Industrialisasi, Komersialisasi, dan Privatisasi GIK UGM

Industrialisasi, Komersialisasi, dan Privatisasi GIK UGM 01/09/2024 244 view Pendidikan amka.co.id

UGM akan segera mengoperasikan super creative hub terbesar se-Asia Tenggara, yaitu Gelanggang Inovasi dan Kreatifitas (GIK) yang menempati lahan seluas 49.500 m² dan luas bangunan 19.817,50 m². Bangunan ini dibangun di atas bekas 4 bangunan sebelumnya, yaitu Gelanggang Mahasiswa, Bank BNI, Gedung DSSDI, dan Gedung PKKH. Ide pembangunan ini diprakarsai oleh Pratikno di tahun 2015 yang saat itu menjabat sebagai Mensesneg dan Ketua MWA UGM dalam rangka untuk mewujudkan industrialisasi di Indonesia, termasuk di lingkungan kampus. Pembangunan ini menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dan didanai dari APBN tahun Anggaran 2022 sebesar Rp 66.156.422.000, 2023 sebesar Rp 486.109.486.000, dan 2024 sebesar Rp138.066.479.000.

Namun, anggaran pembangunan GIK membengkak yang menyentuh nominal Rp1,021,17 triliun dikarenakan sampai target 600 hari kalender dari tanggal pembangunan 21 Juni 2022, yaitu tanggal 12 Februari 2024 belum selesai. Adapun biaya pengelolaan dan maintenance GIK per bulan mencapai 2,5-3 Miliar dan 25 Miliar setiap tahunnya dikarenakan daya listrik sangat besar dan menyala setiap hari. Proyek pembangunan GIK akan menjadi percontohan dan akan dikembangkan di kampus lain untuk mendukung industrialisasi mahasiswa.

Menurut Pratikno, pembangunan GIK ditujukan untuk mempertemukan mahasiswa dengan mitra industri agar lulusan perguruan tinggi terserap di dunia kerja dan mampu membangun semangat kewirausahaan. Nantinya terdapat sekitar 60 korporasi di dalam kegiatan GIK dengan 3 program kegiatan berdasarkan jenis konten yakni program kultural, program edukasi dan program inovasi dan teknologi serta terbagi ke dalam 8 zona, yang kedelapan zona ini akan mendukung berbagai kegiatan pengembangan mahasiswa, seperti talent development, personalized learning, longlife learning, interdisciplinary competence dan standard application, future leadership, serta innovation in humanity dan nation contribution.

GIK akan menjadi wujud hubungan industri dengan kampus yang setiap kegiatan di dalamnya menggunakan semangat kapitalisme dan hukum pasar. Arahan ini menjadi fokus perhatian Joko Widodo di periode kedua jabatannya dengan mengangkat pelaku industri sebagai Menteri Pendidikan, yaitu Nadiem Makarim, dengan menelurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Hubungan kampus dan industri akan dapat membunuh kemerdekaan akademik yang merupakan prinsip esensial pendidikan tinggi. Kampus dan industri memiliki visi berbeda dan bertolak belakang. Di beberapa kondisi tertentu, industri dapat mematikan inovasi karena temuan inovasi biasanya melalui riset yang panjang dengan biaya besar, tetapi orientasi industri adalah laba dengan durasi yang cepat. Konsekuensi selanjutnya adalah konflik kepentingan dalam mengotak-atik kegiatan akademik dengan menyaring pengetahuan yang cocok dengan industri dan yang menghambatnya.

Perihal proyek GIK sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) akan menjadi jalan bagi masuknya kepentingan swasta dalam skema pembiayaan dan operasional kegiatan GIK. GIK sangat jelas berorientasi kapitalis dan didominasi kepentingan penguasa serta pemilik modal dengan contoh perusahaan Pakuwon Mall dan MR.DIY akan masuk dalam bursa korporasi GIK. Perlu diketahui bahwa GIK secara prinsip ditujukan bagi fasilitas dan kepentingan secara umum secara non profit karena GIK masuk menjadi unsur penunjang UGM dalam mendukung tugas pokok UGM, yaitu menyelenggarakan pendidikan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengusahakan pelestarian ilmu pengetahuan.

Namun dengan masuknya berbagai korporasi dan industri melalui GIK akan menyebabkan kontradiksi dengan tugas pokok UGM dan fasilitas umum yang non profit berubah menjadi profit. Sebenarnya di UGM sejak status BHMN tahun 2000 sudah mengalir orientasi profit dan komersialisasi kampus dikarenakan dampak perubahan status PTN yang mengakibatkan alokasi sumber dana PTN yang dulu sepenuhnya dari APBN berubah ke sumber swasta dan sejenisnya.

Lalu di tahun 2013 saat UGM menjadi PTN BH, alokasi anggaran dari pemerintah hanya sekitar 35% dan selebihnya dari pihak swasta dan dana swadaya masyarakat, yaitu UKT. Dengan adanya GIK akan memperkuat dan mempertegas bahwa visi UGM sudah berubah menjadi profit oriented. Hal ini disebut sebagai privatisasi pendidikan tinggi dimana tanggung jawab pendanaan, pengelolaan kampus beralih dari sektor publik ke sektor swasta dan dapat merembet kepada kontrol swasta terhadap kampus.

Privatisasi akan mempengaruhi pada peningkatan biaya operasional kampus karena model swasta akan berinvestasi lebih banyak dalam fasilitas dan infrastruktur untuk menarik perhatian mahasiswa, masyarakat, pelaku industri. Pendanaan dan pengelolaan kampus akan bergantung kepada investor besar yang dimana ada resiko biaya dari dana swadaya masyarakat akan bertambah apabila dana dari investor tidak mencukupi untuk biaya operasional dan perawatan. Hal ini dapat dilihat dalam contoh biaya pengelolaan dan maintenance GIK yang mencapai miliaran rupiah dan dapat beresiko jika dana biaya tersebut tidak mencukupi, maka UGM akan menaikkan biaya kuliah mahasiswa, yaitu Uang Kuliah Tunggal.

Dalam tren di UGM, setiap keberagaman dan kualitas fasilitas yang semakin baik akan berbanding lurus dengan tren biaya UKT yang dibayarkan mahasiswa semakin meningkat. Hal ini karena sumber besar pendanaan kampus hanya berasal dari masyarakat dan swasta. Walaupun wacana GIK akan terbuka untuk siapapun, tetapi perlu diingat ada prasyarat yang menyertainya, yaitu sebagai mahasiswa dan pelaku industri. Maka dengan biaya kuliah yang semakin tinggi akibat privatisasi pendidikan, setiap siswa yang ingin melanjutkan perkuliahan harus memikirkan ulang karena harus menyiapkan besaran nominal tertentu.

Gelanggang Inovasi dan Kreatifitas yang akan berisi berbagai korporasi, perusahaan, dan berfungsi link and match mahasiswa dengan industri yang menimbulkan dan menguatkan neoliberalisasi pendidikan tinggi di UGM. Pergeseran paradigma kampus pada kurikulum pasar dan mahasiswa yang berorientasi menjadi tenaga pasar menyebabkan hilangnya nilai-nilai pendidikan, nilai moral dan etika yang kuat. Paradigma pasar tidak menghendaki semangat pendidikan inklusif dan terciptanya kesejahteraan sosial, melainkan kuantitas pasar yang semakin banyak dan ada di mana-mana.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya