyak dipengaruhi oleh metode-metode ilmu alam yang memang terbukti sukses diterapkan dalam bentuk teknologi modern.

Sementara itu di Barat sendiri, tempat asal perkebangan ilmu-ilmu tersebut, sudah sejak abad ke-19 positivisme dalam ilmu-ilmu itu sudah dianggap tidak memadai untuk memahami manusia dan masyarakat. Ilmu-ilmu dalam dunia pendidikan kita secara filosofis sudah “sakit”.

Empirisme dan positivisme dalam ilmu membuat guru dan murid menjadi positivistik. Lulusan yang dilahirkan dari universitas lebih banyak dididik secara teknis dan minus keutamaan. Dalam pandangan tradisional, seorang Filsuf Yunani, Aristoteles menegaskan bahwa pendidikan pertama-tama bukan soal membentuk keterampilan teknik melainkan soal membentuk keutamaan. Manusia dengan keutamaannya (arete) mengendalikan kemampuan praktisnya (techne) untuk kebaikannya, bukan sebaliknya teknologi menguasai tingkah laku manusia.

Dari krisis ontologis dan epistemis, masalah yang menimpa ilmu berlanjut pada soal etika dari ilmu (ethics). Krisis ilmu pada tataran ontologis dan epistemis membawa konsekuensi logis pada tindakan praktis. Metodologi ilmu yang positivistic melahirkan manusia yang bertendensi “menyembah” teknologi. Tidak heran jika kaum pelajar lebih banyak yang tehknophil dan krisis humanitas.

Kualitas pendidikan kita terarah pada ilmu-ilmu yang dapat memproduksi output yang memiliki surplus kemampuan teknis. Ilmu-ilmu teknis lebih banyak diminati daripada ilmu-ilmu spekulatif. Dalam dunia pendidikan, tenaga pendidik dan kaum terdidik masih merasa asing dengan ilmu-ilmu humaniora seperti filsafat dan seni. Kaum terpelajar yang berkualitas adalah mereka yang memiliki kemampuan teknis yang hebat namun defisit keutamaan, mereka mampu bersaing secara teknis namun untuk berkontemplasi dan menilai realitas secara mendalam masih rendah.

Hal demikian jika melihat presensi Revolusi Industri 4.0 yang semakin eksis namun kemampuan etis dan kadar epistemologis dari manusia yang masih rendah akan menghadirkan banyak ekses. Sebelum system pendidikan diselaraskan dengan kemajuan IPTEK masih ada hal penting yang perlu diperhatikan. Realisasi kurikulum pendidikan berbasis karakter saja masih belum terpenuhi apalagi jika ada teknologisasi seluruh ssstem pendidikan maka peserta didik akan mengalami cultural shock (gegar budaya).

Pendidikan Berbasis Karakter, Pendidikan yang Terarah Pada Keutamaan

Setiap ilmu memiliki metodologi masing-masing. Van Melsen dalam bukunya berjudul "Ilmu pengetahuan dan Tanggungjawab Kita", memaparkan krisis metodologi ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu empiris seperti ilmu-ilmu alam termasuk ilmu-ilmu positif.

Hemat saya pendidikan yang terarah pembentukan karakter tidak lain adalah pendidikan yang memiliki kualitas epistemis yang baik. Hal itu dapat terwujud jika komposisi ilmu-ilmu yang diajarkan memiliki metode yang humanistik.

Seorang Filsuf Jerman yang bernama Wilhelm Dilthey membuat distingsi antar ilmu-ilmu. Pertama, ilmu-ilmu alam (Naturwissenhaften) dan kedua, ilmu-ilmu sosial kemanusiaan (Geistenwissenhaften). Distingsi yang dibuat Dilthey ini amat penting karena bukan hanya membuat pembedaan ilmu tapi juga metodologi yang digunakan. Menurut Dilthey metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam hanya sebatas menjelaskan fenomena-fenomena (erklaren) sedangkan metodologi yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan adalah verstehen (memahami).

Dengan demikian ilmu seperti filsafat, hermeneutika, dll, niscaya perlu diajarkan dan dimasukan sejak dini dalam kurikulum pendidikan. Karena kita tidak cukup menghasilkan manusia yang sebatas memiliki technoskill tetapi juga manusia yang memiliki kemampuan filosofis dan hermeneutis yang mumpuni.

Dengan kemampuan filosofis maka akan terbuka pemikiran alternatif bukan melulu pemikiran yang positivistik. Dengan adanya pemikiran alternatif maka kritisisme akan lahir. Kemampuan untuk berpikir kritis inilah yang perlu dalam menyambut kemamjuan zaman yang semakin tidak terbendung.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya